Kata
Pengantar Oleh Buya Hamka
Catatan: Tulisan baik Kata Pengantar maupun Bukuk Demokrasi Kita ini masih menggunakan ejaan lama bahasa Indonesia seperti j sekarang y;
dj sekarang j; tj sekarang c; nj sekarang ny; ch sekarang kh; sj sekarang sy.
Pendjelasan Buku Bung Hatta
“Demokrasi Kita” ini ditulis pada tahun 1960 dan dimuat dalam madjallah Islam
jang saja pimpin “Pandji Masjarakat”. Penilaian politik jang dikemukakan oleh
Bung Hatta ini mendapat perhatian penuh dari peminat-peminat politik, baik
didalam ataupun diluar negeri.
Tetapi apa jang dibajangkan Bung
Hatta dalam buku tersebut, bahwa demokrasi sedjak waktu itu sedang terantjam
dinegeri kita, telah berlaku keatas madjallah jang memuat tulisan itu; “Pandji
Masjarakat” dilarang terbit dan keluar pula larangan membatja, menjiarkan,
bahkan menjimpan buku itu.
Satu fikiran jang brilliant dari salah seorang Proklamator
Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dilarang keras membatja, dan diantjam
hukum barang siapa terdapat menjimpannja. Sekarang keadaan sudah berobah,
angkatan 66 jang menuntut ke’adilan dan menentang kezaliman telah bangkit,
angin baru telah bertiup. Buku ini diterbitkan kembali dengan izin jang chas
dari penulisnja sendiri. Bagi saja adalah satu obat penawar karena buku ini
dikeluarkan setelah saja dibebaskan dari tahanan berdjumlah dua tahun empat
bulan (27 Djanuari ’64 sampai 26 Mei ’66) karena fitnah prolog Gestapu/P.K.I.
dan B.P.I. Tahanan karena fitnah, jang mendjadi adat kebiasaan dizaman
kepemimpinan negara masa lampau itu. Moga-moga dengan terbitnja kembali buku
ini, dizaman angin baru bagi negara kita telah bertiup dan semangat angkatan
’66 telah bangkit, keadaan jang muram, suram dan seram jang telah lalu itu
tidak terulang lagi. [HAMKA - Djakarta 1
Djuni 1966]
DEMOKRASI
KITA
S
|
edjarah
Indonesia sedjak 10 tahun jang achir ini banjak memperlihatkan pertentangan
antara idealism dan realita. Idealisme, jang mentjiptakan suatu pemerintahan
jang adil jang akan melaksanakan demokrasi jang sebaik-baiknja dan kemakmuran
rakjat jang sebesar-besarnja. Realita dari pemerintahan, jang dalam
perkembangannja kelihatan makin djauh dari demokrasi jang sebenarnja.
TINDAKAN-TINDAKAN
PRESIDEN
Apalagi
sedjak dua tiga tahun jang achir ini kelihatan benar tindakan-tindakan
pemerintah jang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Presiden, jang menurut
Undand-undang Dasar tahun 1950 adalah Presiden konstitusionil jang tidak
bertanggung djawab dan tidak dapat diganggu-gugat, mengangkat dirinja sendiri
sebagai formatir kabinet. Dengan itu ia melakukan tindakan jang bertanggung
djawab dengan tiada memikul tanggung djawab.
Pemerintah
jang dibentuk dengan tjara jang gandjil itu diterima begitu sadja oleh Parlemen
dengan tiada menjatakan keberatan jang prinsipiil. Malahan ada jang membela
tindakan Presiden itu dengan dalil “keadaan darurat”. Kemudian Presiden
Soekarno membubarkan Konstituante jang dipilih oleh rakjat, sebelum
pekerdjaannja membuat Undang-Undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit
dinjatakannja berlakunja kembali Undang-Undang Dasar tahun1945. Menurut
Undang-Undang Dasar ’45 itu Presiden Republik Indonesia adalah kepala exekutif.
Parlemen jang ada menurut Undang-Undang Dasar 1950 dan tersusun menurut
pemilihan umum pada tahun 1955 diakui sebagai Dewan Perwakilan Rakjat sementara
sampai terbentuk Dewan Perwakilan Rakjat baru berdasarkan Undang-undang Dasar
1945.
Sungguhpun
tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan satu coup
d’etat, ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara jang terbanjak didalam Dewan
Perwakilan Rakjat. Golongan minorita menganggap perbuatan Presiden itu sebagai
suatu tindak-perkosa, tetapi menjesuaikan dirinja kepada kenjataan jang baru
itu. Dengan pendirian sedemikian Dewan Perwakilan Rakjat sudah melepaskan
sendiri hak-kelahirannja. Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah
selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakjat
tentang djumlah anggaran belandja. Dengan suatu penetapan Presiden Dewan
Perwakilan Rakjat dibubarkan dan disusunnja suatu Dewan Perwakilan Rakjat baru
menurut konsepsinja sendiri.
Dewan
Perwakilan Rakjat baru itu anggota-anggotanja 261 orang, separoh terdiri dari
anggota-anggota partai dan separoh lagi dari apa jang disebut golongan
fungsionil, jaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, tjendikiawan,
tentera dan polisi. Semua anggota ditundjuk oleh Presiden. Anggota-anggota
partai jang 130 orang itu sebagian besar dpilihnja sendiri dari anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakjat jang bersidang sampai sekarang, dengan menjingkirkan
sama sekali anggota-anggota jang termasuk golongan oposisi.
TUGAS DEWAN
PERWAKILAN RAKJAT
Presiden
Soekarno mendasarkan segala tindakannja itu diatas pendapat, bahwa revolusi
Indonesia untuk melaksanakan Indonesia jang adil dan makmur belum selesai.
Sebelum tertjapai Indonesia jang adil dan makmur, revolusi masih berdjalan
terus dan segala susunan jang ada itu bersifat sementara.
Ia, katanja,
tidak menentang demokrasi, malahan menudju demokrasi jang sebenarnja, jaitu
demokrasi gotong-royong seperti jang terdapat dalam masjarakat Indonesia jang
asli. Ia mentjela demokrasi tjara Barat jang berdasarkan free fight, hantam-menghantam, jang sebegitu djauh dipraktikkan di
Indonesia. Free fight democracy ini
menimbulkan perpetjahan nasional, sehingga usaha-usaha pembangunan djadi
terlantar.
Demokrasi
liberal itu hendak digantinja dengan apa jang disebutnja demokrasi terpimpin.
Demokrasi terpimpin, seperti jang dimaksudnja itu ialah suatu tjara bekerdja
jang melaksanakan suatu program pembangunan jang direntjanakan dengan suatu
tindakan jang kuat dibawah suatu pimpinan. Tjita-tjita itu harus didukung oleh
kerdjasama jang baik antara empat golongan besar jang berpengaruh didalam
masjarakat, jaitu golongan-golongan nasionalis, Islam, komunisme dan tentera.
Titik berat dari pada pemerintahan dan perundang-undangan tidak lagi
terletak pada Parlemen, melainkan pada dua badan baru jaitu Dewan Nasional,
jang sekarang berubah mendjadi Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perantjang
Nasional. Dalam sistem ini Dewan Perwakilan Rakjat tugasnja hanja memberikan
dasar hukum sadja kepada keputusan-keputusan jang telah ditetapkan oleh
Pemerintah, berdasarkan pertimbagan-pertimbangan atau usul dari dua badan
tersebut tadi.
Dengan tjara
begitu, menurut pendapat Soekarno, segala perundingan dapat berlaku dengan
tjepat, dengan tiada bertele-tele seperti jang terdjadi didalam Dewan
Perwakilan Rakjat sampai sekarang. Kedua badan tersebut, Dewan Pertimbangan
Agung dan Dewan Perantjang Nasional, berhubung dengan susunannja seperti jang
ditentukan sendiri oleh Presiden Soekarno, bisa merupakan suatu “preasure
group”, golongan pendesak. Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakjat jang
terdjadi sekarang, dimana semua anggota ditundjuk oleh Presiden, lenjaplah
sisa-sisa demokrasi jang penghabisan. Demokrasi terpimpin mendjadi suatu
DIKTATUR’ jang didukung oleh golongan-golongan jang tertentu.
KRISIS
DEMOKRASI
Oleh karena
itu, tidak heran kalau banjak orang menjangka, bahwa demokrasi lenjap dari
Indonesia. Tetapi pendapat sematjam itu tidak benar. Itu suatu pendapat jang
diperoleh dari penglihatan sepintas lalu sadja atas proses politik jang berlaku
di Indonesia sedjak beberapa tahun jang achir ini. Demokrasi bisa tertindas
sementara waktu karena kesalahnnja sendiri, tetapi setelah ia mengalami tjobaan
jang pahit, ia akan muntjul kembali dengan penuh keinsjafan.
Berlainan
dari pada beberapa negeri lainnja di Asia, demokrasi disini berurat-berakar
didalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenjapkan untuk
selama-lamanja. Apa jang terjadi sekarang ialah KRISIS dari pada demokrasi.
Atau demokrasi didalam krisis. Demokrasi jang tidak kenal batas kemerdekaannja
lupa sjarat-sjarat hidupnja dan melulu mendjadi anarki lambat laun akan
digantikan oleh diktatur. Ini adalah hukum besi dari pada sedjarah dunia!
Tindakan
Soekarno jang begitu djauh menjimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat
dari pada krisis demokrasi itu. Demokrasi dapat berdjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab
dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Inilah jang kurang pada
pemimpim-pemimpin partai seperti jang telah berulang kali saja peringatkan.
Pada
permulaan kemerdekaan, sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, orang merasai
benar-benar tanggung djawabnja. Tetapi setelah kemerdekaan itu diakui oleh
seluruh dunia, sebagai hasil dari pada Konperensi Medja Bundar di Den Haag pada
achir tahun 1949, orang lupakan sjarat-sjarat membangun demokrassi didalam
praktik.
