Monday, August 22, 2016

M Natsir di Panggung Sejarah Republik




Kata Pengantar

Pada hari Sabtu, tanggal 14, bulan Mei 2016, di  IMAAM CENTER, Silver Spring, mengelenggarakan bedah buku “M. Natsir di Panggung Sejarah Republik”. M. Natsir, nama penjangannya Mohammad Natsir adalah seorang da’i juga sebagai politisi yang berkecimpung dalam kegiatan bermasyarakat (dakwah) sekaligus menjabat tugas-tugas pemerintahan seperti pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan, kemudian sebagai Perdana Menteri.
Buku M. Natsir ini berisikan hal-hal seperti itu yang di kumpulkan dari pendapat (hasil penelitian) oleh para pakar-pakar ilmu-ilmu social yang sesuai dengan bidang yang menjadi pembahasannya. Mari ikuti pembahasannya seperti tersebut dibawah ini. Selamat menyimak. □ AFM


“M. NATSIR DI PANGGUNG SEJARAH REPUBLIK.”
Oleh: Abdul Nur Adnan, nara sumber


K
etika Pak Natsir (17 Juli 1908 - 6 Februari 1993) ber”usia” 100 tahun, pada tahun 2008, sebuah panitia mengadakan perhelatan akademik besar-besaran. Beliau dikuliti habis dalam berbagai seminar. Dari keterkaitan beliau di Bidang Pendidikan di Universitas Islam Bandung oleh Prof Dr. Bambang Sudibyo; Bidang Politik Da’wah di UIN Syahid oleh AM Fatwa; Bidang Ekonomi dalam Kabinet Natsir di Batam oleh Aida Ismeth, anggota DPR; Bidang Pemikiran Politik di  UII Yogyakarta oleh  Hemengku Buwono X; Masalah PRRI di Universitas Islam Riau; Gerakan Da’wah di Universitas Muslim Makasar oleh Menteri Agama Maftuh Basuni dan Mengenai Mosi Integral, yang melahirkan NKRI di Fisipol, Universitas Soedirman, Purwokerto.  Kemudian ada satu lagi seminar untuk menyambut hari bersejarah itu, yaitu Seminar “Kedudukan M. Natsir dalam Sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Seminar terakhir itu diikuti oleh Sejarawan - Dr. Anwar Gonggong, Politikus - Sabam Sirait, Sarjana Politik - Dr. Burhan D. Magenda, Pakar Hukum - Dr. Yusril Ihza Mahendra, dan Pendidikan - Malik Fajar, MA. Hasil seminar terakhir, yang dikatakan sebagai puncak acara itu, diterbitkan dalam bentuk buku tipis berjudul “M. Natsir Di Panggung Sejarah Republik,” (MNDPSR) diterbitkan oleh Penerbit Republika pada tahun 2008 yang lalu. Saya tidak tahu apakah seminar-seminar lainnya yang saya sebut tadi juga diterbitkan.  Kalau tidak, alangkah sayangnya, karena kalau diterbitkan akan menjadi pelengkap yang sangat dibutuhkan, untuk menjawab banyak pertanyaan yang masih menggantung dari buku ini.


            Pada tahun 2008 itu, IMAAM juga mengadakan seminar tentang Bapak M. Natsir, dan saya sendiri diminta ikut memberikan makalah. Makalah saya waktu itu berjudul “Pak Natsir, Negara Islam dan Panca Sila.” Masyumi yang dipimpin Pak Natsir ketika sidang Majelis Konstituante itu, memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara (maksudnya bukan sebagai Negara Islam atau Teokrasi), dan menyatakan bahwa Panca Sila itu, sebagai pedoman yang disusun oleh orang-orang Islam, tentu tidak bertentangan dengan Islam, tetapi Panca Sila bukanlah Islam itu sendiri. Namun, beliau tidak anti Panca Sila, masih memberi ruang untuk kompromi, meskipun hal itu tidak bisa dilakukan karena keburu Bung Karno mengambil langkah-langkah otoriter.

            Selama ini saya mengira, saya sudah mengetahui semua tentang Pak Natsir. Tetapi ketika saya membaca buku MNDPSR ini, ternyata masih ada hal-hal baru yang belum saya ketahui, atau mungkin saya sudah lupa. Misalnya, seperti dikatakan oleh moderator seminar ini, Dr. Taufik Abdullah, bahwa ternyata banyak pidato Bung Karno sebelum tahun 1950 itu yang menulis adalah Pak Natsir.


            Kemudian dari makalah Dr. Burhan D. Magenda, saya temukan antara lain hal-hal sebagai berikut:

● Biografi Pak Natsir pada tahu  2008 itu sudah ditulis oleh Indonesianis di Universitas Cornell, George McTurnan Kahin dan istrinya, Audrey Kahin.  Tapi baru selesai 70-80%, George keburu meninggal, pada tahun 2000.

● Pak Natsir seorang nasionalis sejati.  Terbukti waktu beliau menjabat Perdana Menteri, mengangkat orang Jawa sebagai Gubernur Sumatra Tengah, Ruslan Mulyoharjo, atas restu Pak Natsir, karena beliaulah Pak Ruslan bisa diterima di Sumatera.

