Monday, August 22, 2016

Konsepsi Negara Menurut M Natsir






PENDAHULUAN

Sebuah buku yang berjudul Pemikiran Islam M. Natsir di Panggung Sejarah Republika menarik beberapa anggota Pencinta Buku IMAAM. Kebetulan koleksi buku itu ada di Perpustakaan IMAAM CENTER. Buku itu diterbitkan oleh Penerbit Republika. Kesimpulan di antara anggota Pencinta Buku IMAAM, akan mengadakan bedah buku tersebut. Selanjutnya bedah buku tersebut telah diselenggarakan pada tanggal 14 Mei 2016 di Ruangan Perpustakaan IMAAM CENTER, Silver Spring, Maryland.

Dibawah ini adalah gambaran isi buku tersebut yang diambil dari makalah Konsepsi Negara Menurut M. Natsir: Tinjauan Dari Perspektif Pemikiran Politik Islam, oleh Amin Suyitno, Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia. Selamat menyimaknya. □ AFM


Abstract

This research paper discusses about the perspective of M. Natsir on state conception. He was chosen as a figure in this study since he is well known not only as an initiator of Islamic and state conception but also as a main actor in implementing his ideas. This paper summarizes that Islam and a state has an integrally related symbiosis. Religion needs a state, and vice versa. Based on Natsir, Islam is a complete school that contains not only worship but also some aspects such as the field of state. Thus, the establishment of a state is a blessing. Nevertheless, the state is only an instrument, not an objective. On that basis, a head of a country does not need to be titled as a kholifah, but a president or the others.

The important thing is that his characteristics and obligations are in accordance with Islamic values. Seen from his argument construction in some ways, Natsir follows the ideas of Ibn Taimiyah with regard to the urgency of state inevitability.  He is also in line with Ibn Khaldun who compares society with the state. Overall, his  perspective is influenced by the political perspectives of not only classical Muslims such as al-Mawardi and al-Ahkam al-Sulthaniyya, but also modern Muslims such as al-Maududi and al-Afghani.[]



KONSEPSI NEGARA MENURUT MUHAMMAD  NATSIR

“dan Kami tidak ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” [QS Adz-Dzāriyāt ayat 51:56]

Dengan itu, maka Seorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat.



K
onsepsi Negara Menurut Muhammad Natsir: Tinjauan Dari Perspektif Pemikiran Politik Islam. Wacana tentang Islam sebagai dasar negara, sejak awal telah diusung oleh beberapa Ormas dan partai Islam. Mereka secara dogmatis beralasan bahwa ajaran Islam mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sekaligus dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi. Ini berarti, ajaran Islam memastikan adanya garansi keamanan bagi kelompok agama minoritas. Atas dasar itu, kelompok agama lain, selayaknya tidak mempunyai alasan untuk takut dan kuwatir kepada keberadaan Islam sebagai dasar negara. Meskipun realitasnya, golongan agama lain tidak mudah diyakinkan oleh argumen ini. Di antara faktor penyebabnya, boleh jadi karena model suatu negara Islam yang baik di era modern ini, belum ada referensi yang memadai, kecuali diabad-abad sebelumnya sudah ada. Awalnya di Madinah semasa kehidupan Nabi Muhammad saw dan Khulafa ar-Rasyidun, selanjutnya antar lain adalah Al-Andalus (Islam di Spanyol).

Bagi M. Natsir, dasar negara Indonesia itu hanya mempunyai dua pilihan, yakni sekularisme (la-diniyah) atau paham agama (din). Sedangkan Pancasila sendiri dipandangnya sebagai suatu dasar yang bercorak la-diniyah. 1 Pandangan Natsir ini, sekalipun dengan bahasa yang berbeda dengan partai Islam pada umumnya, tampak lebih radikal. Dengan mempersepsikan Pancasila bercorak la-diniyah, maka berarti Pancasila bersifat sekular. Konsekwensinya, Pancasila tidak layak disejajarkan dengan agama yang bersumberkan wahyu, karena Pancasila merupakan hasil olah pikir manusia yang digali dari nilai-nilai kehidupan mayarakat Indonesia secara luas.

Mengupas hubungan agama dengan negara, Natsir mendasarkan landasan teologisnya kepada salah satu ayat al-Qur'an, yakni surat ke-51, Adz-Dzāriyāt ayat 56, yang artinya: “dan Kami tidak ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” Berdasarkan ayat tersebut, Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan: ...Seorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat.

Dengan demikian, antara urusan dunia dan akhirat, bagi kaum muslimm sama sekali tidak mungkin dipisahkan dari ideologi mereka. 2 Lebih lanjut, negara sebagai kekuatan dunia merupakan sesuatu yang mutlak bagi al-Qur'an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajaran yang ada di dalamya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi Natsir, negara merupakan alat untuk Islam guna melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan dan kesentosaan manusia. Sebagai alat, adanya negara bersifat mutlak, karena itu pula, maka Natsir membela prinsip persatuan agama dengan negara.

Tentang corak negara, sebenarnya Islam tidak menghendaki teokrasi seperti yang lazim dipahami Barat, tetapi menghendaki situasi yang lebih demokratis. 3  Berkaitan dengan itu, Natsir pernah mengatakan: "... sejauh menyangkut umat Islam, demokrasi adalah hal pertama, sebab Islam hanyalah mungkin berhasil dalam suatu sistem yang demokratis. 4 Pernyataan ini mencerminkan tentang keyakinan Natsir yang mendalam bahwa umat Islam Indonesia wajib menempuh jalan demokrasi untuk mencapai tujuan-tujuan politik jangka panjangnya, bagaimanapun tujuan itu dirumuskan.

Natsir menyinggung keberadaan kepala negara dalam menjalankan roda pemerintahannya harus mengutamakan kepentingan warga negara sesuai dengan ajaran Islam. Untuk mendukung hal ini, maka kepala negara dalam penyelenggaraan negara harus memegang prinsip mengedepankan musyawarah dengan orang-orang yang layak dan patut diajak bermusyawarah. 5  Sedangkan cara bermusyawarah itu sendiri sepenuhnya diserahkan dengan situasi zaman yang berlaku. Berkaitan dengan hak dan kewajiban bagi yang diperintah dan yang memerintah, Natsir menekankan keharusan loyalitas warga negaranya dan diimbangi adanya tanggung jawab amanah sang penguasa. Menurutnya warga negara mempunyai hak mengoreksi, bahkan mengingkari kekuasaan apabila terjadi pelanggaran hak-hak oleh penguasa terhadap rakyatnya yang bertentangan dengan ajaran Islam.


Biografi M. Natsir

Natsir merupakan seorang anak laki-laki yang lahir dari pasangan suami isteri Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khodijah. Ia dilahirkan di kampung Jembatan Berukir, kota Alahan Panjang, Solok. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 17 Juli 1908, bertepatan dengan tahun kebangkitan nasional yang dipelopori oleh Dr. Soetomo. 6
 Setelah dewasa, Natsir bergelar Datok Sinaro Panjang. Pemberian gelar tersebut merupakan adat Minangkabau yang biasa dilakukan setelah seseorang melaksanakan akad nikah.

