Sunday, August 6, 2017

Etika Dialog Dalam Islam






PENDAHULUAN


P
embahasan Etika Dialog Dalam Islam bersumber dari bedah buku The Ethics of Disagreemnet in Islam (Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, Adab Perbedaan Dalam Islam) oleh Prof. Dr. Tāhā Jābir Ilwānī. Jalannya pembahasan oleh tiga senior presenter IMAAM dibagi 3 dari sepuluh bab. Bab permulaan di bawakan oleh Firdaus Kadir, Chairman Board of Trustee (BOT) IMAAM. Bab pertengahan oleh Ustadz Fahmi Zubir tamatan Universitas Islam Cairo, Imam Masjid IMAAM Center. Bab terakhir oleh Dr. Amang Sukasih, President IMAAM.

   Moderator dibawakan oleh Umar M. Badeges salah seorang Co-Founder IMAAM. Dengan pertanyaan oleh Abdul Nur Adnan dan komen Dutamardin Umar, keduanya Co-Founder IMAAM dan ulasan serta komen dari A. Faisal Marzuki, Co-Founder IMAAM. Beberapa pertanyaan dan komen dari Sri Lestari Tulastono anggota BOT, Elifia Zaini, Sofie, Arief Budiwantoro, S Sarah Harahap Locke. Hadir untuk mengikuti bedah buku ini ada lk 30 peserta.

   Tidak sebagaiman lazimnya acara ini dimulai dari pemutaran gambar hidup video Alam Semesta. Mulai dari sistim tata surya yang terdiri Matahari yang terbesar ditengahnya yang dikelilingi Merkurius, Venus, Bumi dan Bulan yang merupakan setelitnya, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus. Objek-objek lain lagi yang ukurannya lebih besar lagi serta galaxy-galaxy di Alam Semesta yang maha-maha luas. Mereka masing-masing bergerak di ruang Alam Semesta dengan anggunnya, berbaris harmonis dalam posisi teratur dan terukur. Maha besar di banding manusia yang halus seperti debu. Tiada artinya dibandingkan dengan Alam Semesta, apatah lagi dengan Pencipta Alam Semesta.

   Tayangan yang disaksikan ini dimaksudkan presenter pertama ini ingin menyadarkan kita manusia jangan lah angkuh dan sombong sesamanya. Ego diri yang seolah kuasa dan tahu segalanya dalam menunjukkan kelebihan dengan sesama manusia. Apatah layak begitu? Gara-gara sikap angkuh dan sombong ini apalagi berkuasa yang semena-mena, mau menang sendiri. Rasanya tidak pantas. Rasa-rasanya manusia semacam inilah yang akan korup dan menimbulkan perpecahan itu?

   Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan presenter dalam hidup ini sebagai Muslim  apa yang sering kita sebut? Jawabannya adalah Allāhu Akbar. Sifatnya Rahmān dan Rahīm. Maknanya adalah Yang Maha (Maha, Maha, Maha) Besar (lagi Dia) Yang Rahmān  (Kasih) dan Rahīm (Sayang). Tentu pula kita harus berbuat baik, dapat berinteraksi positif bagi sesama. Tidak ada satu yang lainnya lebih, melain semua ada guna dan bermanfaat untuk semua. Allah Maha Pencipta Alam Semesta melakukan Kasih dan Sayang kepada makhluk-Nya. Tentu manusia sesamanya dapat berlaku kasih dan sayang pula.

   Presenter kedua, membahas dari segi syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedang presenter ketiga membahas dan menekankan bahwa yang boleh atau ada yang berbeda adalah diluar masalah Akidah, Ushul Fiqh, dan yang sudah Qoth’i.



PROBLEM UMAT DAN JALAN KELUARNYA


S
akit yang diidap oleh umat Islam sampai saat ini masih terasa, bahkan semakin menjalar ke seluruh tubuh. Umat Islam seakan tak sanggup bangkit dari “tidur tak sadarkan diri” akibat penyakit tersebut. Tidak hanya satu bagian dari tubuhnya saja yang kelemahan muncul pada umat ini, akan tetapi kelemahan itu telah menyelimuti seluruh bagian kehidupan, baik yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, terlebih kehidupan duniawi mereka.

   Krisis yang menimpa, sebenarnya sudah cukup lama dirasakan, perpecahan-perpecahan yang diperpecah dan memecahkan diri sendiri sudah sempat terjadi. Beruntung umat Islam - ada satu yang memugkinkan menggeliat dan bangkit dari tidurnya, yaitu selalu mengakui dan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjadi sentral ide mereka. Sehingga mereka dapat bersatu kembali tatkala berjihad dan berpegang walaupun masih lemah-lemah kuat, yang akan membawa terhimpun dibawah payung suci yang diciptakan oleh dua sumber hukum tersebut.