● Perbedaan antara Bung Karno (BK) dan Mohammad Natsir (MN) ada tiga. Pertama, dalam masalah Irian Barat, BK garis keras, MN garis moderat seperti apanya tidak dijabarkan oleh Burhan Magenda. Kedua, masalah sistem demokrasi, presidential atau parlementer. MN pro presidensial dengan peran tertentu kepada partai-politik. BK, demokrasi terpimpin, terpengaruh oleh para aristokrat Jawa, yang menganggap rakyat masih terlalu rendah pendidikannya, jadi diperlukan demokrasi “with leadership.” Ketiga, BK otoriter, MN demokrat.

● PRRI: MN dan Syafruddin Prawiranegra (SyP), bergabung dengan PRRI itu karena terror yang terjadi di Jakarta, sejak percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Cikini, dimana GPII disangkut-pautkan. MN dan SyP  sebenarnya tidak setuju dengan cara kekerasan yang dilakukan oleh kelompok militer (Ahmad Husein dan Simbolon), yang mengirim ultimatum kepada Presiden Sukarno. MN percaya pada cara-cara demokratis dan damai.

Masyumi dan Militer: Sesudah Orde Baru, rehabilitasi Masyumi gagal karena militer tidak setuju.  Militer itu melihat sesuatu secara hitam-putih. Dalam politik ada abu-abunya. Cara berpikir militer harus diubah, politik itu berbeda dengan perang.

Da’wah: Gerakan da’wah MN itu “teduh, damai dan toleran.” Dia menjaga hubungan baik dengan tokoh-tokoh dari agama lain sperti Tambunan, TB Simatupang. Karena itu, di bawah bimbingan MN, gerakan da’wah tidak melahirkan radikalisme.


            Dari sejarawan Dr. Anhar Gonggong antara lain dari hal-hal sebagai berikut:


● BK dan MN itu mempunyai perbedaan pandangan, tapi perkawanannya tetap kuat. Orang berbeda pendapat tapi tetap mempertahankan etika.  Ini unsur penting dalam “membaca” Pak Natsir. Etika politik seperti ini sekarang mulai hilang.

●RI didirikan dengan dialog. Kalau ada senjata bicara “itu tidak pantas.”
 
●MN itu menjalankan politik dengan etika.

●Sudah 4 macam demokrasi kita coba kembangkan, semua gagal.  Mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Panca Sila (yang ujung-ujungnya diktatur juga) dan demokrasi yang sekarang ini. Agar berhasil harus ada etika, tanpa etika hanya akan timbul demokrasi yang kacau.

● PRRI: tidak jelas mengapa MN bergabung dengan “pemberontak,” karena sebenarnya beliau adalah orang yang tidak suka kekerasan. Lagipula pembrontakan itu tidak demokratis. Tampaknya dia terjepit, antara PKI yang semakin kuat dan dekat dengan BK, Nasution yang tidak memberi jalan keluar dan BK yang semakin keras sikapnya. Ini tragedi bagi MN, tragedi yang berlanjut semasa Orba, yang menutup kesempatan bagi beliau untuk berkiprah lagi di bidang politik. Namun beliau kemudian “menempuh jalan intelektual – kembali menjadi seorang da’i yang membangun demokrasi.” Jadi MN terus berjuang, dia memang seorang pejuang.

● “Sejak Orba tidak ada lagi pejuang.  Yang ada, hanyalah penikmat-penikmat kemerdekaan.”


            Dari Sabam Sirait/Parkindo/PDI antara lain dari hal-hal sebagai berikut:

● Mengenai Mosi Integral: Mohammad Natsir memang dari permulaan percaya bahwa negara-negara bagian bikinan Belanda itu akan bersedia untuk  bergabung dengan “Negara Bagian” RI, untuk mendirikan kembali NKRI.  Sabam Sirait (SS) menyinggung Negara Bagian Sumatera Timur, yang waktu itu mendapat tentangan dari “rakyat”nya sendiri. Negara Sumatra Timur ini mempunyai lagu kebangsaan sendiri (ini baru bagi saya). Untuk menggoalkan mosinya itu, MN berhasil menyatukan partai-partai untuk berdiri di belakangnya.

● SS juga mengharapkan sistem pendidikan yang akan membuat anak didik sadar siapa pemimpin-pemimpin mereka, karena ia bertanya pada 3 orang seperti dari seorang pengacara muda, seorang penyanyi terkenal, seorang bakal calon bupati, ternyata mereka tidak kenal siapa itu MN.

● SS mendukung usul untuk mengangkat MN sebagai Pahlawan Nasional, tetapi sebenarnya ia tidak setuju kalau gelar seperti itu harus diusulkan atau diperjuangkan.  Inisiatif harus datang dari pemerintah (negara), yang dengan teliti harus memeriksa riwayat hidup seseorang, kemudian memutuskan apakah orang itu pantas mendapat gelar “Pahlawan Nasional”.  (Tetapi pada tahun 2008 itu juga, Presiden SBY membuat SK yang memberi gelar Pahlawan Nasional kepada MN.)