Seperti masyarakat Minang pada umumnya, keluarga Natsir juga rnerupakan keluarga muslim yang taat. Makanya tidak mengherankan jika sejak masa kanak-kanak, Natsir kecil telah diarahkan untuk belajar agama di surau dengan kawan-kawan seusianya. Bahkan sudah menjadi tradisi yang cukup populer pada masa itu bahwa anak-anak umur delapan tahunan, tidak terbiasa tidur di rumahnya pada malam hari, tetapi di surau. Hal yang sama juga dialami Natsir pada usia tersebut.

Pengembangan yang dilakukan terhadap Natsir oleh keluarganya sejak dini, telah menjadikannya sebagai sosok yang taat beragama, ulet sekaligus rajin bekerja. Hal ini dapat dilihat ketika Natsir muda hidup bersama dengan maciknya, Rahim di Padang. 7 Di antara kegiatan rutin Natsir, sejak pagi hari setelah shalat subuh adalah menanak nasi untuk keluarga maciknya tersebut. Sedangkan sore harinya, ia sering kali pergi ke tepi laut untuk mencari kayu bakar. Sementara itu khusus hari Ahad, biasanya Natsir bersama maciknya memasak rendang ikan teri untuk keperluan lauk mereka selama seminggu. Agaknya dengan pola hidup keseharian seperti itu justru membuat Natsir bersikap tegar dan pantang putus asa. Selain itu ia selalu memegang prinsip hidup tidak mau mengalah dengan keadaan. Percaya pada kekuatan dan kemampuannya sendiri merupakan bagian dari cermin wataknya. Inilah di antara kepribadian Natsir yang kemudian mendorongnya hijrah meninggalkan kampung halamannya dari satu kota ke kota lain untuk merubah nasib.


Riwayat Pendidikan Muhammad Natsir

Pada tahun 1916 ketika Natsir telah berusia delapan tahun, ia bercita-cita ingin masuk sekolah rendah berbahasa Belanda yang dikenal dengan HIS (Hollands Inlands School). Namun tampaknya para siswa yang dapat diterima di sekolah tersebut hanyalah dari kalangan anak orang-orang tertentu saja. Misalnya anak demang, wedana atau anak dari para pegawai pemerintah. Dengan demikian anak-anak dari golongan kaum tani, buruh dan pegawai kecil tidak dapat diterima di sekolah tersebut. Nasib yang sama juga dirasakan oleh Natsir, karena ayahnya juga tergolong pegawai rendahan, yakni seorang juru tulis kontroler. Sebagai gantinya, Natsir masuk ke sekolah Gubernemen berbahasa Melayu.

Didorong oleh keinginannya yang kuat untuk masuk sekolah pemerintah, Natsir meninggalkan kampung halamannya menuju kota Padang dengan suatu harapan dapat diterima di HIS Padang yang diidam-idamkannya selama ini. Namun tampaknya nasib baik belum berpihak kepadanya, karena jawaban yang terdengar adalah lagu lama, yakni tidak ada tempat bagi anak seorang juru tulis. 8

Dalam perkembangan berikutnya, di kota Padang didirikan sekolah HIS Partikelir. Tujuannya adalah menampung anak-anak yang tidak diterima di HIS Pemerintah. Di samping itu, secara implisit tujuan pendirian sekolah tersebut  juga dimaksudkan untuk menentang kebijakan politik kolonial terhadap diskriminasi penerimaan siswa di sekolah pemerintah. Adapun nama sekolah partikelir itu adalah HIS Adabiyah. Sekolah ini didirikan pada tanggal 23 Agustus 1915 oleh Syarikat usaha pimpinan H. Abdullah Ahmad dan kawan-kawannya. Dalam kiprahnya, sekolah bersejarah ini banyak melahirkan orang-orang yang berjasa. 9 HIS Adabiyah dimuati penuh oleh jiwa nasional dan terbuka untuk umum bagi semua anak dari berbagai golongan dalam masyarakat. Mereka terdiri dari golongan anak para petani, pedagang buruh kecil dan sernua kalangan yang tidak diterima di sekolah pemerintah. Karena itu sesungguhnya, berdirinya HIS Adabiyah merupakan suatu cermin dan lambang kemajuan pendidikan di kalangan rakyat.

Sementara itu bagi seorang Natsir, keberadaan HIS Adabiyah belumlah menentramkan batinnya. Karena itu, ia tetap bersikeras untuk masuk sekolah HIS Pemerintah yang kebetulan baru di buka di kota Solok. Akhirnya Natsir benar-benar dapat merasakan atmosper sekolah pemerintah yang diimpikannya selama ini. Di sekolah barunya itu, Natsir diterima langsung ke kelas 2 karena daya tampung kelas 1 telah penuh. Kendatipun begitu, ia tetap dapat mengikuti semua pelajaran kelas 2 tersebut dengan baik, bahkan dalam beberapa hal ia dapat melebihi teman-teman sekelasnya di Solok. Di kota inilah, Natsir tinggal di rumah H. Musa, seorang saudagar di pasar Solok. 10 Saudagar itu senang sekali menerima kehadiran Natsir di rumahnya. Kebetulan, ia juga mempunyai seorang anak laki-laki yang bersekolah di HIS yang sama. Di rumah itu Natsir diperlakukan sama seperti anaknya sendiri. Keduanya sama-sama diberi kesempatan untuk menimba ilmu, baik formal maupun non-formal. Di sinilah Natsir secara non-formal pertama-tama belajar bahasa Arab dan Fiqh di sekolah Diniyah.

Di sekitar tahun 1919, ayah Natsir diimutasikan tugasnya dari Alahan Panjang ke Makasar sebagai sipir. Kendatipun keluarganya pindah ke kota tersebut, tetapi Natsir tetap menetap bersama keluarg H. Musa untuk urusan studinya. Bersamaan tahun itu muncul gerakan baru, yaitu masyarakat berlomba-lomba mendirikan sekolah Diniyah. Pada saat itu Natsir sedang duduk di kelas 3 Diniyah. Namun karena lembaga pendidikan tersebut kekurangan tenaga guru, ia terpilih menjadi salah seorang guru bantu di kelas I. Di sisi lain, menjelang kenaikan kelas 5 HIS, Natsir diminta kakaknya, Rabiah untuk kembali ke Padang. Akhirnya Natsir dengan berat hati meninggalkan Solok dan keluarga H. Musa yang telah berjasa selama empat tahun demi kelanjutan studinya. Selanjutnya Natsir masuk sekolah HIS Padang yang empat tahun sebelumnya menolaknya lantaran ia hanya anak seorang pegawai kecil.

Ada dua hal penting sebagai suatu pelajaran berharga bagi kehidupan Natsir dalam meraih cita-cita yang kemudian tertanam di sanubarinya dan sekaligus merupakan prinsip keyakinannya, yaitu: Pertama, apabila niat sudah tulus, kuat dan penuh keyakinan dalam mencapai suatu maksud serta diiringi dengan suatu usaha yang sungguh-sungguh. Maka Allah yang Rahim akan memberikan jalan keluar yang tak diduga-duga. Kedua, tertanamnya sifat kepekaan sosial yang tinggi pada diri Natsir. Sikap ini diwujudkan dengan refleksitas Natsir merespon suatu ketidakadilan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat kelak. 11 Kedua hal tersebut di atas nantinya besar sekali pengaruhnya bagi perjalanan hidup Natsir dalam menggapai cita-cita dan meniti karirnya.

