Kata Pengantar
Pada hari
Sabtu, tanggal 14, bulan Mei 2016, di IMAAM
CENTER, Silver Spring, mengelenggarakan bedah buku “M. Natsir di Panggung Sejarah
Republik”. M. Natsir, nama penjangannya Mohammad Natsir adalah seorang da’i juga sebagai politisi yang berkecimpung dalam kegiatan bermasyarakat (dakwah) sekaligus
menjabat tugas-tugas pemerintahan seperti pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan,
kemudian sebagai Perdana Menteri.
Buku M.
Natsir ini berisikan hal-hal seperti itu yang di kumpulkan dari pendapat (hasil penelitian)
oleh para pakar-pakar ilmu-ilmu social yang sesuai dengan bidang yang menjadi pembahasannya.
Mari ikuti pembahasannya seperti tersebut dibawah ini. Selamat menyimak. □ AFM
“M.
NATSIR DI PANGGUNG SEJARAH REPUBLIK.”
Oleh:
Abdul Nur Adnan, nara sumber
K
|
etika
Pak Natsir (17 Juli 1908 - 6 Februari 1993) ber”usia” 100 tahun, pada tahun 2008, sebuah panitia mengadakan
perhelatan akademik besar-besaran. Beliau dikuliti habis dalam berbagai
seminar. Dari keterkaitan beliau di Bidang Pendidikan di Universitas Islam
Bandung oleh Prof Dr. Bambang Sudibyo; Bidang Politik Da’wah di UIN Syahid oleh
AM Fatwa; Bidang Ekonomi dalam Kabinet Natsir di Batam oleh Aida Ismeth, anggota
DPR; Bidang Pemikiran Politik di UII
Yogyakarta oleh Hemengku Buwono X; Masalah
PRRI di Universitas Islam Riau; Gerakan Da’wah di Universitas Muslim Makasar oleh
Menteri Agama Maftuh Basuni dan Mengenai Mosi Integral, yang melahirkan NKRI di
Fisipol, Universitas Soedirman, Purwokerto.
Kemudian ada satu lagi seminar untuk menyambut hari bersejarah itu,
yaitu Seminar “Kedudukan M. Natsir dalam Sejarah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.” Seminar terakhir itu diikuti oleh Sejarawan - Dr. Anwar Gonggong, Politikus
- Sabam Sirait, Sarjana Politik - Dr. Burhan D. Magenda, Pakar Hukum - Dr.
Yusril Ihza Mahendra, dan Pendidikan - Malik Fajar, MA. Hasil seminar terakhir,
yang dikatakan sebagai puncak acara itu, diterbitkan dalam bentuk buku tipis
berjudul “M. Natsir Di Panggung Sejarah Republik,” (MNDPSR) diterbitkan oleh
Penerbit Republika pada tahun 2008 yang lalu. Saya tidak tahu apakah
seminar-seminar lainnya yang saya sebut tadi juga diterbitkan. Kalau tidak, alangkah sayangnya, karena kalau
diterbitkan akan menjadi pelengkap yang sangat dibutuhkan, untuk menjawab
banyak pertanyaan yang masih menggantung dari buku ini.
Pada tahun 2008 itu, IMAAM juga
mengadakan seminar tentang Bapak M. Natsir, dan saya sendiri diminta ikut
memberikan makalah. Makalah saya waktu itu berjudul “Pak Natsir, Negara Islam
dan Panca Sila.” Masyumi yang dipimpin Pak Natsir ketika sidang Majelis
Konstituante itu, memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara (maksudnya bukan sebagai
Negara Islam atau Teokrasi), dan menyatakan bahwa Panca Sila itu, sebagai
pedoman yang disusun oleh orang-orang Islam, tentu tidak bertentangan dengan
Islam, tetapi Panca Sila bukanlah Islam itu sendiri. Namun, beliau tidak anti Panca
Sila, masih memberi ruang untuk kompromi, meskipun hal itu tidak bisa dilakukan
karena keburu Bung Karno mengambil langkah-langkah otoriter.