Semangat jang
ultra-demokratis jang meradjalela dalam dada pemimpin-pemimpin partai mengubah
sistem pemerintahan dari pemerintah presidensiil jang tertanam didalam
Undang-Undang Dasar 1945 mendjaji kabinet parlementer. Sistim kabinet
parlementer seperti jang berlaku di Eropah Barat, dimana pemerintah bertanggung
djawab kepada Parlemen, orang anggap lebih demokratis dari sistim pemerintah
presidensiil.
Orang lupa,
bahwa Indonesia dalam masa peralihan ke pemerintaha nasional jang demokratis
perlu akan suatu pemerintah jang kuat. Sedjarah Indonesia sedjak proklamasi 17
Agustus 1945 menjatakan bahwa pemerintah jang kuat di Indonesia ialah
pemerintah presidensiil dibawah dwitunggal Soekarno-Hatta. Lahirnja idée
dwitunggal diwaktu itu bukanlah suatu hal jang dibuat-buat, melainkan suatu
kenjataan jang dikehendaki oleh keadaan.
Dimasa
Republik Indonesia jang pertama itu telah ditjoba mengubah sistim pemerintah
presidensiil mendjadi sistim kabinet parlementer jang dipimpin oleh seorang
perdana menteri, jang bertanggung djawab kepada Badan Pekerdja Komite Nasional
Pusat. Alasan jang dikemukakan ialah supaja Presiden dan Wakil Presiden tetap
dan tidak terganggu gugat dalam memimpin negara. Presiden dan Wakil Presiden
diperlindungi oleh Kabinet jang betanggung djawab politik, jang setiap waktu
dapat diganti kalau perlu.
Tetapi dalam
praktik ternjata, bahwa bukan kabinet jang memperlindungi Presiden dan Wakil
Presiden, memagari mereka dengan tanggung djawabnja, melainkan sebaliknja.
Dimana-mana Presiden dan Wakil Presiden harus bertindak dengan mempergunakan
kewibaannja untuk memperlindungi kabinet dari ketjaman dan serangan rakjat jang
tidak puas.
Sampai
kedalam sidang Komite Nasional Pusat Wakil Presiden terpaksa bersuara untuk
mempertahankan politik Pemerintah jang digugat dan diketjam sehebat-hebatnja
oleh berbagai golongan didalamnja. Dan pada saat jang genting seperti dengan
peristiwa 3 Djuli 1946 orang berpegang kembali kepada kabinet presidensiil.
Demikian djuga sesudah penanda tanganan Perdjanjian Renville pada permulaan
tahun 1948, jang menimbulkan perpetjahan besar dan pertentangan politik jang
hebat dalam masjarakat, orang kembali kepada pemerintah presidensiil dibawah
Wakil Presiden. Pemerintah itulah jang stabil sampai pada pemulihan kedaulatan
pada achir tahun 1949 oleh Nederland.
Tetapi
sesudah itu semangat ultra-demokratis muntjul kembali. Dalam Undang-Undang
Dasar 1950 ditetapkan sistim kabinet parlementer. Dwitunggal Soekarno-Hatta
didjadikan symbol negara belaka dalam kedudukan Presiden dan Wakil Presiden
jang konstitusionil, jang tidak dapat diganggu-gugat. “Menteri-Menteri
bertanggung djawab atas seluruh kebidjaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama
untuk seluruhnja maupun masing-masing untuk bagiannja sendiri-sendiri”. Dan
mulai saat itu tamatlah pada hakekatnja sedjarah dwitunggal dalam politik
Indonesia.
PELAKSANAAN
DEMOKRASI
Negara baru
jang dibentuk dari menggabungkan 16 bagian negara bagian Republik Indonesia
Serikat menurut putusan K.M.B. mendjadi suatu negara kesatuan jang daerahnja
meliputi seluruh Indonesia dengan Irian Barat sebagai daerah sengketa, ~ negara
baru ini akan menghadapi seribu satu soal dan kesulitan. Djusteru pada saat itu
dua orang jang benar-benar mempunjai kewibawaan dari pimpinan negara jang riil
dan didjadikan symbol belaka.
Sebenarnja
ada suatu pertentangan perasaan dari dalam jang sukar mengatasi. Sistim
dwitunggal itu sudah mendjadi suatu mitos jang mempengaruhi djalan pikiran
bangsa kita. Dalam alam pikiran rakjat jang banjak, segala kesulitan akan dapat
diatasi selama dwitunggal itu berada diatas putjuk pimpinan negara.
Sebaliknja orang ingin mempunjai suatu sistim pemerintahan jang lebih demokratis, jaitu dimana Pemerintah bertanggung djawab kepada Parlemen setiap waktu. Menurut djalan pikiran ini, diantara badan-badan jang kerdjasama dalam melakukan pemerintahan, Parlemen dan Pemerintah, Parlemenlah jang terkuat. Sistim itu tidak djalan terhadap dwitunggal dengan kewibawaanja jang besar terhadap rakjat.
Dalam pada itu ada pula aliran jang berpendapat, bahwa figur orang jang dua itu akan mendjadi penghalang bagi tenaga-tenaga politik baru untuk madju kemuka. Ini merugikan bagi latihan demokrasi. Sebab itu perlu mereka meluangkan tempat dalam kekuasaan politik bagi pemimpin-pemimpin jang lain itu. Segala pertimbangan itu melupakan kepentingan jang lebih besar dan mendesak diwaktu itu, jaitu bahwa negara perlu akan suatu pemerintah jang kuat jang mempunjai kewibawaan besar untuk mengatasi berbagai kesulitan. Salah satu dari jang terutama ialah bahwa tjita-tjita demokrasi memang ada di Indonesia, tetapi pelaksaannjalah jang kurang.
Selain dari itu pengalaman dalam pemerintahan demokrasi sedikit sekali; diluar daerah Republik Indonesia jang pertama jang hanja meliputi Djawa dan Sumatera hampir tidak ada. Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat jang pertama kali mewakili seluruh Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1950 bukanlah anggota jang dipilih oleh rakjat, melainkan diangkat oleh Pemerintah negara-negara bagian lama. Lebih dari separoh berasal dari pegawai negeri jang dalam zaman Hindia Belanda tidak mempunjai pengalaman politik.Sebab itu tidak mengherankan, kalau didalam Dewan Perwakilan Rakjat itu djumlah partai politik mangkin lama mangkin banjak. Achirnja terdapat 19 buah. Orang dapat mengira betapa sulitnja membentuk suatu Pemerintah jang akan memperoleh dukungan oleh suara jang terbanjak didalam Dewan Perwakilan Rakjat. Tiap-tiap pemerintah mempunjai tjorak koalisi, tersusun dari sedikit-dikitnja 7 atau 8 partai. Alangkah sulitnja menjusun program bersama dan menjetudjui orang-orang jang akan duduk sebagai menteri. Dan kalau pemerintah sudah berdjalan dan kemudian ada partai dalam koalisi itu jang tidak mendapat kepuasan, lalu ia menarik menterinja keluar. Maka timbullah krisis kabinet.
Kabinet djatuh karena kelemahan dari dalam, bukan karena votum dalam Dewan Perwakilan Rakjat. Berkali-kali Pemerintah mengundurkan diri, tapi belum ada jang djatuh dimuka Parlemen karena salah suatu votum tidak-pertjaja. Dengan sendirinja pemerintah-pemerintah sematjam itu, jang setiap waktu menghadapi soal politik didalam dan diluar Dewan Perwakilan Rakjat, tidak tjukup mempunjai kesempatan untuk memikirkan soal ekonomi dan pembangunan. Rentjana jang diperbuat sudah terlantar lagi kalau Pemerintah sudah djatuh. Pemerintah jang menggantikanja memikirkan lagi rentjana baru.
Sesudah pemilihan umum tahu 1955 djumlah partai itu tidak berkurang, malahan bertambah sampai 28. Ini disebabkan oleh sistim pemilu jang terlalu demokratis. Sebenarnja tiga partai jang terbesar jang didalam Dewan Perwakilan Rakjat, jaitu P.N.I., Masjumi, dan Nahdatul Ulama memperoleh suara terbanjak jang mutlak, tetapi diantara Masjumi dan dua lainnja itu sukar mentjapai persesuaian paham. Kalau dinegeri-negeri jang sudah lama mendjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan jang menjalah-gunakan kekuasaan, apalagi di negeri jang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan mendjadi pemerintah berarti “membagi rezeki”. Golonghan sendiri dikemukakan, masjarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh tugas dari partainja untuk melakukan tindakan-tindakan jang memberi keuntungan bagi partainja. Seorang menteri perekonomian misalnja mendjalankan tugasnja itu dengan memberikan lisensi dengan bajaran jang tertentu untuk kas partainja. Atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importer atau exporter, orang jang separtai dengan dia didahulukannja. Keperluan uang untuk biaja pemilihan umum mendjadi sebab ketjurangan itu. Partai jang pada hakekatnja alat untuk menjusun pendapat umum setjara teratur, agar supaja rakjat beladjar merasa tanggung djawabnja sebagai pemangku negara dan anggota masjarakat, ~ partai itu didjadikan tujuan dan negara mendjadi alatnja.
