Thursday, August 25, 2016

Good Morning Mr Paul



 

Kata Pengantar

Pada hari Sabtu di ruang perpustakaan IMAAM CENTER, Silver Spring, Maryland, disibukkan oleh acara bedah buku yaitu tanggal 20 Agustus 2016.  Buku yang dibedah berjudul “Good Morning, Mr. Paul”, nama pengarangnya Paul Burghdorf (PB) yaitu Mr. Paul sendiri. Oleh pembahas buku ini diberi tema “Pengalaman Seorang Relawan Peace Corps di Indonesia”
PB bertugas di Indonesia sebagai anggota Peace Corps yang bahasa Indonesianya disebut sebagai “Relawan Pembangunan”. PB diutus oleh pemerintah Amerika sebagai pelatih olahraga dalam rangka Olympic Games 1964 di Tokyo, Jepang.
 Uraian pembahasan dari kisah relawan pembangunan ini dapat diikuti dalam blog IMAAM BOOK DISCUSSION. Mari ikuti pembahasannya seperti tersebut dibawah ini. Selamat menyimak. □ AFM

           
PENGALAMAN SEORANG RELAWAN
PEACE CORPS DI INDONESIA
Oleh: Abdul Nur Adnan, nara sumber

K
ita bisa melihat buku ini dari berbagai perspektif.  Kita bisa melihatnya, sebagai pengalaman seorang anak muda dengan segala khayalan idealnya, tapi menemukan kenyataan yang berlainan.  Kita bisa juga melihatnya sebagai gambaran keadaan, ketika Indonesia penuh dengan hingar bingar revolusi yang belum selesai, ganyang sana ganyang sini, melupakan kewajibannya untuk mensejahterakan rakyatnya. Bisa juga kita lihat dari sudut hubungan Indonesia-Amerika pada tahun-tahun “vivere pericoloso” yang sedang mengalami titik tinggi, atau secuil sejarah alat diplomasi Amerika yang dicanangkan oleh Presiden John F. Kennedy pada tahun 1960-an yang masih terus berlanjut sampai sekarang (th 1960: 17 orang, sekarang: 119 orang; dimulai lagi sejak 2011. Seluruhnya: 310)
            Kisah dalam buku ini adalah kisah seorang anak muda, yang belum lulus dari college, tempat ia belajar Bahasa Inggris, dan menjadi pelatih olahraga (coach). Pidato Presiden John F. Kennedy dalam inaugurasinya tampaknya sangat berpengaruh dalam dirinya, terutama kata-kata “Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country!”. Iya, ya apa yang dapat aku lakukan untuk negriku? Pertanyaan Paul, si anak muda dari California itu.  Ketika Presiden Kennedy meluncurkan sebuah program baru, Peace Corps (yang di Indonesia diubah menjadi Sukarelawan Pembangunan), Paul merasa menemukan jawabannya. Ia tidak ragu lagi, mendaftarkan diri, karena ia juga sudah lama berangan-angan menjadi “drifter” yang berkelana melihat dunia.  Peace Corps (PC) adalah program, dimana Pemerintah Amerika mengirim warga mudanya dari berbagai keahlian ke Negara-negara yang bersedia menerima mereka, untuk membantu negri-negri yang menerima mereka itu melatih warga mereka dalam berbagai bidang yang mereka butuhkan.
            Indonesia waktu itu (th 1964) membutuhkan para pelatih olahraga yang akan dikirim ke Olimpiade Tokyo dan juga untuk mengajar Bahasa Inggris. Paul adalah seorang di antara 16 orang yang dikirim ke Indonesia, berdasarkan persetujuan antara Presiden Kennedy dan Presiden Sukarno, ketika yang terakhir itu melawat ke AS. Sebelum berangkat, tentu saja mereka disiapkan terlebih dulu.  Belajar Bahasa, kebudayaan Indonesia dan keadaan geografis negri itu, di antara yang harus diketahui terlebih dulu. Ini dikursuskan di Universitas Iowa selama beberapa hari. Satu hal yang tampaknya tidak terlalu baik dipersiapkan bagi mereka, yaitu mengenal dengan baik hubungan Indonesia-Amerika yang sedang memburuk waktu itu dan situasi politik dalam negri Indonesia, dimana PKI sedang mempersiapkan kudeta. Karena itu tidak mengherankan kalau mereka terkejut ketika tiba di Kemayoran dan disambut dengan demo oleh Pemuda Rakyat yang berteriak-teriak “Yankee, Go Home!” sambil melempari bis mereka dengan batu. Tapi mereka dikawal pasukan keamanan Indonesia, jadi aman.
            Paul dan seorang temannya ditempatkan di Palembang. Mereka menjumpai bahwa tuan rumah (Pemerintah Indonesia) ternyata tidak siap menerima mereka. Mereka dibiarkan berbulan-bulan tanpa program, sehingga mereka bertanya-tanya: Bukankah sudah ada kesepakatan antara Presiden Sukarno dan Presiden Kennedy mengenai hal ini? Untuk sementara mereka ditempatkan di sebuah “hotel”, bernama Swarna Dwipa. Paul harus membiasakan dengan toilet yang terdiri dari dua bata disemen di kanan-kiri sebuah lubang. Tukang bersih kamarnya, mengepel lantai kamar mandi dan kamarnya, dan kain pel itu dipakai juga untuk membersihkan alat-alat makan. Dan meskipun kamar itu tampaknya terlindungi, tapi pakaian mereka berkali-kali dicuri.
            Dan kecoak di rumah seorang perwira tentara yang akhirnya mereka tempati. “Tidak tahu lagi berapa kecoak yang kami bunuh tiap malam,” katanya, “Ratusan, ya ratusan!” (Masak, sih?)