   Salah satu penyebab sakit umat Islam - disamping bekas terjajahnya belum pulih benar dan kurang pendidikan dan ketimpangan materi pelajaran Ilmu Tanzilah dan Ilmu Kauniyah) - adalah adanya perbedaan ide dan persepsi (Ikhtilaf dan Khilaf) diantara umat Islam sendiri, baik yang datang dari dalam umat sendiri maupun dari “hembusam jahat” dari luar umat. Banyak bukti, seperti yang disebutkan diatas yang berakibat “kurang percaya diri sendiri”.

   Adapun ketimpangan ilmu itu adalah antara Ilmu Tanzilah dan Ilmu Kauniyah setidaknya  ilmu “basic” mesti dimiliki semua orang, terutama Ilmu Tanzilah dikuasai dan diamalkan, Sedang Ilmu Kauniyah tergantung pilihan minat seseorang dibidang yang mana harus dikuasai. Kalau tidak ada kedua ilmu itu inilah disebut dengan petaka. Rasulullah saw bersabda yang artinya:

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan Dunia, maka wajib baginya memiliki Ilmu. Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akhirat, maka wajib memiliki Ilmu. Dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka wajib baginya memiliki Ilmu. [HR Turmudzi].


   Apa pengertian Ilmu Tanzilah itu? Yaitu ilmu, yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah swt baik dalam kitab-Nya, Al-Qur’an maupun Al-Hadits Rasulullah saw, seperti Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Usul Fiqh, Tarikhul Anbiya, Sirah Nabawiyah, dan sebagainya.

Masing-masing ilmu tersebut menghasilkan cabang-cabang ilmu lainnya, seperti Ulumul Qur’an melahirkan Ilmu Qiraat, Ilmu Asbabun Nuzul, Ilmu Tajwid dan sebagainya.

   Apa pengertian Ilmu Kauniyah ini? Yaitu, ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam, seperti ilmu yang terkait dengan benda atau makhluk “mati”, melahirkan Ilmu ke-Alam-an. Yang terkait dengan “benda atau makhluk hidup” seperti manusia melahirkan Ilmu ke-Manusia-an. Yang terkait dengan interaksi antar manusia melahirkan ilmu sosial.

   Ilmu ke-Alam-an melahirkan ilmu-ilmu Astronomi, Fisika, Biologi, Kimia, Optik dan ilmu-ilmu bantunya seperti Matematika (termasuk angka), Aljabar (Al-Jabr), Algoritma yang selanjutnya melahirkan teknologi arsitektur dan bangunan, kedokteran, obat-obatan, teknik mekanikal, robotik, kamera, komputer dan lainnya. Ilmu Humaniora melahirkan Ilmu Psikologi, Bahasa atau Tata Bahasa dan sebagainya. Ilmu Sosial melahirkan ilmu-ilmu: Politik, Ekonomi dan Perdagangan serta Hukum dan lain-lain.

Kedua disiplin ilmu itu diamalkan ketika umat Islam berjaya di abad tengah. Mazhab yang empat lahir pada perioda ini. Ilmu Fikih, Usul Fiqh, Mawarits (Ilmu Waris) dll, begitu pula ilmu sosiologi, ekonomi, astronomi, kedokteran, kimia, farmasi, ilmu bedah tubuh, aljabar, dan algoritma dst. Dengan algoritma ini komputer dan enkripsi data dapat tercipta.

   Tulisan angka yang ada sekarang ini, dikembangkan oleh orang Islam. Angka tersebut diambil dari India, tapi bentuknya perlu jastifikasi, logis. Penjastifikasian itu dikembangkan dan hasilnya angka nol (0) dari yang tidak ada sudutnya; Angka 1, dimana sudut-nya ada 1; Angka 2, dimana sudutnya ada 2, dan seterusnya sampai dengan angka 9, dimana sudutnya ada 9. Angka-angka mana orang Eropa menyebutnya sebagai ’angka Arab’ (Arabic numerals), karena orang Eropa mengambil dari orang Islam yang berbahasa Arab, mereka belajar ke Al-Andalus, Spanyol Islam, berkuasa antara abad ke-7 s/d abad ke-15.