Selama ini saya mengira, saya sudah
mengetahui semua tentang Pak Natsir. Tetapi ketika saya membaca buku MNDPSR
ini, ternyata masih ada hal-hal baru yang belum saya ketahui, atau mungkin saya
sudah lupa. Misalnya, seperti dikatakan oleh moderator seminar ini, Dr. Taufik
Abdullah, bahwa ternyata banyak pidato Bung Karno sebelum tahun 1950 itu yang
menulis adalah Pak Natsir.
Kemudian dari makalah Dr. Burhan D.
Magenda, saya temukan antara lain hal-hal sebagai berikut:
● Biografi Pak Natsir pada tahu 2008 itu sudah ditulis oleh Indonesianis di
Universitas Cornell, George McTurnan Kahin dan istrinya, Audrey Kahin. Tapi baru selesai 70-80%, George keburu
meninggal, pada tahun 2000.
● Pak Natsir seorang nasionalis
sejati. Terbukti waktu beliau menjabat Perdana
Menteri, mengangkat orang Jawa sebagai Gubernur Sumatra Tengah, Ruslan
Mulyoharjo, atas restu Pak Natsir, karena beliaulah Pak Ruslan bisa diterima di
Sumatera.
● Perbedaan antara Bung Karno (BK) dan
Mohammad Natsir (MN) ada tiga. Pertama,
dalam masalah Irian Barat, BK garis keras, MN garis moderat seperti apanya tidak
dijabarkan oleh Burhan Magenda. Kedua, masalah
sistem demokrasi, presidential atau parlementer. MN pro presidensial dengan
peran tertentu kepada partai-politik. BK, demokrasi terpimpin, terpengaruh oleh
para aristokrat Jawa, yang menganggap rakyat masih terlalu rendah
pendidikannya, jadi diperlukan demokrasi “with
leadership.” Ketiga, BK otoriter,
MN demokrat.
● PRRI: MN dan Syafruddin
Prawiranegra (SyP), bergabung dengan PRRI itu karena terror yang terjadi di
Jakarta, sejak percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Cikini, dimana
GPII disangkut-pautkan. MN dan SyP sebenarnya tidak setuju dengan cara kekerasan
yang dilakukan oleh kelompok militer (Ahmad Husein dan Simbolon), yang mengirim
ultimatum kepada Presiden Sukarno. MN percaya pada cara-cara demokratis dan
damai.
●Masyumi dan Militer: Sesudah Orde Baru,
rehabilitasi Masyumi gagal karena militer tidak setuju. Militer itu melihat sesuatu secara
hitam-putih. Dalam politik ada abu-abunya. Cara berpikir militer harus diubah,
politik itu berbeda dengan perang.
●Da’wah: Gerakan da’wah MN itu
“teduh, damai dan toleran.” Dia menjaga hubungan baik dengan tokoh-tokoh dari
agama lain sperti Tambunan, TB Simatupang. Karena itu, di bawah bimbingan MN,
gerakan da’wah tidak melahirkan radikalisme.
Dari sejarawan Dr. Anhar Gonggong
antara lain dari hal-hal sebagai berikut:
● BK dan MN itu mempunyai perbedaan
pandangan, tapi perkawanannya tetap kuat. Orang berbeda pendapat tapi tetap
mempertahankan etika. Ini unsur penting
dalam “membaca” Pak Natsir. Etika politik seperti ini sekarang mulai hilang.
●MN itu menjalankan politik dengan
etika.
●Sudah 4 macam demokrasi kita coba
kembangkan, semua gagal. Mulai dari
demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Panca Sila (yang
ujung-ujungnya diktatur juga) dan demokrasi yang sekarang ini. Agar berhasil
harus ada etika, tanpa etika hanya akan timbul demokrasi yang kacau.