            Pengalaman di kantor pos pun, membuat kita bertanya, begitukah keadaan sebenarnya, karena di Kantor Pos Yogya waktu itu, keadaannya jauh lebih baik.      Pengalamannya begini: untuk mengeposkan sepucuk surat, dia harus datang ke Kantor Pos.  Antri untuk menimbang surat, kemudian antri lagi di barisan lain untuk beli prangko dan antri di tempat lain untuk mengeposkan.
            Karena tugas coaching tidak begitu laku (Palembang is not ready), akhirnya Paul menerima tawaran untuk mengajar Bahasa Inggris di Universitas Sriwijaya, menggantikan pengajar sebelumnya dari Selandia Baru yang pulang. Ini terjadi pada saat kaum komunis meningkatkan serangannya terhadap apa pun yang berbau Amerika. Buku-buku di perpustakaan USIS dibakar, dan “Ganyang Malaysia, Ganyang Kaum Imperialis Inggris dan Amerika!” terdengar dimana-mana. Kemudian ada orang-orang tak dikenal yang membisikkan kepada Paul “leave the university, or else!”  Poster pun diacung-acungkan: “Kick Mr. Paul from the University!” Mahasiswa-mahasiswa pun diintimidasi agar jangan mengikuti kuliah Mr. Paul. Tetapi para mahasiswanya tampaknya tidak peduli dengan intimidasi itu.
           Pengalaman ketika mengadakan piknik dengan para mahasiswanya. Paul ingin ke “kamar kecil.” Parr mahasiswanya sambil cekikikan menunjukkan kearah sungai. Di bagian paling sempit sungai itu ada “jembatan” darurat, dari papan yang tidak begitu kuat. Tampaknya disitulah orang pada membuang hajat. Paul agak kagok, tapi dia jongkok juga “in my best Asian style.” Naas, papan itu patah dan Paul jatuh ke comberan kakus itu. Yuck, tapi para mahasiswanya malah pada tertawa.
            Pengalaman lain yang “menakutkan” tapi lucu.  Ia ditangkap karena sepeda motornya tidak ada nomer platnya, rupanya hilang. Yang menangkap polisi berperawakan kecil (130 pounds), sedang Paul orangnya besar (220 pounds). Polisi mau membawa Paul ke kantor polisi, dengan sepeda motor Paul. Sang polisi yang mau nyopir, dan Paul duduk di belakang.  Karena perbedaan berat badan itu, motornya  berat ke belakang dan sulit bergerak maju.  Orang-orang yang melihat pada tertawa.  Akhirnya polisinya mau duduk di belakang. Sampai di kantor polisi, komandannya tidak mau menyalahkan bawahannya. Ia menyuruh Paul masuk sel, dan baru akan dibebaskan setelah ia mendapatkan nomer plat baru. Dalam sel, sang komandan membawa karton ukuran plat motor dan spidol, dan menyuruh Paul menulis nomer plat sepeda motornya. Selesai ditulis, masalahpun selesai dan dia dibebaskan. Paul merasa mendapat pelajaran-hidup: ”respecting elders, protecting other’s dignity, and honoring those in authority.” Pelajaran dasar untuk dapat selamat dimana saja, termasuk di Indonesia, katanya.
            Dua pengalaman lain:
1. Acara Pembukaan Pabrik Pupuk Sriwijaya, dimana ia berdansa dengan Megawati, yang waktu itu masih seorang gadis muda.
2. Acara lain, Pesta Kebun Tahunan Gubernur Sumatra Selatan. Paul diundang dan “berjuang” dengan santap daging.  Ketika ia berusaha memotong dagingnya dengan sendoknya, seperti dilakukan tamu-tamu lain, tiba-tiba dagingnya meloncat dan jatuh persis pada dada Bu Gubernur yang cantik. Apa yang harus ia lakukan?
            Ada juga saat-saat yang menyenangkan, yaitu ketika dia mendapat kesempatan untuk vakansi di Jawa dan Bali.  Bandung dengan udaranya yang nyaman dan Bali belum begitu banyak turis. Ia juga bertemu dengan seorang gadis Semarang, yang baru kembali dari Amerika Serikat (AS) dan kemudian menjadi mahasiswa di Universitas Diponegoro (Undip).  Tampaknya ia jatuh cinta, tapi tidak bisa melanjutkan percitaannya itu karena beda budaya (agama?) dan masalah lain.
            Setelah di Indonesia, Paul kemudian kembali ke California dan selanjutnya ke Kenya dan Skotlandia, dan akhirnya pada tahun 2011, pada usia 71 tahun, Paul kembali ke Indonesia dengan istrinya Marilyn.  Kali ini mereka di Bandung mengajar Bahasa Inggris di Bandung Alliance International School.
            Sayang, Paul tidak menceritakan apakah dia bernostalgia juga ke Palembang, melihat “perkembangan” yang terjadi di kota pertama di Indonesia yang dulu memberikan pengalaman “pahit.” Kalau ya, tentu baik untuk diceritakan apakah ada perkembangan selama 50 tahun lebih ini, sehingga pembaca non-Indonesia tidak akan mendapat gambaran mengenai Indonesia seperti digambarkannya pada masa Vivere Pericoloso (Living Dangerously) dulu. Tentunya sudah sangat beda.  (Kita Google untuk Hotel Swarna Dwipa itu sekarang ternyata sebuah hotel mewah). [20-8-2016/Abdul Nur Adnan]