            Malik Fajar (masalah Pendidikan) antara lain dari hal-hal sebagai berikut:

● MN tidak suka pendidikan dipilah-pilah menjadi pendidikan Barat dan Timur. Begitu pula dalam memahami agama (Islam Timur Tengah, Islam Nusantara?).

● Dalam masalah pendidikan Islam, MN masih melihat terlalu banyak tekanan pada masalah fiqh.  Padahal fiqh itu hanya 25% dari ajaran Islam, sedang yang 75% menyangkut masalah peradaban.

● Menurut Pak Malik Fajar, sekarang ini ada penyempitan pemahaman tentang pendidikan. Yang dipersoalkan adalah keterbatasan dana. Seharusnya orang lebih memanfaatkan  sumber-sumber daya, terutama sumber-sumber kebudayaan  yang cukup memiliki potensi untuk kemajuan pendidikan Islam dan peradaban. (Kurang jelas apa yang dimaksud).


            Yusril Ihza Mahendra (YIM) antara lain dari hal-hal sebagai berikut:

● MN, seorang tokoh pergerakan Islam modern, yang ciri-cirinya adalah  berpendapat Islam adalah ajaran universal yang abadi, namun ajarannya yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, bangsa dan negara hanyalah prinsip-prinsipnya saja, tidak masuk ke detail-detailnya. Prinsip itu dapat ditafsirkan sesuai dengan kenyataan sosial dan politik sebuah masyarakat. Jadi bisa berubah mengikuti tuntutan zaman.

● Menurut YIM, MN berpendapat Islam itu bukan sistem, tapi ajaran yang dapat ditafsirkan untuk membentuk sistem. Karena itu MN sangat terbuka sebelum Indonesia merdeka.  Sistem dapat kita pinjam dari Rusia, Finlandia atau Swiss, asal sesuai dengan kepentingan masyarakat kita. Sistem itu dapat terus diperbaharui sesuai dengan tantangan (jaman), sehingga mungkin saja sistem kita akan berlainan dengan sistem yang ada di masyarakat Muslim lainnya. Pendapat MN ini bertolak dari realitas masyarakat Indonesia, dimana dia berada di tengahnya.  Karena itu pandangannya berbeda dengan Sayid Qutub dan Maududi, yang menurut YIM tidak pernah ikut menentukan kebijakan negara. Mereka tidak pernah terlibat dalam pemerintahan.

● Bandingkan Maududi dan MN ketika penyusunan konsep negara, Pakistan untuk Maududi dan Indonesia untuk MN. Maududi awalnya justru menentang pembentukan Negara Pakistan, tapi akhirnya setuju dan hijrah ke Pakistan. Sedang MN dari awal sudah berjuang untuk sebuah Indonesia merdeka. Dari permulaan MN sudah memperjuangkan Negara Kesatuan, yang tidak mempunyai masalah dengan bahasa kesatuan (tidak seperti di Pakistan),  sedang terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat) hanyalah taktik politik saja.

● Sayid Qutub dan Maududi tidak pernah terlibat dalam  pemerintahan. Jadi pemikiran mereka adalah pemikiran orang “di belakang meja.” MN terlibat langsung dalam perdebatan mengenai dasar Negara. (Mungkin ada kesalahan YIM, yang mengatakan ketika perdebatan di Konstituante itu Pak Natsir sebagai Mentri Penerangan -Menpen. Pak Natsir menjabat sebagai Menpen itu di jaman revolusi).

● Menurut YIM, semakin dekat orang dengan kekuasaan, semakin moderatlah sikapnya, tapi kalau dia tersingkir bisa juga menjadi “fundamentalistik.”

● MN tidak dapat mentolerir kekerasan (mengapa ikut PRRI? – Menurut Des Alwi dalam seminar itu, dirinya lari masuk hutan bersama Pak Natsir, dan menurutnya Pak Natsir bergabung dengan PRRI karena tidak mau dimasukkan penjara oleh Sukarno.

● MN menunjukkan bahwa kekuatan seseorang sebenarnya bukan dari ucapan-ucapannya yang lantang dan keras, tetapi justru pada kata-kata yang lembut, yang mencerminkan keteguhan pandangannya.


KESIMPULAN

1. Tokoh-tokoh politik jaman perjuangan dulu adalah orang-orang yang hidupnya sederhana dan berjuang dengan ikhlas. Ini kita lihat tidak hanya pada Pak Natsir, tetapi juga tokoh-tokoh lainnya.

2. Berpolitik itu harus dengan etika.

3. Kita harus menyadari bahwa Negara yang kita bangun adalah negara milik bersama dari penduduk yang berasal dari beragam suku-bangsa dan bahasa.

4. Islam yang diperjuangkan Pak Natsir dalam kaitannya dengan hidup bernegara adalah prinsip-prinsip ajarannya saja, jadi bukan detailnya. Karena Islam bukanlah sistem, tapi prinsip-prinsip yang bisa disusun menjadi sistem. Dengan demikian, Islam yang universal itu akan dapat diterima oleh semua pihak, dan bisa berubah seiring dengan perubahan jaman dan kepentingan.[][][]