   Ketika itu Eropa masih menggunakan angka Romawi yang menggunakan simbul huruf untuk menyebutkan suatu angka yang ditambah atau dikurang dan tidak mengenal angka 0 (nol), serta jumlah yang dihitung sangat terbatas sekali.

Mereka tidak mengenal bilangan pecahan dan bilangat berpangkat. Sains dan teknologi abad sekarang ini maju oleh ’angka Arab’ ini. Atau boleh juga disebut ’angka Islam’ karena Arab Moor ini beragama Islam. Sains dan teknologi tidak akan cepat berkembang seperti sekarang apabila masih tetap menggunakan angka Romawi yang terbatas kemampuannya, dan tidak bisa melakukan operasi matematika canggih.

   Dalam sistim desimal ’angka (Arabic Numerals) Islam’ untuk menuliskan ’seribu delapan ratus empat puluh delapan’ diperlukan 4 digit angka ’arabic number’ yaitu ditulis 1848. Dengan jumlah yang sama, angka Romawi memerlukan 11 digit huruf yang di tulis seperti ini, MDCCCXLVIII.

   Mula-mula ditulis M, yang artinya seribu (1000); Selanjutnya ditulis D yang artinya lima ratus (500); Selanjutnya ditulis C, yang artinya seratus (100). Kemudian, untuk untuk menuliskan 800 ditulis  D tambah C tambah C tambah C, dimana D=500 dan C-nya ada 3 menjadi 300, total menjadi 800. Bagaimana dengan angka 48? Untuk itu ditulis L yang artinya 50, sementara itu yang mau ditulis sebenarnya adalah 48. Maka logika orang Romawi menuliskannya XL sama dengan 40, dimana X=10 dan L=50, L dikurang X=40. Bagaimana dengan angka 8? Menulis angka delapan V ditambah I ditambah I ditambah I, dimana V=5, I=1, I-nya ada 3 menjadi 3, total keseluruhannya menjadi 8. Grand total menjadi 1848, tapi ditulis menurut angka Romawi adalah MDCCCXLVIII.

   Persoalannya sekarang, bagaimana dengan hitungan ratusan ribu, jutaan, miliaran, triliyunan dst. Angka Romawi tidak mampu, terbatas sekali. Bagaimana bilangan ber-pangkat? Bagaimana bilangan pecahan? Tidak terbayangkan oleh mereka ada bilangan-bilangan berpangkat, bilangan pecahan, dan seterusnya. Sama sekali tidak praktis dan tidak dapat mengakomodasi perkembangan teknologi seperti sekarang ini.

   Kembali dengan keadaan umat sekarang ini. Dengan keadaan mental, pendidikan dan ketimpangan-ketimpangan seperti itu mengakibatkan adanya perbedaan mereka dalam menyikapi segala ranah kehidupan, meliputi akidah, ide, pemikiran etika dan budaya sampai kepada pemahaman terhadap Fikih dan tata cara melakukan ritual (ibadah) kepada Allah. Fenomena ini seakan-akan memunculkan indikasi dan pandangan umum bahwa Islam sangat merestui perbedaan, menjunjung tinggi keragaman ide, dan memunculkan kesan agar umat Islam selalu berbeda pemahaman dalam segala sektor kehidupan.

Hal inilah setidaknya yang hendak diungkapkan oleh Prof. Dr. Tāhā Jābir Ilwānī dalam bukunya The Ethics of Disagreemnet in Islam (Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, Adab Perbedaan Dalam Islam) sekaligus melacak solusi terbaik untuk menyikapinya.

   Menurutnya, Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat menekankan persatuan (Wahdat al-Ummah) dan rasa persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah). Keduanya menempati posisi tertinggi dalam urutan tanggungjawab (Taklif) yang selalu harus dipelihara eksistensinya. Segala faktor yang mengancam persatuan dan persaudaraan umat Islam hendaknya dikubur dalam-dalam, termasuk membiarkan umat berbeda pandang tanpa batas.

   Menghadapi zaman yang deras informasi yang mengglobal, Islam harus mampu menyatu, berdialektika dengan segala informasi yang mengandung info baik dan  problematik (baik, buruk, buruk). Ia dituntut perduli dan menempati barisan terdepan dalam mencari solusi terhadap problematika tersebut. Mencari solusi, pada gilirannya akan berurusan dengan terma dialog, diskusi, dan benturan-benturan ide tentunya. Bukankah ini merupakan tuntutan zaman? Lantas mengapa Tāhā menuding keberagaman ide sebagai faktor kemerosotan umat, bahkan mengaggapnya faktor krusial yang lazim dihanyutkan dari permukaan? Kalau tidak berbahaya (masih dalam kontrol), itu akan mengayakan perbendaharaan pengetahuan Islam. Memberangus dengan membabibuta semacam itu sama saja menghancurkan Islam, tanpa selektif.