● PRRI: tidak jelas mengapa MN
bergabung dengan “pemberontak,” karena sebenarnya beliau adalah orang yang
tidak suka kekerasan. Lagipula pembrontakan itu tidak demokratis. Tampaknya dia
terjepit, antara PKI yang semakin kuat dan dekat dengan BK, Nasution yang tidak
memberi jalan keluar dan BK yang semakin keras sikapnya. Ini tragedi bagi MN,
tragedi yang berlanjut semasa Orba, yang menutup kesempatan bagi beliau untuk
berkiprah lagi di bidang politik. Namun beliau kemudian “menempuh jalan
intelektual – kembali menjadi seorang da’i yang membangun demokrasi.” Jadi MN
terus berjuang, dia memang seorang pejuang.
● “Sejak Orba tidak ada lagi
pejuang. Yang ada, hanyalah
penikmat-penikmat kemerdekaan.”
Dari Sabam Sirait/Parkindo/PDI
antara lain dari hal-hal sebagai berikut:
● Mengenai Mosi Integral: Mohammad
Natsir memang dari permulaan percaya bahwa negara-negara bagian bikinan Belanda
itu akan bersedia untuk bergabung dengan
“Negara Bagian” RI, untuk mendirikan kembali NKRI. Sabam Sirait (SS) menyinggung Negara Bagian Sumatera
Timur, yang waktu itu mendapat tentangan dari “rakyat”nya sendiri. Negara
Sumatra Timur ini mempunyai lagu kebangsaan sendiri (ini baru bagi saya). Untuk
menggoalkan mosinya itu, MN berhasil menyatukan partai-partai untuk berdiri di
belakangnya.
● SS juga mengharapkan sistem
pendidikan yang akan membuat anak didik sadar siapa pemimpin-pemimpin mereka,
karena ia bertanya pada 3 orang seperti dari seorang pengacara muda, seorang
penyanyi terkenal, seorang bakal calon bupati, ternyata mereka tidak kenal
siapa itu MN.
● SS mendukung usul untuk
mengangkat MN sebagai Pahlawan Nasional, tetapi sebenarnya ia tidak setuju
kalau gelar seperti itu harus diusulkan atau diperjuangkan. Inisiatif harus datang dari pemerintah
(negara), yang dengan teliti harus memeriksa riwayat hidup seseorang, kemudian
memutuskan apakah orang itu pantas mendapat gelar “Pahlawan Nasional”. (Tetapi pada tahun 2008 itu juga, Presiden
SBY membuat SK yang memberi gelar Pahlawan Nasional kepada MN.)
Malik Fajar (masalah Pendidikan)
antara lain dari hal-hal sebagai berikut:
● MN tidak suka pendidikan
dipilah-pilah menjadi pendidikan Barat dan Timur. Begitu pula dalam memahami
agama (Islam Timur Tengah, Islam Nusantara?).
● Dalam masalah pendidikan Islam, MN
masih melihat terlalu banyak tekanan pada masalah fiqh. Padahal fiqh itu hanya 25% dari ajaran Islam,
sedang yang 75% menyangkut masalah peradaban.
● Menurut Pak Malik Fajar, sekarang
ini ada penyempitan pemahaman tentang pendidikan. Yang dipersoalkan adalah
keterbatasan dana. Seharusnya orang lebih memanfaatkan sumber-sumber daya, terutama sumber-sumber
kebudayaan yang cukup memiliki potensi
untuk kemajuan pendidikan Islam dan peradaban. (Kurang jelas apa yang
dimaksud).
Yusril Ihza Mahendra (YIM) antara
lain dari hal-hal sebagai berikut:
● MN, seorang tokoh pergerakan Islam
modern, yang ciri-cirinya adalah berpendapat Islam adalah ajaran universal yang
abadi, namun ajarannya yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat,
bangsa dan negara hanyalah prinsip-prinsipnya saja, tidak masuk ke
detail-detailnya. Prinsip itu dapat ditafsirkan sesuai dengan kenyataan sosial
dan politik sebuah masyarakat. Jadi bisa berubah mengikuti tuntutan zaman.