Djuga dalam hal menempatkan pegawai didalam dan diluar negeri orang lupa akan dasar tanggung djawab dan toleransi dalam demokrasi. Seringkali keanggotaan partai mendjadi ukuran, bukan dasar “the right man in the right place”. Pegawai jang tidak berpartai atau partainja duduk dibangku oposisi merasa kehilangan pegangan dan mendjadi patah hati. Ini merusak ketenteraman djiwa bekerdja, mendorong orang kedjalan tjurang dan korupsi mental, aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai, dengan politik kepartaian itu orang menghidupkan jang sebaliknja, mengasuh orang luntur karakter. Achirnja orang masuk partai bukan karena kejakinan, melainkan karena ingin memperoleh djaminan. Suasana politik sematjam itu memberi kesempatan kepada berbagai djenis petualang politik dan ekonomi serta manusia profetir madju kemuka. Segala pergerakan dan sembojan nasional diperalatkan mereka, partai-partai politik ditunggangginja, untuk mentjapai kepentingan mereka sendiri. Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi. Kelandjutannja, korupsi dan demoralisasi meradjalela.
Sebaliknja orang ingin mempunjai suatu sistim pemerintahan jang lebih demokratis, jaitu dimana Pemerintah bertanggung djawab kepada Parlemen setiap waktu. Menurut djalan pikiran ini, diantara badan-badan jang kerdjasama dalam melakukan pemerintahan, Parlemen dan Pemerintah, Parlemenlah jang terkuat. Sistim itu tidak djalan terhadap dwitunggal dengan kewibawaanja jang besar terhadap rakjat.
Dalam pada itu ada pula aliran jang berpendapat, bahwa figur orang jang dua itu akan mendjadi penghalang bagi tenaga-tenaga politik baru untuk madju kemuka. Ini merugikan bagi latihan demokrasi. Sebab itu perlu mereka meluangkan tempat dalam kekuasaan politik bagi pemimpin-pemimpin jang lain itu. Segala pertimbangan itu melupakan kepentingan jang lebih besar dan mendesak diwaktu itu, jaitu bahwa negara perlu akan suatu pemerintah jang kuat jang mempunjai kewibawaan besar untuk mengatasi berbagai kesulitan. Salah satu dari jang terutama ialah bahwa tjita-tjita demokrasi memang ada di Indonesia, tetapi pelaksaannjalah jang kurang.
Selain dari itu pengalaman dalam pemerintahan demokrasi sedikit sekali; diluar daerah Republik Indonesia jang pertama jang hanja meliputi Djawa dan Sumatera hampir tidak ada. Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat jang pertama kali mewakili seluruh Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1950 bukanlah anggota jang dipilih oleh rakjat, melainkan diangkat oleh Pemerintah negara-negara bagian lama. Lebih dari separoh berasal dari pegawai negeri jang dalam zaman Hindia Belanda tidak mempunjai pengalaman politik.Sebab itu tidak mengherankan, kalau didalam Dewan Perwakilan Rakjat itu djumlah partai politik mangkin lama mangkin banjak. Achirnja terdapat 19 buah. Orang dapat mengira betapa sulitnja membentuk suatu Pemerintah jang akan memperoleh dukungan oleh suara jang terbanjak didalam Dewan Perwakilan Rakjat. Tiap-tiap pemerintah mempunjai tjorak koalisi, tersusun dari sedikit-dikitnja 7 atau 8 partai. Alangkah sulitnja menjusun program bersama dan menjetudjui orang-orang jang akan duduk sebagai menteri. Dan kalau pemerintah sudah berdjalan dan kemudian ada partai dalam koalisi itu jang tidak mendapat kepuasan, lalu ia menarik menterinja keluar. Maka timbullah krisis kabinet.
Kabinet djatuh karena kelemahan dari dalam, bukan karena votum dalam Dewan Perwakilan Rakjat. Berkali-kali Pemerintah mengundurkan diri, tapi belum ada jang djatuh dimuka Parlemen karena salah suatu votum tidak-pertjaja. Dengan sendirinja pemerintah-pemerintah sematjam itu, jang setiap waktu menghadapi soal politik didalam dan diluar Dewan Perwakilan Rakjat, tidak tjukup mempunjai kesempatan untuk memikirkan soal ekonomi dan pembangunan. Rentjana jang diperbuat sudah terlantar lagi kalau Pemerintah sudah djatuh. Pemerintah jang menggantikanja memikirkan lagi rentjana baru.
Sesudah pemilihan umum tahu 1955 djumlah partai itu tidak berkurang, malahan bertambah sampai 28. Ini disebabkan oleh sistim pemilu jang terlalu demokratis. Sebenarnja tiga partai jang terbesar jang didalam Dewan Perwakilan Rakjat, jaitu P.N.I., Masjumi, dan Nahdatul Ulama memperoleh suara terbanjak jang mutlak, tetapi diantara Masjumi dan dua lainnja itu sukar mentjapai persesuaian paham. Kalau dinegeri-negeri jang sudah lama mendjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan jang menjalah-gunakan kekuasaan, apalagi di negeri jang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan mendjadi pemerintah berarti “membagi rezeki”. Golonghan sendiri dikemukakan, masjarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh tugas dari partainja untuk melakukan tindakan-tindakan jang memberi keuntungan bagi partainja. Seorang menteri perekonomian misalnja mendjalankan tugasnja itu dengan memberikan lisensi dengan bajaran jang tertentu untuk kas partainja. Atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importer atau exporter, orang jang separtai dengan dia didahulukannja. Keperluan uang untuk biaja pemilihan umum mendjadi sebab ketjurangan itu. Partai jang pada hakekatnja alat untuk menjusun pendapat umum setjara teratur, agar supaja rakjat beladjar merasa tanggung djawabnja sebagai pemangku negara dan anggota masjarakat, ~ partai itu didjadikan tujuan dan negara mendjadi alatnja.
Djuga dalam hal menempatkan pegawai didalam dan diluar negeri orang lupa akan dasar tanggung djawab dan toleransi dalam demokrasi. Seringkali keanggotaan partai mendjadi ukuran, bukan dasar “the right man in the right place”. Pegawai jang tidak berpartai atau partainja duduk dibangku oposisi merasa kehilangan pegangan dan mendjadi patah hati. Ini merusak ketenteraman djiwa bekerdja, mendorong orang kedjalan tjurang dan korupsi mental, aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai, dengan politik kepartaian itu orang menghidupkan jang sebaliknja, mengasuh orang luntur karakter. Achirnja orang masuk partai bukan karena kejakinan, melainkan karena ingin memperoleh djaminan. Suasana politik sematjam itu memberi kesempatan kepada berbagai djenis petualang politik dan ekonomi serta manusia profetir madju kemuka. Segala pergerakan dan sembojan nasional diperalatkan mereka, partai-partai politik ditunggangginja, untuk mentjapai kepentingan mereka sendiri. Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi. Kelandjutannja, korupsi dan demoralisasi meradjalela.
DEMOKRASI
DAN DIKTATUR
Dimana-mana
orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berdjalan sebagaimana
mestinja, seperti jang diharapkan. Kemakmuran rakjat jang ditjita-tjitakan
masih djauh sadja, sedangkan nilai uang makin merosot. Rentjana jang terlantar
banjak sekali. Keruntuhan dan kehantjuran barang-barang kapital tampak
dimana-mana, seperti rusaknja jalan raja, irigasi, pelabuhan, berkembangnja
irosi dan lain-lain. Pembangunan demokrasi pun terlantar karena pertjektjokan
politik senantiasa. Indonesia jang adil jang ditunggu-tunggu masih djauh sadja.
Pelaksanaan autonomi daerah dengan urusan keuangan sendiri jang lama sekali
menunngu mendjadi sebab timbulnja pergolakan daerah.
Daerah-daerah jang begitu banjak menghasilkan devisen buat negara, sedangkan mereka tidak melihat pembangunan didaerahnja, mulai menentang pemerintah pusat. Sudah lebih dahulu angkatan perang merasa tak puas dengan djalannja pemerintahan ditangan partai-partai. Pertjektjokan politik dipusat besar pengaruhnja kebawah. Pada daerah-daerah jang belum aman gerakan gerombolan makin mendjadi. Semuanja harus dihadapi oleh tentera. Aturan menjiapkan diri tugasnja jang sebenarnja, jaitu melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, ia terus-menerus sadja disuruh melakukan tugas polisi ke dalam.
Pada tahun 1952 pernah pimpinan angkatan perang memohon kepada Presiden supaja Presiden sudi mengachiri tjara Dewan Perwakilan Rakjat bekerdja jang selalu menimbulkan politik jang tidak stabil. Petisi itu tidak berhasil, sebab Presiden menundjukkan kepada kedudukkannja sebagai Kepala Negara jang Konstitusionil. Achirnja pesertaan tentera dengan gerakan rakjat pada beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat memaksa Pemerintah pusat mengumumkan keadaan bahaja. Sedjak itu mulailah tjampur tangan angkatan perang dalam pemerintahan.
Persengketaan tentang Irian Barat jang makin memuntjak memberi kesempatan kepada beberapa golongan pemuda untuk mengambil alih beberapa perusahaan Belanda jang ada di Indonesia. Untuk menghidarkan kekatjauan Pemerintah memberi tugas kepada angkatan perang untuk mengawasi semuanja itu. Dengan begitu bertambah luaslah kekuasaan dan tnggung djawab jang diberikan kepada tentera. Kalau mereka jang harus bertanggung djawab dalam berbagai bidang, keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka sudah selajaknja mereka ikut serta dalam pemerintahan negara. Untuk menanggalkan kekuasaan partai-partai politik dalam pemerintah, tentera mengandjurkan idée: kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan sistim Kabinet Presidensiil. Tjita-tjita itu disokong oleh beberapa golongan ketjil jang merasa berdjasa dalam revolusi tahun 1945 tetapi tak pernah terhitung dalam politik selama itu. Sudah tentu dengan interpretasi sendiri! Dari kanan dan kiri Presiden didesak supaja mengambil tindakan jang tegas untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tindak anti konstitusionil diandjurkan! Maka terjadilah peristiwa jang disebut tadi pada permulaan karangan ini. Perkembangan politik jang berachir dengan kekatjauan, demokrasi jang berachir dengan anarki membuka djalan untuk lawannja: diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sedjarah dunia.