Setamatnya dari HIS Padang, Natsir bermaksud melanjutkan sekolahnya ke MULO (SLTP Berbahasa Belanda). Namun tampaknya faktor kesulitan biaya tidak dapat memuluskan maksud baiknya tersebut. Kendatipun begitu, ia tidak putus asa dan bahkan tetap optimis sebagaimana karakter pribadinya yang telah dimilikinya sejak kecil. Natsir tetap berkeyakinan bahwa Allah SWT pasti akan memberikan  jalan keluar seperti halnya kesulitan-kesulitan yang pernah dilaluinya. Dalam keuletannya mensikapi keadaan itu, Natsir mendapat informasi bahwa MULO Padang menyediakan bea siswa bagi mereka yang nilainya bagus. Kesempatan tersebut tidak dibiarkan Natsir. Ia bergegas dengan bermodalkan keuletan dan keyakinan masuk MULO. Waktupun terus berjalan, dan ia mendapat buah kerja kerasnya, yakni bea siswa yang diimpi-impikannya selama ini sebesar dua puluh rupiah per bulan. Di sekolah MULO inilah Natsir merasakan pergaulan dalam satu kelas dengan para pelajar bahasa Belanda. Selama ini ia membayangkan bahwa anak-anak Belanda itu pasti mempunyai banyak kelebihan dalam berbagai hal. Tampaknya anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Bahkan ada juga anak Belanda yang bahasa Belandanya tidak fasih.

Di luar statusnya sebagai pelajar; M. Natsir juga aktif dalam suatu organisasi. Misalnya Pandu Natipij dalam perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB), semacam PII sekarang. Di sinilah Natsir sempat kenalan dengan beberapa tokoh, seperti sastrawan Sanusi Pane. Kendatipun perkumpulan JIB di satu fihak, dan Perkumpulan Jong Sumatera di pihak lain, bukanlah merupakan partai politik. Namun keberadaannya telah menimbulkan rasa kesadaran para anggotanya tentang harga diri suatu bangsa guna menghadapi golongan pemerintah Belanda. Sebagai ilustrasi. Di antara para pemimpin kita yang pernah dikader melalui wadah tersebut adalah Muhammad Yamin, Muhammad Roem, Bahder Johan, Wiwoho Purbohadijoyo.

Setamatnya dari sekolah MULO, sempat terlintas di benak Natsir untuk memilih bekerja ketimbang melanjutkan sekolahnya. Gelagat ini segera tercium oleh orang tuanya. Atas motivasi orang tuanya, Natsir pun meneguhkan diri untuk tetap memilih melanjutkan sekolah ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung. Untuk maksud tersebut, ia harus berlayar menyeberangi lautan meninggalkan tanah leluhurnya. Pada bulan Juli 1927, ia mulai belajar di AMS Bandung. Di sekolah barunya itu Natsir belajar bahasa Latin dan Kebudayan Yunani, sekolah satu-satunya yang mengajarkan pelajaran tersebut. Di sisi lain Natsir mempunyai masalah dengan bahasa Belandanya. Menurut penilaian gununya, bahasa Belanda Natsir tidak begitu fasih dan tidak selancar teman-temannya yang berasal dari Jawa. Hal ini agaknya disebabkan oleh karena sudah terbiasa dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia ketika sekolah di Padang. Akibatnya ia sering diejek oleh teman-temannya. Namun berbagai ejekan itu justru memotivasinya untuk belajar keras memperdalam bahasa Belanda dan juga beberapa pelajaran lainnya. 12

Kerja keras Natsir tidak sia-sia, ia berhasil mendapatkan nilai yang baik sehingga mernperoleh bea siswa dari pemerintah Belanda sebagai yang didapatkannya di MULO Padang. Beasiswa tersebut terus diterimanya hingga ia menamatkan sekolah AMS tahun 1930. 13

Seperti di MULO Padang; ketika di AMS Natsir juga terlibat aktif menjadi anggota JIB cabang Bandung, dan bahkan sempat terpilih menjadi ketuanya antara tahun 1928-1932. Di sinilah Natsir sempat berkenalan dengan beberapa tokoh, seperti Mr. Kasman Singodernejo, Mr. Mohammad Roem dan Iain-lain. Di samping itu ia juga sempat bertemu dengan tokoh-tokoh gerakan pofitik, misalnya H. Agus Salim dan HOS. Tjokroaminoto. Tokoh lain yang tidak kurang pentingnya adalah ustadz A. Hasan, seorang ulama dan tokoh utama organisasi Persatuan Islam (Damanhuri Zuhri, 1994: 3). Dari tokoh yang disebut terakhir inilah, Natsir banyak bertukar pikiran tentang agama, politik dan gerakan kemerdekaan. Dari ustadz A. Hasan pula ia sempat memperdalam kembali bahasa Arabnya yang pernah dipelajarinya di sekolah Diniyah Solok.

Setelah tamat dari AMS, sebenarnya Natsir mempunyai kesempatan untuk melanjutkan studinya ke Sekolah Tinggi Hukum atau Sekolah Tinggi Ekonomi atas beasiswa pemerintah. Sedangkan orang tuanya sendiri mengharapkan Natsir menjadi ahli hukum dengan gelar Meester In de  Rechten. Namun kesempatan dan harapan orang tuanya itu tidak begitu dihiraukannya. Bahkan ia lebih memilih menjadi guru agama dan jurnalis, di samping tetap konsen memperdalam kajian keagamaannya dengan ustadz A. Hasan. 14


Perjuangan dan Karier M. Natsir

Pekerjaan sebagai jurnalis dan redaktur Pembela Islam merupakan titik awal dan karier Natsir. Sedangkan jiwa pendidiknya ia ekspresikan melalui pendirian sekolah di Bandung dengan nama Pendidikan Islam (Pendis). Latar belakang pendidikan Natsir yang kurang mendukung atas gagasan itu, menyebabkannya harus belajar banyak tentang metode pengajaran, dan untuk itulah ia masuk pada kursus guru pada tahun 1931 yang kemudian diselesaikannya pada pertengahan tahun 1932.

Dalam perkembangannya, Natsir mencoba merumuskan pendidikan Islam secara sistematis dan lengkap, dari tingkat Taman kanak-kanak, HIS, MULQ dan Kweekschool (sekolah guru). Perjalanan lembaga pendidikan tersebut tidak selalu berjalan mulus. Faktor finansial dan fasilitas belajar merupakan di antara sekian persoalan yang perlu segera mendapat perhatian. Untuk mengatasi berbagai persoalan itu, ia tidak segan-segan mendatangi para hartawan untuk memungut zakatnya. Di antara seorang hartawan yang memberi perhatian terhadap lembaga pendidikan tersebut adalah H. Muhammad Yunus. 15 Dalam hal ini, hubungan antara Natsir dan H. M. Yunus sesungguhnya hanya didasarkan atas rasa saling percaya. Bagi H. M. Yunus membantu lembaga pendidikan seperti yang dikelola Natsir itu hanyalah persoalan kecil. Namun untuk itu ia ingin mengetahui kejujuran Natsir dengan cara memberikan pinjaman uang sebesar 16 rupiah. Sebagai seorang yang selalu berusaha menjaga amanah, pinjaman tersebut kemudian dikembalikannya sesuai dengan perjanjian semula.