   Pandangan Balya Hidayat Alumnus al-Azhar Mesir ini tidak hendak membumihanguskan keragaman ide dan mengungkung umat Islam dalam suatu corak pemikiran serta membuatnya seragam. Tidak pula ingin menyulap menjadi “the yes-man” yang lantas miskin kreasi dan ide. Justru sebaliknya, ia menyadari dan mengimani betul fitrah manusia sebagai makhluk yang dikarunia akal sehat. Intinya berarti sebuah anugerah maha besar yang sudah selayaknya terus diasah dan dipelihara. Berfikir, mencari dan menelusuri menurutnya adalah keniscayaan yang harus ditempuh demi kemashlahatan bagi seluruh umat manusia.

Akan tetapi menggelutinya mesti ada konsep, aturan, adab (etika) dan batas-batas yang harus diperhatikan, agar upaya pemunculan ide ini bisa terarah dan tidak memporak porandakan “bangunan kokoh keislaman” yang berdiri disekitarnya. Tāhā memberikan ruang cukup luas untuk perbedaan umat, yang terpenting menurutnya hanyalah bagaimana umat Islam mampu memelihara persatuan agar tidak terbelah dan tercerai berai.

   Berbeda tidak harus bertolak belakang atau berlawanan, adakalanya perbedaan timbul dari sesuatu yang satu kemudian dipandang dari dua sudut yang berlainan, hingga lahirlah dua pandangan dan pemahaman berbeda. Adapun perbedaan yang menurut Tāhā harus benar-benar dihindari, yaitu perbedaan yang timbul dari dua hal yang berlawanan hingga berakhir dengan ketegangan, bahkan dapat berakhir dengan anarkisme. Inilah yang disebut sebagai Syiqaq, faktor terpenting yang menyebabkan umat terdahulu tercerai berai dan binasa.

   Di bagian awal buku ini dibahas tentang hakikat makna dari Ikhtilaf. Pengarang membedakan antara Khilaf, Ikhtilaf, Jadal dan Syiqaq. Ada sebagian yang berpendapat bahwa Khilaf maknanya lebih luas dari Ikhtilaf. Terma Khilaf tidak sekedar berarti dua hal yang berlawanan, akan tetapi termasuk dua hal yang berbeda. Sedangkan Ikhtilaf bermakna perbedaan dua hal saja. Khusus dua hal yang saling berlawanan biasa disebut Jadal. bagi Tāhā sendiri, setelah menyitir salah satu ayat al-Qur’an yang menggunakan akar kata Khalafa, ia menyimpulkan Ikhtilaf dan Khilaf sebagai dua yang berbeda secara mutlak, tanpa memandang dua hal itu berlawanan atau tidak. Berbeda pendapat, ide, pemikiran dan sikap, seluruhnya dikategorikan dalam terma ini.

Adapula pembahasan tentang kategori perbedaan yang pada gilirannya sampai kepada perbedaan yang harus dibiarkan tumbuh subur di lingkungan masyarakat Islam, karena ia dapat memberikan arti positif bagi kemaslahatan umat, dan perbedaan yang harus dihindari dan dikubur karena dapat  memberikan dampak buruk bagi umat ini.

Selain itu pengarang buku ini juga membagi perbedaan menjadi tiga bagian besar. Pembagian ini berdasarkan motif yang mendasari timbulnya perbedaan itu, yaitu:

Pertama: ● Berbeda karena didasari hawanafsu belaka;
Kedua: ● Berbeda karena benar-benar ada upaya untuk menegakkan kebenaran;
Ketiga: ● Berbeda dengan motif yang samar-samar. Sepintas terlihat seperti pertama. Sepintas lainnya mirip dengan model yang kedua.

Nah, untuk model ketiga ini menurut penulis, inilah perbedaan pendapat yang perlu diamati dengan sangat jeli. Sebab sering berkaitan dengan hukum fikih, yang tentunya akan berujung halal (boleh, kerjakan) dan haram (tidak, ditolak).

Sisipan pembahasan lain yang terdapat dalam buku ini adalah tentang pendapat para ulama besar (scholar, para akhli Islam) perihal perbedaan dalam Islam.Ternyata tidak semua ulama sekata dalam hal ini. Bahkan benar-benar menyeru agar umat Islam sebisa mungkin menghindarinya, karena Rasul pernah memberikan peringatan terhadap beberapa terhadap beberapa sahabatnya. Nah, siapa sajakah ulama yang termasuk kalangan ini? Jawabannya terdapat dalam karya yang sederhana ini.