Tetapi sedjarah dunia memberi pentundjuk pula bahwa diktatur jang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnja. Sebab itu pula sistim jang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih pandjang umurnja dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnja itu akan rubuh dengan sendirinja seperti suatu rumah dari kartu. Tidak ada seorang juga dari team kerdjasama jang diadakanja itu jang mempunjai caliber dan kewibawaan untuk meneruskannja. Tidak ada pula bajangan dalam masjarakat, bahwa sistim itu disukai orang.
Daerah-daerah jang begitu banjak menghasilkan devisen buat negara, sedangkan mereka tidak melihat pembangunan didaerahnja, mulai menentang pemerintah pusat. Sudah lebih dahulu angkatan perang merasa tak puas dengan djalannja pemerintahan ditangan partai-partai. Pertjektjokan politik dipusat besar pengaruhnja kebawah. Pada daerah-daerah jang belum aman gerakan gerombolan makin mendjadi. Semuanja harus dihadapi oleh tentera. Aturan menjiapkan diri tugasnja jang sebenarnja, jaitu melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, ia terus-menerus sadja disuruh melakukan tugas polisi ke dalam.
Pada tahun 1952 pernah pimpinan angkatan perang memohon kepada Presiden supaja Presiden sudi mengachiri tjara Dewan Perwakilan Rakjat bekerdja jang selalu menimbulkan politik jang tidak stabil. Petisi itu tidak berhasil, sebab Presiden menundjukkan kepada kedudukkannja sebagai Kepala Negara jang Konstitusionil. Achirnja pesertaan tentera dengan gerakan rakjat pada beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat memaksa Pemerintah pusat mengumumkan keadaan bahaja. Sedjak itu mulailah tjampur tangan angkatan perang dalam pemerintahan.
Persengketaan tentang Irian Barat jang makin memuntjak memberi kesempatan kepada beberapa golongan pemuda untuk mengambil alih beberapa perusahaan Belanda jang ada di Indonesia. Untuk menghidarkan kekatjauan Pemerintah memberi tugas kepada angkatan perang untuk mengawasi semuanja itu. Dengan begitu bertambah luaslah kekuasaan dan tnggung djawab jang diberikan kepada tentera. Kalau mereka jang harus bertanggung djawab dalam berbagai bidang, keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka sudah selajaknja mereka ikut serta dalam pemerintahan negara. Untuk menanggalkan kekuasaan partai-partai politik dalam pemerintah, tentera mengandjurkan idée: kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan sistim Kabinet Presidensiil. Tjita-tjita itu disokong oleh beberapa golongan ketjil jang merasa berdjasa dalam revolusi tahun 1945 tetapi tak pernah terhitung dalam politik selama itu. Sudah tentu dengan interpretasi sendiri! Dari kanan dan kiri Presiden didesak supaja mengambil tindakan jang tegas untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tindak anti konstitusionil diandjurkan! Maka terjadilah peristiwa jang disebut tadi pada permulaan karangan ini. Perkembangan politik jang berachir dengan kekatjauan, demokrasi jang berachir dengan anarki membuka djalan untuk lawannja: diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sedjarah dunia.
Tetapi sedjarah dunia memberi pentundjuk pula bahwa diktatur jang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnja. Sebab itu pula sistim jang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih pandjang umurnja dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnja itu akan rubuh dengan sendirinja seperti suatu rumah dari kartu. Tidak ada seorang juga dari team kerdjasama jang diadakanja itu jang mempunjai caliber dan kewibawaan untuk meneruskannja. Tidak ada pula bajangan dalam masjarakat, bahwa sistim itu disukai orang.
KONSEPSI
SOEKARNO
Kalau kita
perhatikan golongan-golongan dalam Dewan Perwakilan Rakjat gotong-rojong itu,
jang akan mendukung sistim Soekarno, disitu tidak ada homogenita. Malahan
mereka itu terdiri dari berbagai aliran jang bertentangan satu sama lain, jang
batas-membatasi dan hambat-menghambat. Mereka dapat kerdjasama dengan
musjawarah, karena ada soekarno jang menentukan dan mereka meng-ia-kan.
Dalam keadaan jang sematjam itu, tenaga-tenaga demokrasi dalam masjarakat terpaksa menunggu dengan sabar, apa jang akan dilahirkan oleh konsepsi Soekarno itu. Selama politiknja didukung oleh aliran-aliran jang terbesar djumlahnja dan golongan jang berkuasa, semuanja dengan semangat totaliter, aliran demokrasi tidak dapat berbuat apa-apa. Semangat totaliter sedang kuat berhubung dengan pemberontakan pada daerah. Bagi saja jang lama bertengkar denga Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan jang efisien, ada baiknja diberikan fair chance dalam waktu jang lajak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistimnja itu akan mendjadi suatu sukses atau suatu kegagalan. Sikap ini saja ambil sedjak perundingan kami jang tidak berhasil kira-kira dua tahun jang lalu.
Ada ukuran jang objektif jang akan menentukan dalam hal ini. Tertjapailah atau tidak kemakmuran rakjat dengan itu, kemakmuran rakjat jang Soekarno sendiri djuga mentjiptakannja dengan sepenuh-penuhnja fantasinja? Sanggupkah ia menahan kemerosotan taraf hidup rakjat dalam tempoh jang singkat? Dapatkah ia menjetop inflasi jang terus-menerus dalam waktu jang tidak terlalu lama, inflasi jang membuat orang putus harapan?Itulah ukuran jang objektif jang tepat terhadap konsepsinja itu!Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta pada tanah airnja dan ingin melihat Indonesia jang adil dan makmur selekas-lekasnja, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif jang terutama baginja untuk melakukan tindakan jang luar biasa itu, dengan tanggung djawab sepenuhnja pada dirinja. Tjuma, berhubung dengan tabiatnja dan pembawaannja, dalam segala tjiptaannja ia memandang garis besarnja sadja. Hal-hal jang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan menentukan dalam pelaksanaannja, tidak dihiraukannja. Sebab itu ia sering mentjapai jang sebaliknja dari jang ditudjunja.
Dalam suatu kritik terhadap konsepsinja kira-kira tiga tahun jang lalu saja bandingkan dia dengan Mephistopheles dalam hikajat Goethe’s faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah “ein Teil jener Kräfte, die stets das Böse will und stets das Gute schafft” - satu bagian dari suatu tenaga jang selalu jang mengkehendaki jang buruk dan selalu menghasilkan jang baik, Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tudjuannja selalu baik, tetapi langkah-langkah jang diambilnja kerapkali mendjauhkan dia dari tudjuannja itu. Dan sistim diktatur jang diadakannja sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa ia kepada keadaan jang bertentangan dengan tjita-tjitanja selama ini.
Tadi saja katakan, bahwa demokrasi tidak akan lenjap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnja. Memang tak mudah membangun suatu demokrasi di Indonesia jang lantjar djalannja. Tetapi bahwa ia akan muntjul kembali, itu tidak dapat dibantah. Ada dua hal jang memberikan kejakinan itu kepada saja. Pertama, tjita-tjita demokrasi jang hidup dalam pergerakan hidup kebangsaan dimasa pendjadjahan Indonesia dahulu, jang memberikan semangat kepada perdjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia jang asli jang berdasarkan demokrasi, jang sampai sekarang masih terdapat didalam desa Indonesia. Sudah biasa dalam sedjarah, bahwa tjita-tjita jang murni dan indah tentang pergaulan hidup manusia dan bangsa lahir dalam masa penderitaan. Rakjat Indonesia menderita, berabad-abad lamanja, dibawah pendjadjahan Belanda.
Kesengsaraan hidup, penghinaan bangsa oleh berbagai peraturan diskriminasi, pemerasan nasional dibawah suatu kekuasaan autokrasi colonial, sifat pemerintahan djadjahan sebagai suatu negara-polisi jang menindas segala tjita-tjita kemerdekaan, ~semuanja itu menghidupkan dalam pangkuan pergerakan kebangsaan tjita-tjita tentang persatuan Indonesia, peri-kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Semuanja itu tergaris sedalam-dalamnja dalam djiwa rakyat Indonesia, sekalipun mereka hanja sanggup menjatakannja setjara pasif. Tetapi didalam kalbu orang pergerakan tjita-tjita itu hidup sebagai keinsjafan hukum, jang harus memberi tjorak kepada Indonesia Merdeka.
Sedjak masa pendjadjahan ditjiptakan, bahwa Indonesia Merdeka dimasa datang mestilah NEGARA NASIONAL, bersatu dan tidak terpisah-pisah. Ia bebas dari pendjadjahan asing dalam rupa apapun djuga, politik maupun ideologi. Dasar-dasar peri-kemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara orang dengan orang, antara madjikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa. Lahir dalam perdjuangan menentang pendjadjahan, tjita-tjita peri-kemanusiaan tidak sadja bersifat anti-kolonial dan anti-imperialis, tetapi djuga menudju kebebasan manusia dari segala tindasan. Pergaulan hidup harus diliputi oleh suasana kekeluargaan dan persaudaraan. Literatur sosialis jang banjak dibatja dan pergerakan kaum buruh Barat jang dilihat dari djauh dan dari dekat, memperkuat tjita-tjita itu mendjadi kejakinan.