Perjuangan Natsir dan kawan-kawan dalam mengelola Pendis tidak sia-sia. Beberapa alumninya mempunyai peran yang cukup besar di tengah-tengah masyarakat. Di antara mereka ada yang menjadi guru di sekolah partikelir. Bahkan ada juga yang merintis mendirikan sekolah di daerah asalnya dengan nama "Pendidikan Islam" (Pendis). Beberapa lembaga Pendis itu kemudian berkembang di Bogor, Cirebon dan Kalimantan.

Keberhasilan yang diraih oleh Pendis itu tidak terlepas dari peran teman-teman Natsir yang membantu mengajar dengan tulus ikhlas. Mereka itu antara lain adalah Ir.Ibrahim, Ir. Inderacahya, dan Fakhruddin al-Khairi. 16 Perjalanan sejarah  monumental Pendis itu akhirnya harus terhenti sebagai akibat dari kebijakan politik Jepang yang menutup semua sekolah Paitikelir. Kiprah Natsir dalam dunia pendidikan pun akhirnya mulai surut, setelah menjabat direktur penulis antara tahun 1932-1942.

Dalam peta sejarah perkembangan bangsa Indonesia, M. Natsir merupakan salah seorang dari pemikir sekaligus pelaku sejarahnya. Pada masanya, ia dikenal sebagai seorang tokoh yang senantiasa berusaha menjernihkan masalah-masalah besar bangsa. Menurut Deliar Noer, sejak tahun 1930-an, ia telah memperjuangkan beberapa gagasannya terutama sekali erat kaitannya dengan corak negara. Bahkan pada masa kemerdekaan, masalah yang bersangkut paut dengan dasar negara dan sistemnya merupakan agenda penting dalam sidang-sidang Kanstituante yang tak luput dari perannya. 17

Bagi kalangan tertentu, pemikiran yang disumbangkan Natsir seringkali dianggap sebagai penghalang besar dalam mencapai tujuan mereka. Bukan saja komunis yang memang anti agama, tetapi juga kelompok kebangsaan yang netral agama. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengimbangi dan melawan pikiran-pikiran yang dilontarkan Natsir dalam berbagai tempat dan kesempatan.

Dalam segala gerak langkahnya, Natsir selalu menekankan hujjah-hujjah ajaran Islam. Menurutnya, Islam itu melengkapi segenap bidang hidup, tiada satu bidang pun termasuk politik negara yang dapat dipisahkan dari ajaran Islam. Menurut penilaian Yusril Ihza Mahendra, Natsir dalam mentransformasikan prinsip-prinsip kenegaraan Islam bersifat sangat liberal. Salah satu kasus yang menunjukkan hal ini adalah Natsir senantiasa mengambil contoh negara-negara Eropa Barat sebagai modelnya. 18

Sejak awal, politik dan agama berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya. Sehingga beberapa kalangan tertentu berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Dalam Islam, negara dan agama memang tidak ekuivalen, tetapi negara dipandang sebagai alat agama. Itulah sebabnya menurut Ibn Taimiyah, kendatipun menegakkan negara bukanlah salah satu dari asas-asas agama dan hanya kebutuhan praktis. Namun keberadaan negara dapat membantu syi'ar agama. 19 Merujuk pada asumsi ini. Maka sesungguhnya mendirikan sebuah negara dapat dipandang sebagai bagian dari ajaran agama. Sedangkan tujuannya adalah untuk menegakkan kebenaran dan mencegah permusuhan di antara manusia, serta mewujudkan adanya keadilan sosial. Dengan demikian, antara agama dan politik merupakan keterpaduan yang harus saling mendukung. Sebab, jika politik berkait dengan agama, ia akan membawa kemaslahatan. Sebaliknya politik tanpa ruh agama, ia akan mendatangkan kerusakan. 20 Sejarah telah membuktikan bahwa lembaga politik dapat mempermudah jalannya syi'ar agama. Untuk itu dalam Islam tidak relevan adanya pemisahan agama dari negara karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara. 21

Diskursus tentang konsep negara Islam, agaknya tetap aktual untuk diperbincangkan. Hal ini mungkin saja karena disebabkan oleh salah satu karakteristik agama Islam yang pada masa-masa awal penampilannya berjaya di bidang politik. Sejarah menuturkan bahwa kejayaan itu dimulai sejak Nabi Muhammad SAW sendiri memerintah negara Madinah sampai masa-masa jauh setelah beliau wafat. Kenyataan historis ini menjadi dasar bagi adanya pandangan yang beragam dikalangan para ahli dan pemikir, baik muslim maupun non-muslim, bahwa Islam adalah agama yang terkait erat dengan kenegaraan.

Dengan demikian satu dasar negara yang tepat sejatinya adalah sumber hukumnya berasal dari kedaulatan Tuhan atau wahyu Ilahi. Tanpa semua itu, maka fondasi negara akan rapuh dan kering dari nilai spiritualitas, yang pada gilirannya hanya akan menjauhkan manusia terhadap fitrahnya.

Pilihan Natsir terhadap Islam sebagai dasar negara, semata-mata bukan hanya didasari oleh sebuah realitas bahwa umat Islam Indonesia merupakan mayoritas. Tetapi juga berdasarkan atas suatu keyakinan bahwa Islam memang memuat suatu ajaran yang berhubungan ketatanegaraan secara sempurna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih jauh, Islam juga dipandang dapat menjamin kerukunan hidup antara berbagai golongan di dalam negara ini atas dasar saling menghargai.

Di sisi lain; kendatipun Natsir mempunyai pandangan tersendiri tentang Islam sebagai dasar negara. Namun hal tersebut tidak menghalanginya untuk menerima kenyatataan politik bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila. Salah satu contah yang menunjukkan hal itu adalah ketika Natsir menyampaikan pidato di Pakistan Instiiute of International Affairs, Karachi pada tanggal 2 April 1952. Judul pidato tersebut adalah What and how can the muslims contribute to the attaiment af astsble world peace (Munawir Sadzali, 1990: 194). 22 Melalui pidato itu ia menegaskan bahwa sejatinya Indonesia merupakan negera Islam juga sebagaimana Pakistan. Ini terbukti bahwa Islam keberadaannya diakui sebagai agama bagi rakyat Indonesia. Selain itu, menurutnya eksistensi agama juga tidak dipisahkan dari kehidupan bernegara. Bahkan konsep ketuhanan diposisikan pada sila pertama dalam Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia.