Perbedaan di Masa Rasulullah saw

   Embrio kemunculan perbedaan antara umat sudah tampak dimasa ini. Sebut saja salah satu perbedaan ide yang pernah muncul pada masa Rasul saw masih hidup. Tatkala Rasululullah memerintahkan para sahabat untuk menyerang bani Quraidzah. Beliau berpesan kepada para sahabat: “Jangan seorangpun melakukan shalat Ashar, kecuali jika kalian telah sampai di wilayah Quraidzah”. Ditengah perjalan menuju ke sana, ada sebagian sahabat yang melakukan shalat Ashar ditengah perjalanan (padahal mereka belum sampai di wilayah bani Quraidzah). Sebagian lagi memilih memacu kudanya kencang-kencang agar segera sampai dan melakukan shalat Ashar di sana.

   Bila kita lihat secara sepintas, hal ini mengisyaratkan suatu hal bahwa, para sahabat yang melakukan shalatnya di tengah perjalanan seakan-akan telah melanggar perintah Rasulullah saw, akan tetapi bagaimanakah reaksi Rasulullah setelah berita ini sampai ke telinga beliau? Diriwayatkan oleh Bukhari  Muslim dan disunting oleh Tāhā Jābir Ilwānī dalam bukunya The Ethics of Disagreement in Islam, setelah mendengar berita itu Rasulullah tidak sontak menyalahkan salah seorang sahabat pun, menurut beliau telah melakukan tindakan yang benar. Tidak seorang pun yang dipanggil, ditegur bahkan dicela oleh Rasulullah. Karena keduanya memiliki pemahaman berbeda terhadap ucapan tersebut. Satu pihak memahaminya secara tekstual, karena itu mereka menunda shalat setelah sampai diwilayah bani Quraidzah, agar dapat secepat mungkin sampai dan tidak merusak strategi yang telah ditetapkan. Sedang kubu kedua, memilih melakukan shalat di perjalanan, karena menurut mereka hal ini tetap tidak membuat mereka datang terlambat dan merusak strategi.

Dari kejadian ini para ulama banyak mengambil kesimpulan bahwa berbeda pendapat adalah sebuah keniscayaan, dan ini adalah salah satu ajaran Rasulullah, bagaimana sebenarnya menyikapi dan menempatkan perbedaan yang senantiasa muncul di depan pelupuk mata para umatnya.

   Menarik sekali buku ini bila kita memperhatikan di sub-sub pembahasan yang tertulis, akan kita dapati penulis memberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya perbedaan tersebut sekaligus segala hal yang berkaitan dengannya.

Seperti kejadian diatas, ada dua kubu yang saling berbeda pendapat. Keduanya memiliki analisa dam kesimpulan berbeda tentang ucapan Rasulullah. Salah satu kubu menggunakan perangkat Takwil untuk memahami ucapan Rasul tersebut. Inilah menariknya, sang penulis lantas memberikan penjelasan setelah memaparkan kejadian diatas, memaparkan pengertian Takwil, ketentuannya, perbedaannya dengan tafsir.

Kemudian memaparkan masalah Ijtihad, menjelaskan bagaimana sebenarnya Mujtahid itu, bagaimanakah sikap Rasul tentang seorang sahabat yang mengutarakan sebuah hukum di masa beliau masih hidup. Beberapa hal inilah yang diselipkan oleh penulis dalam bukunya yang padat isi ini.


Perbedaan di masa Khulafa’ ar-Rasyidin

   Perjalanan Islam dari masa ke masa, sejak zaman Rasulullah saw telah memasuki abad ke 14 Hijriyah. Tidak mudah melestarikan dan memelihara eksistensi Islam sepanjang itu, padahal pada perjalanannya, Islam dipenuhi dengan gejolak, gesekan bahkan pergolakan ide dan pemikiran yang muncul dari masing-masing benak kaum Muslimin.