Dalam keadaan jang sematjam itu, tenaga-tenaga demokrasi dalam masjarakat terpaksa menunggu dengan sabar, apa jang akan dilahirkan oleh konsepsi Soekarno itu. Selama politiknja didukung oleh aliran-aliran jang terbesar djumlahnja dan golongan jang berkuasa, semuanja dengan semangat totaliter, aliran demokrasi tidak dapat berbuat apa-apa. Semangat totaliter sedang kuat berhubung dengan pemberontakan pada daerah. Bagi saja jang lama bertengkar denga Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan jang efisien, ada baiknja diberikan fair chance dalam waktu jang lajak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistimnja itu akan mendjadi suatu sukses atau suatu kegagalan. Sikap ini saja ambil sedjak perundingan kami jang tidak berhasil kira-kira dua tahun jang lalu.
Ada ukuran jang objektif jang akan menentukan dalam hal ini. Tertjapailah atau tidak kemakmuran rakjat dengan itu, kemakmuran rakjat jang Soekarno sendiri djuga mentjiptakannja dengan sepenuh-penuhnja fantasinja? Sanggupkah ia menahan kemerosotan taraf hidup rakjat dalam tempoh jang singkat? Dapatkah ia menjetop inflasi jang terus-menerus dalam waktu jang tidak terlalu lama, inflasi jang membuat orang putus harapan?Itulah ukuran jang objektif jang tepat terhadap konsepsinja itu!Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta pada tanah airnja dan ingin melihat Indonesia jang adil dan makmur selekas-lekasnja, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif jang terutama baginja untuk melakukan tindakan jang luar biasa itu, dengan tanggung djawab sepenuhnja pada dirinja. Tjuma, berhubung dengan tabiatnja dan pembawaannja, dalam segala tjiptaannja ia memandang garis besarnja sadja. Hal-hal jang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan menentukan dalam pelaksanaannja, tidak dihiraukannja. Sebab itu ia sering mentjapai jang sebaliknja dari jang ditudjunja.
Dalam suatu kritik terhadap konsepsinja kira-kira tiga tahun jang lalu saja bandingkan dia dengan Mephistopheles dalam hikajat Goethe’s faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah “ein Teil jener Kräfte, die stets das Böse will und stets das Gute schafft” - satu bagian dari suatu tenaga jang selalu jang mengkehendaki jang buruk dan selalu menghasilkan jang baik, Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tudjuannja selalu baik, tetapi langkah-langkah jang diambilnja kerapkali mendjauhkan dia dari tudjuannja itu. Dan sistim diktatur jang diadakannja sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa ia kepada keadaan jang bertentangan dengan tjita-tjitanja selama ini.
Tadi saja katakan, bahwa demokrasi tidak akan lenjap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnja. Memang tak mudah membangun suatu demokrasi di Indonesia jang lantjar djalannja. Tetapi bahwa ia akan muntjul kembali, itu tidak dapat dibantah. Ada dua hal jang memberikan kejakinan itu kepada saja. Pertama, tjita-tjita demokrasi jang hidup dalam pergerakan hidup kebangsaan dimasa pendjadjahan Indonesia dahulu, jang memberikan semangat kepada perdjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia jang asli jang berdasarkan demokrasi, jang sampai sekarang masih terdapat didalam desa Indonesia. Sudah biasa dalam sedjarah, bahwa tjita-tjita jang murni dan indah tentang pergaulan hidup manusia dan bangsa lahir dalam masa penderitaan. Rakjat Indonesia menderita, berabad-abad lamanja, dibawah pendjadjahan Belanda.
Kesengsaraan hidup, penghinaan bangsa oleh berbagai peraturan diskriminasi, pemerasan nasional dibawah suatu kekuasaan autokrasi colonial, sifat pemerintahan djadjahan sebagai suatu negara-polisi jang menindas segala tjita-tjita kemerdekaan, ~semuanja itu menghidupkan dalam pangkuan pergerakan kebangsaan tjita-tjita tentang persatuan Indonesia, peri-kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Semuanja itu tergaris sedalam-dalamnja dalam djiwa rakyat Indonesia, sekalipun mereka hanja sanggup menjatakannja setjara pasif. Tetapi didalam kalbu orang pergerakan tjita-tjita itu hidup sebagai keinsjafan hukum, jang harus memberi tjorak kepada Indonesia Merdeka.
Sedjak masa pendjadjahan ditjiptakan, bahwa Indonesia Merdeka dimasa datang mestilah NEGARA NASIONAL, bersatu dan tidak terpisah-pisah. Ia bebas dari pendjadjahan asing dalam rupa apapun djuga, politik maupun ideologi. Dasar-dasar peri-kemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara orang dengan orang, antara madjikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa. Lahir dalam perdjuangan menentang pendjadjahan, tjita-tjita peri-kemanusiaan tidak sadja bersifat anti-kolonial dan anti-imperialis, tetapi djuga menudju kebebasan manusia dari segala tindasan. Pergaulan hidup harus diliputi oleh suasana kekeluargaan dan persaudaraan. Literatur sosialis jang banjak dibatja dan pergerakan kaum buruh Barat jang dilihat dari djauh dan dari dekat, memperkuat tjita-tjita itu mendjadi kejakinan.
DEMOKRASI
INDONESIA
Pengalaman
dengan pemerintahan autokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi menghidupkan
dalam kalbu pemimpin dan rakjat Indonesia tjita-tjita negara hukum jang
demokratis. Negara itu haruslah berbentuk Republik berdasarkan Kedaulatan
Rakjat. Tetapi Kedaulatan Rakjat jang dipahamkan dan dipropagandakan dalam
kalangan pergerakan nasional berlainan dengan konsep Rousseau jang bersifat
individualisme. Kedaulatan Rakjat tjiptaan Indonesia harus berakar dalam
pergaulan hidup sendiri jang bertjorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia harus
pula perkembangan dari pada demokrasi Indonesia jang asli.
Semangat kebangsaan jang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan untuk mentjari sendi-sendi bagi negara nasional jang akan dibangun kedalam masjarakat sendiri. Demokrasi Barat à priori ditolak.Dalam mempeladjari Revolusi Perantjis 1789 jang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternjata bahwa trilogy ,,kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” tiga jang mendjadi sembojannja, tidak terjadi dalam praktik. Itu tidak mengherankan, karena Revolusi Perantjis meletus sebagai revolusi individuil untuk kemerdekaan orang-seorang dari ikatan feodalisme. Kemerdekaan individu diutamakan. Dalam merealisasinja orang lupa akan rangkaiannja dengan persamaan dan persaudaraan. Selagi Revolusi Perantjis tudjuannja hendak melaksanakan tjita-tjita sama rata sama rasa –sebab itu disebelah kemerdekaan individu dikemukakan persamaan dan persaudaraan-, demokrasi jang dipraktikkan hanja membawa persamaan politik. Itupun terdjadi berangsur-angsur. Dalam politik hak seorang sama dengan jang lain; kaja dan miskin, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunjai hak untuk memilih dan dipilih mendjadi anggota Dewan Perwakilan Rakjat. Tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnja semangat individualisme, jang dihidupkan oleh Revolusi Perantjis, kapitalisme subur tumbuhnja. Pertentangan kelas bertambah hebat. Dimana ada pertentangan jang hebat antara berbagai kepentingan, dimana ada golongan jang menindas dan ditindas, disitu sukar didapat persaudaraan.
Njatalah sekarang bahwa demokrasi jang sematjam itu tidak sesuai dengan tjita-tjita perdjuangan Indonesia jang mentjiptakan terlaksananja dasar-dasar peri-kemanusian dan keadilan sosial. Demokrasi politik sadja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. disebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu tjita-tjita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup jang menentukan nasib manusia. Tjita-tjita keadilan jang terbajang dimuka, dijadjikan program untuk dilaksanakan didalam praktik hidup nasional dikemudian hari.
Djika ditilik benar-benar, ada tiga sumber jang menghidupkan tjita-tjita demokrasi sosial itu dalam kalbu pemimpin-pemimpin dimasa itu. Pertama, paham sosialis Barat, jang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar peri-kemanusiaan jang dibelanja menjadjadi tudjuannja. Kedua, adjaran Islam, jang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masjarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai machluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah jang Pengasih dan Penjajang. Ketiga, pengetahuan bahwa masjarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Paduan semuanja itu hanja memperkuat kejakinan, bahwa bangun demokrasi jang akan mendjadi dasar pemerintah Indonesia dikemudian hari haruslah suatu perkembangan dari pada demokrasi asli, jang berlaku didalam desa Indonesia.
Negara Indonesia adalah negara feudal, jang dikuasai oleh radja autocrat. Sungguhpun begitu didalam desa-desa sistim demokrasi terus berlaku, tumbuh dan hidup sebagai adat-istiadat. Bukti ini menanam kejakinan, bahwa demokrasi Indonesia jang asli kuat bertaha, liat hidupnja. Seperti kata pepatah minangkabau "indak lakang dek paneh, indak lapuak dek udjan”. Demokrasi itu di-idealisir dalam pergerakan kebangsaan dahulu. Dan orang tjoba membuat konsepsi demokrasi Indonesia jang modern, berdasarkan demokrasi jang asli itu.Analisa sosial menundjukkan, bahwa demokrasi asli Indonesia kuat bertahan dibawah feodalisme, karena tanah sebagai faktor produksi jang terpenting adalah milik bersama kepunjaan masyarakat desa. Bukan kepunjaan Radja. Dan sejarah sosial dibenua Barat memperlihatkan, bahwa pada zaman feodalisme milik tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan. Siapa jang hilang haknja atas tanah, hilang kemerdekaannja. Ia terpaksa menggantungkan hidupnja kepada orang lain; ia mendjadi budak dipekarangan tuan tanah.