Sikap Natsir dalam kurun waktu 1952-1957 cukup menarik untuk diamati. Banyak kalangan yang menilai bahwa sikap yang ditunjukkannya pada tahun 1952 di Pakistan itu merupakan pandangan pribadinya, sementara beberapa pernyataanya yang cukup keras di tahun 1957 itu merupakan sikap politik partai yang dipimpinnya. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab menurutnya Pancasila dalam Konstituante mulai ditafsirkan ala sekuler oleh beberapa anggotanya. Kendatipun alasan tersebut sebenarnya masih mengandung unsur perdebatan di kalangan pengamat Islam politik. Misalnya Munawir Sadzali memandang lemah argumentasi yang dikemukakan oleh Natsir tadi.

Dalam hal ini, M. Natsir (1908 - 1993 M) merupakan salah seorang tokoh dan pemikir yang cukup konsen terhadap dialektika relasi agama dengan negara. Berbeda dengan kebanyakan tokoh lainnya, Natsir diberi kesempatan oleh sejarah untuk mempraktekkan gagasan-gagasannya dalam gelanggang perjuangan di pentas politik Indonesia. Ia pernah berada di puncak kekuasaan, yakni sebagai Menteri dan Perdana Menteri. Di dunia visi, beberapa buah pikirannya layak untuk digali dan dikaji lebih mendalam, terutama sekali tentang konsepsi negara dan coraknya. Meskipun diakui bahwa gagasan pemikiran politik Natsir itu bukan hal baru dalam era perkembangan pemikiran politik Islam. Sebab, teori-teori yang sama pernah juga dicetuskan oleh pemikir politik Islam pada era klasik, pertengahan bahkan kontemporer.

Pandangan Natsir tentang berbagai hal yang berhubungan dengan negara, sejatinya tidak seluruhnya  jelas. Namun  jika  beberapa gagasannya itu diteliti secara seksama, maka akan tampak sedikit dari pemikiran Natsir itu yang bersifat genuin. Kendatipun dalam hal ini mungkin saja masih mengandung perdebatan di kalangan pemikir Islam itu sendiri.

Mengawali pembahasanya tentang corak pemerintahan, Natsir menyinggung keberadaan kepala negara dalam menjalankan roda pemerintahannya harus mengutamakan kepentingan warga negara sesuai dengan ajaran Islam. Untuk mendukung hal ini, maka kepala negara dalam penyelenggaraan negara harus memegang prinsip mengedepankan musyawarah dengan orang-orang yang layak dan patut diajak bermusyawarah. Sedangkan cara bermusyawarah itu sendiri sepenuhnya diserahkan dengan situasi zaman yang berlaku. Berkaitan dengan hak dan kewajiban bagi yang diperintah dan yang memerintah, Natsir menekankan keharusan loyalitas warga negaranya dan diimbangi adanya tanggung jawab amanah sang penguasa. Menurutnya warga negara mempunyai hak  mengoreksi,  bahkan mengingkari kekuasaan apabila terjadi pelanggaran hak-hak oleh penguasa terhadap rakyatnya yang bertentangan dengan ajaran Islam. 23

Dari uraian di atas, maka agaknya Natsir mendasarkannya pada salah satu ayat al-Qur'an, yakni: surat al-Nisa' ayat 59. Dari sini jelas bahwa Natsir mempunyai  komitmen untuk mcmbela kedaulatan rakyat. Hal ini berarti sistem pemerintahan yang dikehendaki Natsir adalah keharusan mengutamakan kepentingan rakyat. Jadi kekuasaan yang dimaksud sejatinya berada di tangan rakyat.

Mengenai organisasi pemerintahan, Natsir tidak terlalu memperdulikan apakah susunan pemerintahan itu presidensial ataupun parlementer. Baginya yang terpenting adalah asalkan susunan pemerintahan itu dapat berjalan secara adil dan demokratis. Lebih lanjut ia juga tidak mempersoalkan sebutan atau gelar kepala negara. Menurutnya gelar apa saja boleh, baik khalifah, amiril mukntinin maupun presiden. Di sisi lain tentang jabatan kepala negara, Natsir mengedepankan kriteria sebagai berikut: beragama, berakhlak, mampu dan cakap atas jabatan itu. 24 Kriteria yang disebut terakhir ini bagi Natsir dipandang cukup penting. Karena hat ini sejalan dengan ajaran Islam yang melarang menyerahkan suatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya. Tidak hanya itu, bahkan Islam juga mengancam akan datangnya suatu kerusakan dan bala bencana apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya. Dalam hal ini Natsir mempedomani hadis Nabi saw yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. 25

Corak pemerintahan lainnya yang menjadi sorotan Natsir adalah isu demokrasi. Kendatipun ia tidak mendeskripsikan secara sistematis terhadap isu tersebut, tetapi ia berkeyakinan bahwa sesunguhnya Islam itu bersifat demokratis. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa konsep demokratsis tersebut menghendaki sistem musyawarah dalam setiap memutus masalah. Juga tidak berarti bahwa semua hal yang berkaitan dengan ketatanegaraan mesti diinstitusionalisasi melalui ketetapan majelis syuro (DPR). Dengan kata lain, sistem musyawarah itu hanya dilakukan terbatas pada berbagai hal yang belum ditetapkan hukumnya oleh Islam. Terhadap hal tersebut, maka berlakulah yurisprudensi hukum Islam dan gerakan ijtihad. Tegasnya menurut Natsir, Islam itu tidak usah demokratis seratus persen, bukan pula otokrasi seratus persen. Menurutnya Islam adalah Islam, yakni suatu pengertian, paham, suatu begrib sendiri dengan seperangkat sifat-sifat tersendiri pula. 26

Adapun tentang sistem pemerintahan, pandangan pandangan Nastsir cukup moderat. Menurutnya umat Islam bebas memilih sistem manapun di dunia ini yang paling sesuai, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Dengan kata lain umat Islam dapat saja mencontoh sistem pemerintahan yang dianut oleh Inggris, Jepang, Rusia, Finlandia dan sebagainya. Pemikiran ini didasari oleh auatu pertimbangan bahwa setiap produk suatu kebudayaan, bukanlah monopoli salah satu bangsa atau negara saja. Namun begitu sebagai umat Islam harus tetap berupaya melakukan filterisasi terhadap produk budaya asing dengan parameter ajaran agama.

Secara leksikal agama diartikan sebagai sistem, prinsip kepercayaan pada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. 27 Agama menurut Anshari adalah suatu sistem credo (tata keyakinan) atas adanya Yang Mutlak di luar manusia, atau sistem ritus manusia kepada yang dianggap Mutlak itu serta sistem norma sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan dimaksud. 28

Sementara itu Natsir mendefinisikan agama sebagai satu kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor:

1. Percaya adanya Tuhan sebagai sumber dari pada hukum dan nilai hidup;
2. Percaya dengan wahyu Tuhan yang disampaikan melalui Rasul-Nya;
3. Percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dengan manusia;
4. Percaya dengan matinya seseorang, kehidupannya tidak berarti berakhir;
5. Percaya bahwa ibadat adalah cara mengadakan hubungan dengan Tuhan;
6. Percaya dengan Tuhan sebagai sumber dari norma-norma dan nilai hidup;
7. Percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia dan di akhirat.