   Kalangan sahabat Rasulullah termasuk generasi terbaik di sepanjang riwayat hidup manusia. Merela ternyata menghadapi permasalahan yang sama. Munculnya perbedaan di masa Rasulullah, masih berlanjut di masa sahabat. Sempat pula Tāhā mengutip beberapa hal yang menjadi perdebatan dikalangan ini. Diantaranya mengenai wafat Rasulullah saw. Abu Bakar berkeyakinan bahwa Rasulullah telah meninggal dunia, karena beliau seorang manusia. Sedangkan Umar tidak demikian. Selain itu, persoalan tentang Khalifah pengganti Rasulullah merupakan permasalahan yang tidak asing bagi kita, hal ini juga sempat direkam oleh mantan Direktur Utama The International Institute  of Islamic Thought  (al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami) yang berpusat di Washington DC area ini. Pembahasan tentang perbedaan ini akhirnya sampai kepada soal perdebatan sahabat dalam wilayah yang paling rentan mengalami perdebatan, yaitu Fikih.

Perbedaan pasca Khulafa’ ar-Rasyidin

   Motif kepentingan dan tarik ulur kekuasaan terlihat sangat kental pada masa ini. Hali ini imbas dari pertentangan dan fitnah-fitnah yang pernah muncul sebelumnya. Terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan dan kudeta ‘Ali oleh Mu’awiyah adalah awal mula dari kekisruhan-kekisruhan yang muncul setelahnya – walaupun pada masa itu wilayah kekuasaan Islam sudah cukup luas. Sejak itu bibit-bibit pertentangan (perpecahan) mulai muncul, kemudian sempalan-sempalan semacam Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Asy’ariyah, Maturudiyah mengatur cara beragam sendiri-sendiri. Perdebatan-perdebatan tentang ketuhanan sangat dominan pada saat itu, tak jarang dari beberapa sempalan tersebut menghalalkan segala cara untuk mempertahankan golongannya, termasuk apa yang dilakukan oleh Syi’ah, mereka menisbatkan beragam “hadits kontroversial” kepada Rasulullah saw. Tentunya hal ini sangat ironis mengingat Al-Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

    Selain informasi dan gagasan penulis tentang konsep menyikapi perdebatan dan perbedaan yang muncul, dalam buku ini pembaca juga dapat menemukan beberapa konsep umum dalam madzhab fikih. Yang dipaparkan dsisini adalah dasar-dasar utama yang dipakai oleh lima madzhab yang masyhur dalam Islam. Sebenarnya konsep apa sajakah yang dipakai Imam Abu Hanifah dalam ijtihadnya, hingga madzhab beliau terkesan lebih mengedepankan Ar-Ra’yu (melihat, yang maksudnya menggunakan akal fikiran tapi mesti kuat akidahnya)? Jalur apakah yang digunakan Imam Malik dalam melahirkan sebuah hukum? Apakah perbedaan konsep Syafi’i dengan konsep Malik – yang notabene gurunya dalam berfikih? Bagaimana madzhab Ahmad bin Hambal sehingga dikatakan lebih mirip dengan Madzhab Syafi’i? Prinsip apakah yang dipakai oleh Dawud ad-Dzahiri dalam fikihnya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat disimak dalam buku ini.

   Etika berdialog –dalam arti yang lebih luas- bukan sekedar menghargai, menghormati dan toleran terhadap ide orang lain. Lebih dari itu, seseorang yang hendak melahirkan dan mengutarakan ide-idenya harus mengerti betul tentang wilayah-wilayah yang akan disentuh atau yang hendak digeseknya. Dalam aturan Islam, seorang disilahkan berbeda pendapat satu sama lain, asal hanya bermain di arena Furu’ (cabang) bukan Ushul (kaidah-kaidah, teori-teori).

   Menggunakan akal bukan satu hal yang patut direndahkan, karena bagaimana pun juga akal adalah anugerah yang perlu terus dilatih ketajamannya. Menelantarkannya justru satu hal yang tidak pernah dianjurkan oleh Islam. Bila ia hanya dibiarkan pasif, hanya taklik dan mengekor pada pendapat tertentu, justru akan membunuh eksistensi ilmu pengetahuan serta membuat umat akan tersinggkir saja. Mengerti dan menulusuri latar belakang timbulnya perbedaan pendapat antar ulama (Asbab Ikhtilaf al ‘Ulama) menurut Tāhā adalah satu hal yang sangat urgen pula. Karena berangkat dari hal itu sesorang dapat mengerti bahwa menyentuh agama tidak cukup hanya dengan bekal keilmuan yang dangkal, perlu menunjukkan bukti-bukti akurat dan ilmiyah untuk menggeluti percaturannya.