Oleh karena dalam Indonesia dahulu kala milik tanah adalah pada masjarakat desa, maka demokrasi desa boleh ditindas hidupnja oleh kekuasaan feodal jang meliputinja dari atas, tetapi tidak dapat dilenjapkan. Berdasarkan milik bersama atas tanah, tiap-tiap orang-seorang dalam mempergunakan tenaga ekonominja merasa perlu akan persetudjuan kaumnja. Kelandjutan dari pada itu didapati pula, bahwa segala usaha jang berat, jang tidak tekerdjakan oleh tenaga orang-seorang, dikerdjakan bersama setjara gotong-royong. Bukan sadja hal-hal jang menurut sistim juridis Barat termasuk kedalam golongan hukum publik dikerdjakan begitu, tetapi djuga jang mengenai hal-hal privé, seperti mendirikan rumah, mengerdjakan sawah, mengantar majat kekubur dan lain-lain.
Adat hidup sematjam itu membawa kebiasaan bermusjawarah. Segala hal jang mengenai kepentingan umum dipersoalkan bersama-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah minangkabau: “bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”. Kebiasaan mengambil keputusan dengan musjawarah dan mufakat menimbulkan institute rapat pada tingkat jang tertentu, dibawah pimpinan kepala desa. Segala orang dewasa diantara anggota-anggota asli desa berhak hadir dalam rapat itu. Ada dua anasir lagi dari pada demokrasi desa jang asli di Indonesia. Jaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan radja jang dirasakan tidak adil, dan hak rakjat untuk menyingkir dari aderah kekuasaan radja, apabila ia merasa tidak senang lagi hidup disana. Benar atau tidak, jang kemudian ini sering dianggap orang sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib sendiri. Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada masa jang achir ini. Apabila rakjat merasakeberatan sekali atas peraturan jang diadakan oleh pembesar daerah, maka kelihatan rakjat datang sekali banjak kealun-alun dimuka rumahnja dan duduk disitu beberapa lama dengan tiada melakukan apa-apa. Ini merupakan suatu demonstrasi setjara damai. Tidak sering rakjat Indonesia dahulu, jang bersifat penurut, berbuat begitu. Akan tetapi, apabila ia sampai berbuat begitu, maka ia akan mendjadi pertimbangan bagi penguasa, apakah ia akan mentjabut atau mengubah perintahnja.
Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong-rojong, hak mengadakan protes bersama dan hak menjingkir dari kekuasaan radja, dipudja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok jang kuat bagi demokrasi sosial, jang akan didjadikan dasar pemerintah Indonesia Merdeka dimasa datang. Tidak semua dari jang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat jang lebih tinggi dan modern. Tetapi sebagai dasar ia dipandang terpakai. betapapun djuga, orang tak mau melepaskan tjita-tjita demokrasi sosial, jang banjak sedikitnja bersendi kepada organisasi sosial didalam masjarakat asli sendiri.
Dalam segi politik dilaksanakan sistim perwakilan rakjat dengan musjawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa jang begitu kuat hidupnja adalah pula dasar bagi pemerintahan autonomi jang luas didaerah-daerah sebagai tjermin dari pada ,,pemerintahan dari jang diperintah”.Dalam segi ekonomi, semangat gotong-rojong jang merupakan kopersai sosial adalah dasar jang sebaik-baiknja untuk membangun kooperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakjat. Kejakinan tertanam, bahwa hanja dengan kooperasi dapat dibangun kemakmuran rakjat. Dalam segi sosial diadakan djaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia, sedjahtera dan susila mendjadi tudjuan negara.
Semangat kebangsaan jang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan untuk mentjari sendi-sendi bagi negara nasional jang akan dibangun kedalam masjarakat sendiri. Demokrasi Barat à priori ditolak.Dalam mempeladjari Revolusi Perantjis 1789 jang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternjata bahwa trilogy ,,kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” tiga jang mendjadi sembojannja, tidak terjadi dalam praktik. Itu tidak mengherankan, karena Revolusi Perantjis meletus sebagai revolusi individuil untuk kemerdekaan orang-seorang dari ikatan feodalisme. Kemerdekaan individu diutamakan. Dalam merealisasinja orang lupa akan rangkaiannja dengan persamaan dan persaudaraan. Selagi Revolusi Perantjis tudjuannja hendak melaksanakan tjita-tjita sama rata sama rasa –sebab itu disebelah kemerdekaan individu dikemukakan persamaan dan persaudaraan-, demokrasi jang dipraktikkan hanja membawa persamaan politik. Itupun terdjadi berangsur-angsur. Dalam politik hak seorang sama dengan jang lain; kaja dan miskin, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunjai hak untuk memilih dan dipilih mendjadi anggota Dewan Perwakilan Rakjat. Tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnja semangat individualisme, jang dihidupkan oleh Revolusi Perantjis, kapitalisme subur tumbuhnja. Pertentangan kelas bertambah hebat. Dimana ada pertentangan jang hebat antara berbagai kepentingan, dimana ada golongan jang menindas dan ditindas, disitu sukar didapat persaudaraan.
Njatalah sekarang bahwa demokrasi jang sematjam itu tidak sesuai dengan tjita-tjita perdjuangan Indonesia jang mentjiptakan terlaksananja dasar-dasar peri-kemanusian dan keadilan sosial. Demokrasi politik sadja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. disebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu tjita-tjita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup jang menentukan nasib manusia. Tjita-tjita keadilan jang terbajang dimuka, dijadjikan program untuk dilaksanakan didalam praktik hidup nasional dikemudian hari.
Djika ditilik benar-benar, ada tiga sumber jang menghidupkan tjita-tjita demokrasi sosial itu dalam kalbu pemimpin-pemimpin dimasa itu. Pertama, paham sosialis Barat, jang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar peri-kemanusiaan jang dibelanja menjadjadi tudjuannja. Kedua, adjaran Islam, jang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masjarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai machluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah jang Pengasih dan Penjajang. Ketiga, pengetahuan bahwa masjarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Paduan semuanja itu hanja memperkuat kejakinan, bahwa bangun demokrasi jang akan mendjadi dasar pemerintah Indonesia dikemudian hari haruslah suatu perkembangan dari pada demokrasi asli, jang berlaku didalam desa Indonesia.
Negara Indonesia adalah negara feudal, jang dikuasai oleh radja autocrat. Sungguhpun begitu didalam desa-desa sistim demokrasi terus berlaku, tumbuh dan hidup sebagai adat-istiadat. Bukti ini menanam kejakinan, bahwa demokrasi Indonesia jang asli kuat bertaha, liat hidupnja. Seperti kata pepatah minangkabau "indak lakang dek paneh, indak lapuak dek udjan”. Demokrasi itu di-idealisir dalam pergerakan kebangsaan dahulu. Dan orang tjoba membuat konsepsi demokrasi Indonesia jang modern, berdasarkan demokrasi jang asli itu.Analisa sosial menundjukkan, bahwa demokrasi asli Indonesia kuat bertahan dibawah feodalisme, karena tanah sebagai faktor produksi jang terpenting adalah milik bersama kepunjaan masyarakat desa. Bukan kepunjaan Radja. Dan sejarah sosial dibenua Barat memperlihatkan, bahwa pada zaman feodalisme milik tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan. Siapa jang hilang haknja atas tanah, hilang kemerdekaannja. Ia terpaksa menggantungkan hidupnja kepada orang lain; ia mendjadi budak dipekarangan tuan tanah.
Oleh karena dalam Indonesia dahulu kala milik tanah adalah pada masjarakat desa, maka demokrasi desa boleh ditindas hidupnja oleh kekuasaan feodal jang meliputinja dari atas, tetapi tidak dapat dilenjapkan. Berdasarkan milik bersama atas tanah, tiap-tiap orang-seorang dalam mempergunakan tenaga ekonominja merasa perlu akan persetudjuan kaumnja. Kelandjutan dari pada itu didapati pula, bahwa segala usaha jang berat, jang tidak tekerdjakan oleh tenaga orang-seorang, dikerdjakan bersama setjara gotong-royong. Bukan sadja hal-hal jang menurut sistim juridis Barat termasuk kedalam golongan hukum publik dikerdjakan begitu, tetapi djuga jang mengenai hal-hal privé, seperti mendirikan rumah, mengerdjakan sawah, mengantar majat kekubur dan lain-lain.
Adat hidup sematjam itu membawa kebiasaan bermusjawarah. Segala hal jang mengenai kepentingan umum dipersoalkan bersama-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah minangkabau: “bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”. Kebiasaan mengambil keputusan dengan musjawarah dan mufakat menimbulkan institute rapat pada tingkat jang tertentu, dibawah pimpinan kepala desa. Segala orang dewasa diantara anggota-anggota asli desa berhak hadir dalam rapat itu. Ada dua anasir lagi dari pada demokrasi desa jang asli di Indonesia. Jaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan radja jang dirasakan tidak adil, dan hak rakjat untuk menyingkir dari aderah kekuasaan radja, apabila ia merasa tidak senang lagi hidup disana. Benar atau tidak, jang kemudian ini sering dianggap orang sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib sendiri. Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada masa jang achir ini. Apabila rakjat merasakeberatan sekali atas peraturan jang diadakan oleh pembesar daerah, maka kelihatan rakjat datang sekali banjak kealun-alun dimuka rumahnja dan duduk disitu beberapa lama dengan tiada melakukan apa-apa. Ini merupakan suatu demonstrasi setjara damai. Tidak sering rakjat Indonesia dahulu, jang bersifat penurut, berbuat begitu. Akan tetapi, apabila ia sampai berbuat begitu, maka ia akan mendjadi pertimbangan bagi penguasa, apakah ia akan mentjabut atau mengubah perintahnja.
Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong-rojong, hak mengadakan protes bersama dan hak menjingkir dari kekuasaan radja, dipudja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok jang kuat bagi demokrasi sosial, jang akan didjadikan dasar pemerintah Indonesia Merdeka dimasa datang. Tidak semua dari jang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat jang lebih tinggi dan modern. Tetapi sebagai dasar ia dipandang terpakai. betapapun djuga, orang tak mau melepaskan tjita-tjita demokrasi sosial, jang banjak sedikitnja bersendi kepada organisasi sosial didalam masjarakat asli sendiri.
Dalam segi politik dilaksanakan sistim perwakilan rakjat dengan musjawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa jang begitu kuat hidupnja adalah pula dasar bagi pemerintahan autonomi jang luas didaerah-daerah sebagai tjermin dari pada ,,pemerintahan dari jang diperintah”.Dalam segi ekonomi, semangat gotong-rojong jang merupakan kopersai sosial adalah dasar jang sebaik-baiknja untuk membangun kooperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakjat. Kejakinan tertanam, bahwa hanja dengan kooperasi dapat dibangun kemakmuran rakjat. Dalam segi sosial diadakan djaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia, sedjahtera dan susila mendjadi tudjuan negara.
FILSAFAT
NEGARA KITA
Demikianlah
tumbuh berangsur-angsur dalam pangkuan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan
dahulu tjita-tjita demokrasi sosial jang mendjadi dasar bagi pembentukan Negara
Republik Indonesia jang merdeka, bersatu, adil dan makmur. Tjita-tjita itu
dituangkan didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sungguhpun tjukup
diketahui isinja, ada baiknja dimuat djuga disini isinja jang lengkap
menjegarkan ingatan kembali:
“Bahwa
sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka
pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dan selamat sentausa mengantarkan
rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia jang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah jang
Maha-kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan
kebangsaan jang bebas, maka rakyat Indonesia menjatakan dengan ini
kemerdekaannja. Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah negara
Indonesia jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memadjukan kesejahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar negara Indonesia, jang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat dengan
berdasar kepada:
“Ketuhanan
Jang Maha-Esa, Kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam pemusjawaratan perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia”.
Siapa jang
membatja Pembukaan itu dengan teliti, ia dapat menangkap tiga buah pernjataan
jang penting didalamnja.
Pertama,
pernjataan dasar politik dan tjita-tjita bangsa Indonesia. Kemerdekaan diakui
sebagai hak tiap-tiap bangsa, pendjadjahan harus lenjap diatas dunia karena
bertentangan dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Pernjataan ini, jang
lahi dari penderitaan sendiri, tidak sadja menentukan politik kedalam tetapi
mempengaruhi djuga politik luar negeri Republik Indonesia jang terkenal sebagai
politik bebas dan aktif.
Kedua,
pernjataan tentang berhasilnja tuntutan politik bangsa Indonesia, dengan
karunia Allah. “Dengan kurnia Allah” - ini didalam artinja. Disitu terletak
pengakuan, bahwa Indonesia tidak akan merdeka, djika kemerdekaan itu tidak
diberkati Tuhan. Tuhan memberkati kemerdekaan Indonesia, karena rakjat
Indonesia memperdjuangkannja sungguh-sungguh dengan kurban jang tidak sedikit.
Tjita-tjita jang mendjadi pedoman bukan hanja kemerdekaan bangsa, tetapi suatu
Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pelaksanaan ini
mendjadi kewadjiban moril!
Ketiga,
pernjataan tentang Pantjasila sebagai filsafat atau ideologi negara, iaitu Ketuhanan
Jang Maha-Esa, Peri-kemanusiaan, Persatuan Indonesia, kerakjatan dan keadilan
sosial. Dasar jang tinggi-tinggi ini dirasakan perlu sebagai bimbingan untuk
melaksanakan kewadjiban moril jang berat itu. Pengakuan dimuka Tuhan akan
berpegang pada pantjasila itu tidak mudah diabaikan. Dan disitu pulalah
terletak djaminan, bahwa demokrasi tidak akan lenjap di Indonesia. Ia dapat
ditekan sementara dengan berbagai rupa. Akan tetapi lenjap dia tidak. Lenjap
demokrasi itu berarti lenjap Indonesia Merdeka.
Djika diperhatikan benar-benar, Pantjasila itu terdiri atas dua fondamen. Pertama, fondamen moral, jaitu Ketuhanan Jang Maha-Esa. Kedua, fondamen politik jaitu peri-kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi dan keadilan sosial.
Dengan meletakkan dasar moral diatas diharapkan oleh mereka jang memperbuat Pedoman Negara ini, supaja negara dan pemerintahnja memperoleh dasar jang kokoh, jang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kedjudjuran serta persaudaraan keluar dan kedalam. Dengan politik pemerintahan jang berdasarkan kepada moral jang tinggi diharapkan tertjapainja ~seperti jang tertulis dalm Pembukaan itu~ “suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia”. Dasar Ketuhanan Jang Maha-Esa djadi dasar jang memimpin tjita-tjita kenegaraan Indonesia untuk menjelenggarakan segala jang baik bagi rakjat dan masjarakat, sedangkan dasar peri-kemanusiaan adalah kelandjutan dengan perbuatan dari pada dasar jang memimpin tadi dalam praktik hidup. Dasar persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional jang satu dan tidak terbagi-bagi, berdasarkan ideologi sendiri.
Dasar kerakjatan mentjiptakan pemerintahan jang adil jang mentjerminkan kemauan rakjat, jang dilakukan dengan rasa tanggung djawab, agar terlaksana keadilan sosial. Dasar keadilan sosial ini adalah pedoman dan tudjuan keduan-duanja. Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan. Pemerintahan negara pada hakekatnja tidak boleh menjimpang dari djalan jang lurus untuk mentjapai kebahagiaan rakjat dan keselamatan masjarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa. Dengan bimbingan dasar-dasar jang tinggi dan murni itu akan dilaksanakan tugas jang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perdjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa-nafsu, ada terasa senantiasa desakan ghaib jang membimbing kembali kedjalan jang benar.
Demikianlah harapan kaum idealis jang merumuskan filsafat negara dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam saat jang bersejarah, jang menentukan nasib bangsa. Satu tjiptaan, mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa melaksanakannja, tetapi sebagai pegangan untuk menempuh djalan jang baik sangat diperlukan. Dasar-dasar itu menuntut kepada manusia Indonesia, kepada pemimpin-pemimpin politik dan kepada orang-orang negara untuk melatih diri, supaja sanggup berbuat baik dan djujur, sesuai dengan djandji jang diperbuat dimuka Tuhan.
Djika diperhatikan benar-benar, Pantjasila itu terdiri atas dua fondamen. Pertama, fondamen moral, jaitu Ketuhanan Jang Maha-Esa. Kedua, fondamen politik jaitu peri-kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi dan keadilan sosial.
Dengan meletakkan dasar moral diatas diharapkan oleh mereka jang memperbuat Pedoman Negara ini, supaja negara dan pemerintahnja memperoleh dasar jang kokoh, jang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kedjudjuran serta persaudaraan keluar dan kedalam. Dengan politik pemerintahan jang berdasarkan kepada moral jang tinggi diharapkan tertjapainja ~seperti jang tertulis dalm Pembukaan itu~ “suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia”. Dasar Ketuhanan Jang Maha-Esa djadi dasar jang memimpin tjita-tjita kenegaraan Indonesia untuk menjelenggarakan segala jang baik bagi rakjat dan masjarakat, sedangkan dasar peri-kemanusiaan adalah kelandjutan dengan perbuatan dari pada dasar jang memimpin tadi dalam praktik hidup. Dasar persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional jang satu dan tidak terbagi-bagi, berdasarkan ideologi sendiri.
Dasar kerakjatan mentjiptakan pemerintahan jang adil jang mentjerminkan kemauan rakjat, jang dilakukan dengan rasa tanggung djawab, agar terlaksana keadilan sosial. Dasar keadilan sosial ini adalah pedoman dan tudjuan keduan-duanja. Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan. Pemerintahan negara pada hakekatnja tidak boleh menjimpang dari djalan jang lurus untuk mentjapai kebahagiaan rakjat dan keselamatan masjarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa. Dengan bimbingan dasar-dasar jang tinggi dan murni itu akan dilaksanakan tugas jang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perdjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa-nafsu, ada terasa senantiasa desakan ghaib jang membimbing kembali kedjalan jang benar.
Demikianlah harapan kaum idealis jang merumuskan filsafat negara dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam saat jang bersejarah, jang menentukan nasib bangsa. Satu tjiptaan, mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa melaksanakannja, tetapi sebagai pegangan untuk menempuh djalan jang baik sangat diperlukan. Dasar-dasar itu menuntut kepada manusia Indonesia, kepada pemimpin-pemimpin politik dan kepada orang-orang negara untuk melatih diri, supaja sanggup berbuat baik dan djujur, sesuai dengan djandji jang diperbuat dimuka Tuhan.
DEMOKRASI
HILANG SEMENTARA
Diatas dasar
Pantjasila itu sebagai ideologi negara direntjanakan undang-undang dasar jang
mendjadi sendi politik negara dan politik pemerintah jang dapat dibanding
setiap waktu oleh Dewan Perwakilan Rakjat jang dipilih oleh rakjat menurut hak
pilih jang bersifat umum dan berkesamaan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
tertulis, bahwa kedaulatan adalah ditangan rakjat, dan dilakukan sepenuhnja
oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat.