Meskipun agama memiliki definisi yang beraneka ragan, namun terdapat ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh semua agama pada umumnya. Ciri-ciri itu merupakan bagian dari titik-titik persamaan agama-agama. Adapun beberapa titik persamaan itu di antaranya adalah kebaktian, pemisahan antara yang sakral dengan profan, kepercayaan terhadap jiwa, kepercayaan kepada Tuhan, penerimaan hal supranatural dan keselamatan.   29 Dari sejumlah persamaan itu dapat dipahami bahwa agama adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan, berupa ajaran tentang ketentuan, kcpercayaan, kepasrahan dan pengamalan yang diberikan kepada makhluk berakal, demi keselamatan dan kesejahteraannya di dunia dan akhirat.

Adapun pengertian negara secara sederhana berarti organisasi, organ, badan alat bangsa untuk mencapai tujuannya. Dalam Pandangan al-Farabi, negara diidentikkan sebagai susunan tubuh manusia yang sehat lagi sempurna, masing masing anggotanya berusaha dan bekerja sama untuk menyempurnakan dan memelihara segala kebutuhan hidup bersama. 30 Dengan perkataan lain, negara merupakan suatu organisasi dengan segala sistem didalamnya yang bekerja bersama untuk mencapai tujuannya secara bersama pula.

Bagi Natsir, negara merupakan suatu badan yang tidak berdiri sendiri sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tujuan dimaksud adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berhubungan dengan pri-kehidupan manusia sendiri sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat. 31

Bertolak dari pemahaman Natsir yang demikian tentang negara, maka jelas bahwa ia merupakan salah seorang pembela utama dari pandangan penyatuan agama dan negara. Seperti halnya umat Islam pada umumnya, ia mengakui atas watak holistik Islam. Ia termasuk pendukung setia terhadap pernyataan H. A. R. Gibb yang mengemukakan bahwa Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia itu adalah suatu kebudayaan yang lengkap. 32

Meskipun begitu, Natsir juga sangat menyadari bahwa al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad tidak mempunyai "tangan dan kaki" untuk membuat manusia berjalan sesuai dengan aturan-aturan Islam. Seperti buku undang-undang yang lain-lainnya juga, tulisnya, "al-Qur'an pun tak dapat berbuat apapun dengan sendirinya, dan peraturan-peraturannya tidak akan berjalan dengan sendirinnya ...". 33 Sebagai ilustrasi, ia menyatakan bahwa Islam mewajibkan supaya orang membayar zakat sebagaimana mestinya. Berkenaan dengan itu ia mempertanyakan, bagaimana mungkin undang-undang kemasyarakatan ini berlaku dengan beres, kalau tidak ada pemerintah yang mengawasi berlakunya.

Karena itu, dalam pandangan Natsir, tidak diragukan lagi bahwa Islam memerlukan alat yang cocok untuk menjamin agar aturan-aturannya dapat dijalankan. Dalam konteks inilah ia melihat negara sebagai alat yang cocok untuk menjamin agar perintah-perintah dan hukum-hukum Islam dijalankan. Dalam hal ini sebagaimana dikemukakannya sendiri, "untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan (Islam) itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan (yang dikenal) dalam negara ...''. 34


Hubungan Agama dengan Negara

Bagi Natsir agama itu mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan negara berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan dua kehidupan tersebut. Karena nuansa kehidupan ini berdimensi ganda, yaitu adanya keterkaitan antara utusan dunia dan akhirat, maka segala prilaku dan pekerjaaan di dunia pada gilirannya akan dipertanggun-jawabkan di akhirat kelak termasuk dalam kehidupan bernegara.

Gambaran kilas balik dari beberapa pokok pikiran Natsir tadi merupakan langkah awal untuk memasuki arena perkembangan pemikiran politik Islam pada era Klsik dan Pertengahan. Dengan cara ini diharapkan akan memudahkan untuk memposisikan pola pikiran Natsir ke dalam kelompok pemikir tertentu di era tersebut.

Sesungguhnya pekerjaan mengelompokkan pemikir politik Islam pada era tertentu itu bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini karena selain jumlah mereka itu cukup banyak, juga karena batasan era itu sendiri tidak begitu jelas.

Sejumlah pemikir Islam lahir pada masa pemerintahan Abbasiyah, khususnya ketika al-Makmun memerintah (khalifah ke-7 Bani Abbas). Pada masa pemerintahannya, ia telah berhasil meninggalkan berbagai sejarah monumental tentang pengembangan umat Islam di segala bidang pemikiran. Kemajuan intelektual pada masa ini tidak hanya terbatas pada cabang ilmu tertentu, misalnya politik saja, tetapi juga. telah meliputi hampir sehuruh wilayah keilmuan, segerti matematika, astronomi, kedokteran, filsafat dan sebagainya. 35 Makmun menyadari benar bahwa kebutuhan investasi jangka panjang bagi rakyatnya terletak dalam pendidikan dan kebudayaan. Untuk itulah ia memanifestasikan kesadarannya tersebut dengan membuka sekolah dan perguruan tinggi di semua jurusan.

Sementara itu masa Abbasiyah juga ditandai oleh munculnya sarjana Islam pertama yang menuangkan gagasannya di bidang politik melalui karya tulis, yaitu Syihab al-Din Ahmad Ibn Abi Rabi' atau sering dikenal dengan Ibn Abi Rabi. Tokoh ini hidup pada masa pemerintahan Mu'tashim, putera Harun al-Rasyid, khalifah Abbasiyah ke delapan.

Selain Ibn Abi Rabi' terdapat juga beberapa pemikir lain, seperti al-Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun. Keenam pemikir itu kiranya dapat dianggap sebagai eksponen-eksponen yang mewakili pemikiran politik dunia Islam era Klasik dan Pertengahan. Untuk mcngetahui posisi pemikiran Natsir dalam peta pemikiran era dimaksud, ada baiknya dikedepankan beberapa gagasan pemikir tersebut secara singkat.

Bagi Natsir sendiri, Islam dinilai tidak hanya terdiri atas praktek-praktek ibadah an sich, tetapi juga telah memberikan prinsip-prinsip umum yang relevan tentang pengaturan hubungan antara individu dan masyarakat. Menurutnya aturan-aturan yang lebih terinci tentang pengorganisasian sebuah negara diserahkan kepada kemampuan para pemimpinnya untuk melakukan ijtihad. Di samping itu, kehadiran institusi negara dipandang penting karena Islam memerlukan sarana agar berbagai aturannya dapat dijalankan. Jadi, untuk menjaga agar patokan-patokan Islam dapat diberlakukan dan berjalan sebagaimana mestinya. Maka, harus ada suatu power yang dikenal dengan nama "negara". Oleh karena itulah Natsir menegaskan bahwa antara Islam dan negara merupakan dua entitas religio-politik yang menyatu, tidak dapat dipisahkan. Menyoal tentang organisasi pemerintahan, Natsir tidak menekankan terhadap suatu sistem tertentu. Baginya yang terpenting adalah sepanjang sistem tersebut dapat berlaku secara adil dan demokratis. Berpijak dari kerangka pikir ini pulalah yang membuat Natsir tidak mengharuskan gelar tertentu terhadap sebutan seorang kepala negara. Khusus tentang kriteria jabatan kepala negara, ia mengedepankan persyaratan beragama, berakhlak dan kemampuan serta kecakapan atas jabatan tersebut. Kendatipun kecakapan dan kemampuan menempati urutan kriteria terakhir. Namun, syarat itu dianggap sangat penting dan strategis.