   Pemaparan yang dilakukan Tāhā dalam bukunya ini tidak terbatas mengorek dan mengambil pengalaman dari masa silam. Ia juga mencoba mengsinkronkan gejala-gejala yang telah muncul dengan problematika yang timbul belakangan, seraya mencoba meletakkan tawaran solusi dan yang menurutnya sesuai dengan kondis umat Islam saat ini. Apa sebenarnya solusi dan harapan Guru Besar Ushul Fikih Universitas Muhammad bin Saud ini? Bagimana upaya agar bisa memintas dari keterpurukannya? Mungkinkah kabut tebal yang menyelimuti umat Islam selama puluhan tahun bisa segera sirna? Kita bertanya, karya ini akan mejawabnya.



TEGAKKAN PRINSIP MUSYAWARAH


   Etika Dialog Dalam Islam di tengah maraknya perbedaan-perbedaan pendapat pada zaman sekarang ini –berhubung suatu hal tertentu mesti hanya ada satu pendapat-  maka menyelesaikan (perbedaan pendapat) melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan yang satu secara bersama-sama.

   Rasulullah saw dan para sahabatnya yang mulia - semoga Allah swt meridhai mereka semua— telah memberikan teladan kepada kita bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat sehingga tidak berakibat negatif, tapi justru bisa memberi pengaruh positif yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

   Kita tahu bahwa istilah perbedaan (ikhtilaf) itu identik dengan perbedaan pendapat atau pemikiran, sedangkan istilah perselisihan atau salah paham (khilaf) itu terkait dengan antar orang per orang. Berkenaan dengan hal ini, cara menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan yang dicontohkan Rasulullah saw adalah dengan terlebih dahulu mendengar seluruh pendapat yang berbeda-beda dari para sahabatnya yang mulia itu. Banyak sekali peristiwa dan kasus yang membuktikan sikap Rasulullah ini. Prinsip mendengar dan bermusyawarah yang diterapkan Rasulullah tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari firman Allah saw yang artinya:

Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad (mencapai kesepakatan), maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. ” [QS Āli ‘Imrān 3: 159]

“…Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.” [QS Asy-Syūrā 42:38]

   Dalam banyak kesempatan Rasulullah saw selalu berusaha mendengar pendapat dari para sahabatnya untuk kemudian menyaring sekaligus memilih pendapat terbaik dan bermanfaat.

Contah nyata dari sikap Rasulullah tersebut terlihat, misalnya, saat beliau mendengar dan kemudian menuruti anjuran salah seorang sahabat beliau, al-Hubab bin al-Mundzir bin al-Jumuh, agar rumah yang ditempati Rasulullah saw dalam perang Badar diubah posisinya dan dimajukan hingga mendekat ke beberapa sumber air yang telah dikuasai oleh kaum Muslimin. Wilayah di mana terdapat banyak sumber air tersebut merupakan salah satu posisi paling strategis untuk pertahanan dan penyusunan kekuatan kaum Muslimin. Rasulullah saw dan para sahabatnya kemudian melakukan perubahan sesuai saran al-Hubab tersebut. Dan benar, saran itu membuahkan manfaat yang besar bagi kaum Muslimin saat itu.

Teladan Rasulullah saw tersebut juga diikuti oleh para sahabat beliau saat terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Sebagaimana Rasulullah, para sahabat juga memegang teguh budi pekerti yang luhur serta keteguhan hati. Mereka selalu berusaha dan mengedepankan persatuan umat dari pada hal-hal lainnya.

Contoh nyata dari hal ini adalah sahabat Abdullah bin Mas’ud ra. Suatu saat sahabat yang mulia itu pernah menyaksikan sahabat Utsman bin Affan ra shalat di Mina sebanyak empat rakaat. Saat itu dia berkata: “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali). Sesungguhnya aku pernah shalat bersama Rasulullah saw, juga bersama Abu Bakar dan Umar hanya dua rakaat.” Meskipun demikian, saat tiba waktu shalat, Ibnu Mas’ud tetap shalat bersama Utsman bin Affan sebanyak empat rakaat. Ketika ditanya kenapa dia melakukan hal itu, dia menjawab: “Berselisih itu tidak baik”. Dia tidak ingin memecah kesatuan jamaah atau menjadi penyebab tercerai-berainya umat Muhammad saw.

Masih banyak lagi contoh-contoh lain dalam sepanjang sejarah Islam yang menunjukkan bagaimana etika berbeda pendapat yang diajarkan Rasulullah, Islam dipraktekkan oleh umat Islam. Karena itu di zaman sekarang ini, kita sangat butuh untuk menyebarkan dan menjalankan etika berbeda pendapat yang diajarkan Islam tersebut.