Madjelis Permusjawaratan Rakjat ini menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara. Ia memilih Presiden dan Wakil Presiden, Ia bersidang sedikit-dikitnja sekali lima tahun. Dalam peraturan ini tersimpul maksud, bahwa pemerintah Indonesia berdasar kepada rentjana berkala, i.c. lima tahun. Peraturan tentang Madjelis Permusjawaratan, jang mempunjai kekuasaan tertinggi, menegaskan sekali lagi bahwa Republik Indonesia berdasarkan demokrasi. Madjelis Permusjawaratan Rakjat terdiri atas tiga golongan utusan rakjat. Pertama, Dewan Perwakilan Rakjat sebagai utusan politik; Kedua, utusan-utusan daerah, jang maksudnja mendjaga perimbangan antara kepentingan negara seluruhnja dan kepentingan-kepentingan bagiannja; Ketiga, utusan-utusan golongan masjarakat, untuk mendjaga supaja berbagai kepentingan ekonomi, sosial, kultur, agama, ilmu, d.l.l. dalam masjarakat dan negara terpelihara sebaik-baiknja.
Semangat demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial dan kolektif. Sebab itu mesti ada harmoni dalam pemeliharaan dan politik pemerintah, jang dapat dibanding setiap waktu oleh Dewan Perwakilan Rakjat jang dipilih oleh rakjat menurut hak pilih jang bersifat umum dan berkesamaan.Tidak dapat disangkal, bahwa pemimpin-pemimpin partai politik kita dalam masa 10 tahun jang achir ini gagal dalam melaksanakan tugasnja. Mereka lebih banjak mengabaikan dasar-dasar Pantjasila dari pada menaatinja. Dan akibatnja ialah bahwa Indonesia makin djauh terpisah dari tjita-tjitanja.
Sedjarah Indonesia sedjak 10 tahun jang achir ini seolah-olah mentjerminkan apa jang dilukiskan oleh Schiller: “Eine grosse Epoche hat das Jahrhundert geboren “Aber der grosse Moment findet ein kleines Gerschlect”. Artinja: “Suat masa besar dilahirkan abad, Tetapi masa besar itu menemui manusia ketjil”. Tetapi sedjarah memberi peladjaran djuga pada manusia. Suatu barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan djiwa jang murni, insja Allah, demokrasi jang tertidur sementara akan terbangun kembali.
Madjelis Permusjawaratan Rakjat ini menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara. Ia memilih Presiden dan Wakil Presiden, Ia bersidang sedikit-dikitnja sekali lima tahun. Dalam peraturan ini tersimpul maksud, bahwa pemerintah Indonesia berdasar kepada rentjana berkala, i.c. lima tahun. Peraturan tentang Madjelis Permusjawaratan, jang mempunjai kekuasaan tertinggi, menegaskan sekali lagi bahwa Republik Indonesia berdasarkan demokrasi. Madjelis Permusjawaratan Rakjat terdiri atas tiga golongan utusan rakjat. Pertama, Dewan Perwakilan Rakjat sebagai utusan politik; Kedua, utusan-utusan daerah, jang maksudnja mendjaga perimbangan antara kepentingan negara seluruhnja dan kepentingan-kepentingan bagiannja; Ketiga, utusan-utusan golongan masjarakat, untuk mendjaga supaja berbagai kepentingan ekonomi, sosial, kultur, agama, ilmu, d.l.l. dalam masjarakat dan negara terpelihara sebaik-baiknja.
Semangat demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial dan kolektif. Sebab itu mesti ada harmoni dalam pemeliharaan dan politik pemerintah, jang dapat dibanding setiap waktu oleh Dewan Perwakilan Rakjat jang dipilih oleh rakjat menurut hak pilih jang bersifat umum dan berkesamaan.Tidak dapat disangkal, bahwa pemimpin-pemimpin partai politik kita dalam masa 10 tahun jang achir ini gagal dalam melaksanakan tugasnja. Mereka lebih banjak mengabaikan dasar-dasar Pantjasila dari pada menaatinja. Dan akibatnja ialah bahwa Indonesia makin djauh terpisah dari tjita-tjitanja.
Sedjarah Indonesia sedjak 10 tahun jang achir ini seolah-olah mentjerminkan apa jang dilukiskan oleh Schiller: “Eine grosse Epoche hat das Jahrhundert geboren “Aber der grosse Moment findet ein kleines Gerschlect”. Artinja: “Suat masa besar dilahirkan abad, Tetapi masa besar itu menemui manusia ketjil”. Tetapi sedjarah memberi peladjaran djuga pada manusia. Suatu barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan djiwa jang murni, insja Allah, demokrasi jang tertidur sementara akan terbangun kembali.
LIGA
DEMOKRASI
Dalam pada
itu sudah berdiri sudah berdiri suatu gerakan baru, bernama Liga Demokrasi, sebagai
tantangan kepada Dewan Perwakilan Rakjat gotong-rojong oleh Presiden Soekarno.
Melihat perkembangan dalam waktu jang singkat ini ia bakal mendapat dukungan
dari rakjat jang berdjiwa demokrasi dan dari lapisan masjarakat jang tjemas
melihat kedudukan P.K.I. jang diuntungkan. Liga Demokrasi dibangunkan oleh
orang-orang partai, jang partainja diikut-sertakan oleh Presiden Soekarno dalam
Dewan Perwakilan Rakjat gotong-rojong dan jang tidak. Titik pertemuan mereka
ialah membela demokrasi. Djika ditilik benar-benar, persatuan hati itu baru
terdapat dalam menolak pembentukan Dewan Perwakilan Rakjat gotong-rojong jang
tidak demokratis. Djadinja dalam pendirian negatif!
Soal jang penting jaitu sanggupkah Liga Demokrasi menggariskan pendirian bersama untuk membangun suatu demokrasi jang sehat, jang dapat ditempatkan dalam sistim Pantjasila? Demokrasi dalm sistim Pantjasila bukanlah demokrasi-demokrasian atau “demokrasi” sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi jang harus diberkati oleh Tuhan Jang Maha-Esa, sila pertama jang memimpin seluruh tjita-tjita kenegaraan kita, seperti diuraikan tadi. Demokrasi kita harus didjalankan dengan perbuatan jang berdasarkan kebenaran, keadilan, kedjudjuran, kebaikan, persaudaraan dan peri-kemanusiaan. Sjarat utama untuk melaksanakan ini - jang djuga berlaku bagi segala demokrasi - ialah adanja keinsafan tentang tanggung djawab dan toleransi dan persediaan hati melaksanakan prinsip “the right man in the right place” - orang jang tepat pada tempat jang tepat.
Dalam hal jang pokok-pokok ini untuk melaksanakan demokrasi jang sehat jang kita tjiptakan praktik politik dan kenegaraan, Liga Demokrasi harus mentjapai garis persamaan jang terang dan tegas. Djika tidak, persatuan dalam pendirian jang negatif tidak akan membuahkan suatu haluan jang positif, seperti diperlihatkan oleh sedjarah kita jang lampau. Berdasarkan garis persamaan jang positif itu dapt disusun suatu program pembangunan negara dan masjarakat, jang dasarnja putusan setjara mufakat dan pelaksanaannja dipilih menurut prinsip “the right man in the right place”. Ini menghendaki antara golongan jang bersatu dalam Liga Demokrasi pertjaja-mempertjajai dan rasa toleransi jang sebesar-besarnja. Djuga suatu Liga Demokrasi memerlukan idealisme jang umurnja lebih pandjang dari usia manusia.
Apabila Liga Demokrasi dapat meletakkan fondamen dan sendi-sendi pokok ini dalam membangun kembali demokrasi Indonesia jang dalam krisis, besar harapan ia dapat mendjadi pelopor dalam merintis djalan kembali ke demokrasi Indonesia jang sehat. [PT. PUSTAKA ANTARA DJAKARTA]
Soal jang penting jaitu sanggupkah Liga Demokrasi menggariskan pendirian bersama untuk membangun suatu demokrasi jang sehat, jang dapat ditempatkan dalam sistim Pantjasila? Demokrasi dalm sistim Pantjasila bukanlah demokrasi-demokrasian atau “demokrasi” sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi jang harus diberkati oleh Tuhan Jang Maha-Esa, sila pertama jang memimpin seluruh tjita-tjita kenegaraan kita, seperti diuraikan tadi. Demokrasi kita harus didjalankan dengan perbuatan jang berdasarkan kebenaran, keadilan, kedjudjuran, kebaikan, persaudaraan dan peri-kemanusiaan. Sjarat utama untuk melaksanakan ini - jang djuga berlaku bagi segala demokrasi - ialah adanja keinsafan tentang tanggung djawab dan toleransi dan persediaan hati melaksanakan prinsip “the right man in the right place” - orang jang tepat pada tempat jang tepat.
Dalam hal jang pokok-pokok ini untuk melaksanakan demokrasi jang sehat jang kita tjiptakan praktik politik dan kenegaraan, Liga Demokrasi harus mentjapai garis persamaan jang terang dan tegas. Djika tidak, persatuan dalam pendirian jang negatif tidak akan membuahkan suatu haluan jang positif, seperti diperlihatkan oleh sedjarah kita jang lampau. Berdasarkan garis persamaan jang positif itu dapt disusun suatu program pembangunan negara dan masjarakat, jang dasarnja putusan setjara mufakat dan pelaksanaannja dipilih menurut prinsip “the right man in the right place”. Ini menghendaki antara golongan jang bersatu dalam Liga Demokrasi pertjaja-mempertjajai dan rasa toleransi jang sebesar-besarnja. Djuga suatu Liga Demokrasi memerlukan idealisme jang umurnja lebih pandjang dari usia manusia.
Apabila Liga Demokrasi dapat meletakkan fondamen dan sendi-sendi pokok ini dalam membangun kembali demokrasi Indonesia jang dalam krisis, besar harapan ia dapat mendjadi pelopor dalam merintis djalan kembali ke demokrasi Indonesia jang sehat. [PT. PUSTAKA ANTARA DJAKARTA]
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/arman-dhani/demokrasi-kita-oleh-dr-mohammad-hatta/10152494386033580/