Selain Natsir, sesungguhnya sudah cukup banyak tokoh politik Islam yang mengedepankan pandangan-pandangannya di seputar konsepsi negara dalam Islam. Berdasarkan periodesasinya, maka kategori pemikiran itu dapat dibagi ke dalam masa klasik, pertengahan dan kontemporer. Beberapa pemikiran politik Natsir jika dipetakan ke zaman klasik dan pertengahan. Maka sedikitnya cenderung menyamai dengan pandangan Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibn Khaldun. Di antara pandangan Natsir yang relatif sejalan dengan Mawardi adalah berkenaan dengan persyaratan seorang kepala negara. Mereka mensyaratkan pentingnya penghayatan agama dalam sendi utama politik negara dan kemampuan yang memadai bagi calon pemimpin atau imam tersebut. Sedangkan antara Natsir dan Ghazali agaknya sejalan dalam satu hal bahwa institusi negara merupakan kebutuhan bagi syi'ar agama. Mereka juga bersepakat bahwa persyaratan kemampuan rnerupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Menurut Natsir dan Ibn Taimiyah selain memandang penting keberadaan negara bagi agama, juga mengharuskan pemimpin untuk bermusyawarah dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Khusus antara Natsir dan Ibn Khaldun. Keduanya berpendirian yang relatif sama bahwa hubungan negara dan masyarakat berkaitan sangat erat.

Di samping pemikiran Natsir sedikit banyak sejalan dengan pandangan-pandangan pemikir politik Islam era Klasik dan Pertengahan, tampaknya dalam beberapa hal pemikirannya juga seirama dengan para intelekiual muslim era Kontemporer. Di antara mereka ini adalah Rasyid Ridha, Ikhwanul Muslimin (al-Banna dan Sayyid Quthb), dan Maududi. Bagi Natsir-Ridha kesamaan pandangannya terletak pada pentingnya asas musyawarah dalam memperjuangkan misi ajaran Islam melalui lembaga negara yang legitimet. Selanjutnya antara Natsir dan gerakan Ikhwanul Muslimin, khususnya al-Banna-Sayyid Quthb pendiriannya yang relatif sama adalah berkaitan dengan suatu pemahaman bahwa Islam merupakan agama yang lengkap, meliputi semua aspek kehidupan, termasuk persoalan politik. Dalam pada itu, antara Natsir dan Maududi seperti beberapa pemikir sebelumnya, juga berargumen sama bahwaa Islarn merupakan agama yang paripurna. Selain itu keduanya mempunyai pandangan yang sejalan tentang sumber kedaulatan sejatinya berasal dari Tuhan. Hanya saja Maududi Menyebutnya dengan suatu istitah yang lebih tegas, yaitu theo-demokrasi, sedangkan Natsir sendiri tidak menggunakan suatu terminologi khusus.


Perkembangan Pemikiran Politik Islam Menurut M. Natsir

Selain Natsir, sesungguhnya sudah cukup banyak tokoh politik Islam yang mengedepankan pandangan-pandangannya di seputar konsepsi negara dalam Islam. Berdasarkan periodesasinya, maka kategori pemikiran itu dapat dibagi ke dalam masa klasik, pertengahan dan kontemporer. Beberapa pemikiran politik Natsir jika dipetakan ke zaman klasik dan pertengahan. Maka sedikitnya cenderung menyamai dengan pandangan Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibn Khaldun. Di antara pandangan Natsir yang relatif sejalan dengan Mawardi adalah berkenaan dengan persyaratan seorang kepala negara. Mereka mensyaratkan pentingnya penghayatan agama dalam sendi utama politik negara dan kemampuan yang memadai bagi calon pemimpin atau imam tersebut. 36 Sedangkan antara Natsir dan Ghazali agaknya sejalan dalam satu hal bahwa institusi negara merupakan kebutuhan bagi syi'ar agama. Mereka juga bersepakat bahwa persyaratan kemampuan rnerupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Secara tegas al-Ghazali mensyaratkan kriteria pemimpin ideal sebagai berikut: seorang yang mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani). Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu Negara dan agama, agar dalam dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas). Selain itu, kriteria pemimpin, yakni anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat. 37 Sementara antara Natsir dan Ibn Taimiyah selain memandang penting keberadaan negara bagi agama, juga mengharuskan pemimpin untuk bermusyawarah dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Khusus antara Natsir dan Ibn Khaldun. Keduanya berpendirian yang relatif sama bahwa hubungan negara dan masyarakat berkaitan sangat erat.

Di samping pemikiran Natsir sedikit banyak sejalan dengan pandangan-pandangan pemikir politik Islam era Klasik dan Pertengahan, tampaknya dalam beberapa hal pemikirannya juga seirama dengan para intelekiual muslim era Kontemporer. Di antara mereka ini adalah Rasyid Ridha, Ikhwanul Muslimin (al-Banna dan Sayyid Quthb), dan Maududi. Bagi Natsir-Ridha kesamaan pandangannya terletak pada pentingnya asas musyawarah dalam memperjuangkan misi ajaran Islam melalui lembaga negara yang legitimet. Selanjutnya antara Natsir dan gerakan Ikhwanul Muslimin, khususnya al-Banna-Sayyid Quthb pendiriannya yang relatif sama adalah berkaitan dengan suatu pemahaman bahwa Islam merupakan agama yang lengkap, meliputi semua. aspek kehidupan, termasuk persoalan politik. Di dalam risalah pergerakan ikhwanul muslimin Hasan al-Banna memaparkan bahwa “sesungguhnya dalam Islam ada politik, namun politik yang padanya terletak kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya, menurut ikhwan, politik adalah upaya memikirkan persoalan internal dan eksternal umat, memberikan perhatian kepadanya, dan bekerja demi kebaikan seluruhnya. Ia berkaitan dengan aqidah dan akhlak serta bertujuan untuk melakukan perubahan. 38

Dalam pada itu, antara Natsir dan Maududi seperti beberapa pemikir sebelumnya, juga berargumen sama bahwa Islam merupakan agama yang paripurna. Selain itu, keduanya mempunyai pandangan yang sejalan tentang sumber kedaulatan sejatinya berasal dari Tuhan. Hanya saja Maududi menyebutnya dengan suatu istitah yang lebih tegas, yaitu theo-demokrasi, sedangkan Natsir sendiri tidak menggunakan suatu terminologi khusus. Secara rinci Maududi menggambarkan perbedaan terpenting antara sistem Islam dan sistem demokrasi adalah dalam tiga unsur yaitu: Pertama, yang dimaksud dengan istilah rakyatatau bangsa dalam sistim demokrasi modern dalam dunia Barat adalah rakyat yang terbatas pada lingkup territorial geografis yang hidup dalam daerah tertentu, dan disatukan oleh ikatan-ikatan daerah, ras, bahasa, dan tradisi yang sama. Sedangkan Islam tidak membatasi teritorial, ras dan sebagainya, tetapi satu kesatuan umat. Kedua, tujuan demokrasi Barat modern atau demokrasi apapun pada masa lalu adalah untuk kepentingan dunia materi. Namun demokrasi Islam, di samping mencakup tujuan-tujuan duniawi juga menjauhkan pemikiran keberpihakan nasional, juga membidik tujuan-tujuan rohani bahkan itulah yang mendasar. Ketiga, kekuasaan umat (rakyat) dalam demokrasi Barat bersifat mutlak. Sedangkan dalam Islam, kekuasaan umat (rakyat) tidak semutlak itu, tetapi dibatasi oleh hak mutlak Allah Swt. 39


Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bagi Natsir, Islam dan negara itu berhubungan secara integral bersifat simbiosa, berhubungan secara resiprokal dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, dan sebaliknya. Menurut Natsir, Islam merupakan ajaran yang lengkap, tidak hanya mengandung persoalan ibadah mahdhoh semata, tetapi juga mengandung aspek lain seperti bidang kenegaraan. Maka, pendirian sebuah negara adalah suatu keniscayaan. Meskipun begitu, negara itu sifatnya hanya merupakan instrumen, bukan tujuan. Atas`dasar itu, seorang kepala negara itu tidak perlu bergelar kholifah, akan tetapi bisa juga presiden atau yang lainnya. Baginya yang penting adanya sifat-sifat, hak dan kewajiban mereka harus sebagaimana dikehendaki oleh Islam. Dilihat dari konstruksi argumentasinya, dalam beberapa hal, Natsir mengikuti pendapat Ibn Taimiyah berkaitan dengan urgensi keniscayaan adanya Negara. Ia juga sejalan dengan Ibn Khaldun yang membandingkan masyarakat dengan Negara sebagaimana hubungan antara benda dengan bentuknya. Secara keseluruhan, selain terpengaruh pemikiran politik intelektual muslim masa klasik dengan karya-karya monumentalnya seperti al-Mawardi dengan al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juga terpengaruh oleh pemikiran politik intelektual muslim modern seperti al-Maududi dan al-Afghani. []


Catatan Kaki:

1Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, (Bandung: Pimp. Fraksi Masyumi, 1957), hlm. 12
2Mohammad Natsir, Capita Setekta, (Jakarta: Bulan Bintang,1973), hlm. 436
3Nurcholish Madjid, "Tulisan yang ditunggu-tunggu", dalam Islamika, No. 1 Juli-September, (Jakarta: Mizan dan MISSI. 1993), hlm. 81
4 Yusuf Abdullah Puar,  Mohammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978) , hlm. 333
5Ibid., hlm. 448
6Ibid., hlm. 1
7Dewan Redaksi,  Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, I994), hlm. 21
8Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir: ..., Op.Cit., hlm. 3
9Ibid., hlm. 4
10Ibid., hlm. 5
11Ibid., hlm. 6
12Tim Penyusun, Memoar: Senarai Kiprah Sejarah, (Jakarta: Pusat Utama Graftti, 1993), hlm. 82
13Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir: ..., Op.Cit., hlm. 9
14Deliar Noer, "Pengantar", dalam M. Natsir, Dunia Islam dari Masa ke Masa,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. x
15Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir: ..., Op.Cit., hlm. 31
16Ibid.,
17Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942,
(Oxford New York: Oxford Uruversity Press, l978), hlm. 363
18http://bulanbintang.wordpress.c0m/2008/07/17/mengenang-seratus-tahun-mohammad-natsir-catatan-yusril-ihza-mahendra, diakses 11 Juli 2014
19Qomaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, terj. oleh Islamic Research Institute Islamabad, (Bandung: Pustaka, 1971), hlm. 67
20Abdul Ghafar Aziz, Islam Politik: Pro dan Kontra, terj. M. Thoha Anwar, (Jakarta: Fustaka Firdaus, 1993), hlm. 34
21Yusril Ihza Mahendra, “Combining Activism and Intelektualism, the Biography of Muhammad Natsir (1908-1993)”, dalam Studia Islamika. Harun Nasution, Volume 2, Nomor 1, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 136
22Munawir Sadzali,  Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 194
23Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir: ..., Op.Cit., hlm. 448
24Mohammad Natsir, Capita ..., Op.Cit., hlm. 436
25Al-Bukhari, at-Shahih al-Bukhari, (Maktabah Dahlan, tt), Jilid 4, No. 2612
26Mohammad Natsir, Capita ..., Op.Cit., hlm. 452-453
 27Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 10
28Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung: Pustaka Salman 1983), hlm. 33
29Zakiah Darajdat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 14
30Z.A. Ahmad, Negara Utama: Teori Kenegaraan dari Sarjana Islam al-Farabi, (Jakarta: Kinta, I968), hlm. 43
31Mohammad Natsir, Capita ..., Op.Cit., hlm. 442
32H. A. R. Gibb (ed.), Watther Islam? : A Suravey of Modern Movements in the Moslem World, (London: Victor Gollancz. Ltd., 1932), hlm. 12
33Mohammad Natsir, Capita ..., Op.Cit., hlm. 437
34Ibid.,
35KA. Ali, Studi Sejarah Islam, terj. Adang Affandi, (Jakarta: Bina Cipta, 1995), hlm. 273
36Al-Mawardi, a1-Ahkam al-Sulahannyyah wa al-Wilayah al-Diniyah,  (tt: Mustafa Babi al-Halabiy, l973), hlm. 6
37Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), hlm. 22
38Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, terj. Anis Mata, (Solo: Intermedia, 2001), hlm. 63
39Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 311


Daftar Pustaka:

01.Ahmad, Z.A. (1968). Negara Utama: Teori Kenegaraan dari Sarjana Islam al-Farabi. Jakarta: Kinta.
02.Ali, KA. (1995). Studi Sejarah Islam.  terj. Adang Affandi. Jakarta: Bina Cipta.
03.Al-Mawardi. (1973). al-Ahkam al-Sulahannyyah wa al-Wilayah al-Diniyah.  tt: Mustafa Babi al-Halabiy.
04.Al-Banna, Hasan. (2001). Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. terj. Anis Mata. Solo: Intermedia.
05.Al-Bukhari. (tt). al-Shahih al-Bukhari. Maktabah Dahlan. Jilid 4.
06.Al-Ghazali, Abu Hamid. (1983). Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
07.Anshari, Endang Saifuddin. (1983). Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Bandung: Pustaka Salman.
08.Aziz, Abdul Ghafar. (1993). Islam Politik: Pro dan Kontra, terj. M. Thoha Anwar. Jakarta: Fustaka Firdaus.
09.Daradjat, Zakiah. (1970).  Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
10.Dewan Redaksi. (1994). Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
11.Gibb, H. A. R. (1932). Watther Islam? : A Survey of Modern Movements in the Moslem World . London: Victor Gollancz. Ltd.
11.http://bulanbintang.wordpress.com/2008/07/17/mengenang-seratus-tahun-mohammad-natsir-catatan-yusril-ihza-mahendra


Sumber:

Amin Suyitno, Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia. www.academia.edu□□□