PENUTUP


K
esimpulan sebagai penutupnya adalah, bahwa dalam berbeda pendapat,  perlu disikapi positif melalui pendekatan adab. Adab (Etika) berbeda pendapat yang dituntunkan Islam memiliki beberapa prinsip yang penting, di antaranya:

  1. Perbedaan memperkaya pemikiran. Memanfaatkan setiap perbedaan pandangan untuk memperkaya pemikiran, sehingga dapat memilih pandangan terbaik di antara berbagai pandangan yang muncul.

  1. Berprasangka baik. Teladan yang ditunjukkan Rasulullah saw dan para sahabatnya menunjukkan bahwa mereka selalu berbaik sangka terhadap orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan berharap, pendapat yang benar adalah pendapat orang lain tersebut, bukan pendapatnya, sebagaimana pernah diungkapkan Imam Syafi’i.

  1. Tidak menuruti hawa nafsu. Rasulullah saw dan para sahabatnya selalu berpegang teguh pada kebenaran (bukan hawanafsu), sebagiamana dituntunkan Allah dalam Al-Qur’an yang artinya:

“(Allah berfirman) "Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau  Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara)  di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. [QS  Shād 38:26]

  1. Konsisten dan berkomitmen hanya demi kebenaran. Jika suatu kebenaran telah tampak, maka mereka secara konsisten berpegang teguh padanya. Mereka juga menjalankannya berdasarkan prioritas dan hal-hal yang memberikan manfaat bagi mereka. Contoh yang baik terkait hal ini ditunjukkan oleh sahabat Abu Dzar al-Ghifari ra saat berselisih pendapat dengan sahabat Bilal bin Rabah ra. Ketika telah terang bahwa Bilal pihak yang benar, al-Ghifari bersimpuh sembari menundukkan kepalanya di atas tanah. Beliau bersumpah tidak akan mengangkat kepalanya sampai Bilal yang menegakkannya dengan kakinya, (semoga Allah meridhai mereka semua).

Begitu hormat dan rasa takzimnya mereka (al-Ghifari ra) akan kebenaran (Bilal bin Rabbah ra) dan merasakan kekeliruannya, kesungguhan minta maafnya dilakukan seperti itu.

  1. Selalu mengedepankan persatuan. Saat terjadi perbedaan, prinsip utama yang mereka pegang teguh adalah menjaga persatuan dan solidaritas umat, karena dua hal itulah sumber segala kebaikan bagi umat. Mereka menyadari sekaligus melaksanakan tuntunan Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih (berbantah-bantahan), yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang yang sabar.” [QS Al-Anfāl 8:46]

Dengan demikian, kita menyadari betapa kita sangat membutuhkan etika dalam berbeda pendapat, agar kita dapat menjadi lebih baik dan mendapatkan hal-hal yang positif dari perbedaan itu. Dengan etika berbeda pendapat, umat akan terhindar dari prasangka buruk dan hawanafsu, dan sebaliknya akan terbimbing untuk selalu mengikuti kebenaran.

   Dengan begitu kita akan senantiasa dapat merapatkan barisan, saling mengasihi, dan saling tolong-menolong di antara sesama umat Islam, sesuai dengan firman Allah swt yang artinya:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” [QS Āli ‘Imrān 3:103]

   Demikianlah tajuk ini dikaji dan dibahas bagi pengetahuan dan kemudiannya Insya Allah diamalkan bagi kita semua, Allāhu Akbar ar-Rahmān dan ar-Rahīm. Yang membimbing dan menunjukkan kita jalan yang lurus, jalan yang diridhai-Nya. “Maha Berkah (Maha Suci) Allah yang ditangan-Nya (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun”, [QS Al-Mulk 67:1-2]. Semoga Allah menjadikan kita beramal yang bermanfaat untuk umat dan lingkungan hidupnya, dan senantiasa memberikan kebaikan bagi umat ini dan lingkungan hidupnya. Āmīn, Allāhumma āmīn. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM


Klik teks berwarna didepan: Video AlamSemesta

                                                   Video Bedah Buku
                                                   The Ethics of Disagreement inIslam





Sumber Penulisan:

Video Alam Semesta
Video Acara Bedah Buku “The Ethics of Disagreement in Islam”
http://darussholahjember.blogspot.com/2011/05/etika-dialog-dalam-islam.html
https://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2017/08/cara-baik-menghadapi-perbedaan.html
https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2017/07/ilmu-dalam-pandangan-islam.html
http://liputanislam.com/kajian-islam/akhlak-kajian-islam/etika-berbeda-pendapat/□□□