● Menurut YIM, MN berpendapat Islam
itu bukan sistem, tapi ajaran yang dapat ditafsirkan untuk membentuk sistem.
Karena itu MN sangat terbuka sebelum Indonesia merdeka. Sistem dapat kita pinjam dari Rusia,
Finlandia atau Swiss, asal sesuai dengan kepentingan masyarakat kita. Sistem
itu dapat terus diperbaharui sesuai dengan tantangan (jaman), sehingga mungkin
saja sistem kita akan berlainan dengan sistem yang ada di masyarakat Muslim
lainnya. Pendapat MN ini bertolak dari realitas masyarakat Indonesia, dimana
dia berada di tengahnya. Karena itu
pandangannya berbeda dengan Sayid Qutub dan Maududi, yang menurut YIM tidak
pernah ikut menentukan kebijakan negara. Mereka tidak pernah terlibat dalam
pemerintahan.
● Bandingkan Maududi dan MN ketika
penyusunan konsep negara, Pakistan untuk Maududi dan Indonesia untuk MN.
Maududi awalnya justru menentang pembentukan Negara Pakistan, tapi akhirnya
setuju dan hijrah ke Pakistan. Sedang MN dari awal sudah berjuang untuk sebuah
Indonesia merdeka. Dari permulaan MN sudah memperjuangkan Negara Kesatuan, yang
tidak mempunyai masalah dengan bahasa kesatuan (tidak seperti di Pakistan), sedang terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat)
hanyalah taktik politik saja.
● Sayid Qutub dan Maududi tidak
pernah terlibat dalam pemerintahan. Jadi
pemikiran mereka adalah pemikiran orang “di belakang meja.” MN terlibat
langsung dalam perdebatan mengenai dasar Negara. (Mungkin ada kesalahan YIM, yang
mengatakan ketika perdebatan di Konstituante itu Pak Natsir sebagai Mentri
Penerangan -Menpen. Pak Natsir menjabat sebagai Menpen itu di jaman revolusi).
● Menurut YIM, semakin dekat orang
dengan kekuasaan, semakin moderatlah sikapnya, tapi kalau dia tersingkir bisa
juga menjadi “fundamentalistik.”
● MN tidak dapat mentolerir
kekerasan (mengapa ikut PRRI? – Menurut Des Alwi dalam seminar itu, dirinya
lari masuk hutan bersama Pak Natsir, dan menurutnya Pak Natsir bergabung dengan
PRRI karena tidak mau dimasukkan penjara oleh Sukarno.
● MN menunjukkan bahwa kekuatan
seseorang sebenarnya bukan dari ucapan-ucapannya yang lantang dan keras, tetapi
justru pada kata-kata yang lembut, yang mencerminkan keteguhan pandangannya.
KESIMPULAN
1.
Tokoh-tokoh politik jaman perjuangan dulu adalah orang-orang yang hidupnya
sederhana dan berjuang dengan ikhlas. Ini kita lihat tidak hanya pada Pak
Natsir, tetapi juga tokoh-tokoh lainnya.
2.
Berpolitik itu harus dengan etika.
3. Kita
harus menyadari bahwa Negara yang kita bangun adalah negara milik bersama dari
penduduk yang berasal dari beragam suku-bangsa dan bahasa.
4.
Islam yang diperjuangkan Pak Natsir dalam kaitannya dengan hidup bernegara
adalah prinsip-prinsip ajarannya saja, jadi bukan detailnya. Karena Islam
bukanlah sistem, tapi prinsip-prinsip yang bisa disusun menjadi sistem. Dengan
demikian, Islam yang universal itu akan dapat diterima oleh semua pihak, dan
bisa berubah seiring dengan perubahan jaman dan kepentingan.[][][]