Tuesday, March 6, 2018

Bedah Buku: Red, White and Muslim





Kata Pengantar

“Menjadi Muslim menjadikan saya seorang warganegara Amerika yang lebih baik; dan menjadi warganegara Amerika menjadikan saya seorang Muslim yang lebih baik.”

[Asma Gull Hasan]


I
nilah pandangan berislamnya Asma Gull Hasan yang lahir, tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat. Tema buku yang ditulisnya adalah “Red, White and Muslim” My Story of Belief yang berisikan pandangan-pandangannya sebagai seorang muslimah terhadap Islam dengan “ke-Amerika-annya” di Amerika serikat. Walaupun ia berusaha menjelaskan bahwa ajaran Islam kompatibel dengan Amerika sebagaimana yang ia katakan sendiri: “Menjadi Muslim menjadikan saya seorang warganegara Amerika yang lebih baik; dan menjadi warganegara Amerika menjadikan saya seorang Muslim yang lebih baik.”

Namun bagaimana pendapat dari warga Amerika sendiri dari yang non-Muslim yang membaca - dalam pengertian mereka tentang Islam itu sendiri? Untuk itu kami ambilkan dari seorang Katolik dan seorang penganut Kristen sendiri yang menyebutkan sebagai berikut:

   Ulasan John_Pappas. Bacaan yang bagus untuk memahami ajaran Islam yang kebanyakan orang Amerika non-Muslim tidak pernah melihatnya. Sebenarnya Ajaran Islam ini menyajikan sebuah platform lembut bagi Amerika sebagai tanah yang sempurna untuk sebuah Negara Islam - tapi pemerintahannya tidak dijalankan oleh kaum agamawan, melainkan oleh ajaran nilai-nilai etis dan moral yang sebenarnya sejajar dengan ajaran Islam.

Sebenarnya persoalan dalam Islam adalah, suatu prinsip utama (bagi Barat) adalah budaya politik radikal dan budaya “merendahkan perempuan” yang selama bertahun-tahun meningkat, hendaknya Islam kembali ke basis kemajuan. []


   Ulasan Juglicerr. Reaksi saya terhadap buku ini mendua. Di satu sisi, Asma Gull Hasan adalah seorang pawang sejati, dan mudah disukai. Dia memang memberikan satu harapan agar umat Islam bisa bergabung ke dalam masyarakat Amerika. Bukunya dapat membantu orang memahami bahwa Islam dan Muslim berbeda-beda dan mereka sama sekali bukan fanatik.

Di sisi lain, dia (Asma) tidak mewakili dari “keragaman” Islam lainnya, dan beberapa Muslim telah mengkritiknya karena kurang taat dalam menjalankan (sebagian ajaran) Islam. (Dengan nada sinis) Sangat menarik untuk membaca buku ini bersama denganWafa Sultan A God Who Hates” (Dr. Wafa Sultan seorang wanita imigran keturunan Arab yang keluar dari agama Islam, kemudian aktif dan vokal memberikan opini yang menyudutkan Islam). Jadi, walaupun kita mungkin menyukai Hasan dan kerabatnya yang menarik, dia tidak berbicara untuk semua umat Islam. Saya membedakan antara Islam dan Muslim individu, sama seperti pengabaian Kekristenan saya tidak membuat saya memusuhi semua orang Kristen.

Ada yang sangat liberal (luar biasa) dari kaum pendatang ini, mereka datang ke sini karena mereka menyukai suasana sosial dan politik di Amerika. Yang lainnya membenci Amerika Serikat (AS) dan tidak ingin berintegrasi ke dalam masyarakat sipil (yang dipraktekkan di Amerika ini). Ada kemungkinan dan dapat diterima dalam batas tertentu, untuk (muslim yang berada dan) hidup mempunyai peraturan tersendiri, seperti yang dilakukan orang Amish, namun mereka menerima konsekuensi dari hidup di luar arus utama (mainstream), dan (sebaiknya) penolakan (dari kebiasaan Barat yang telah ada ini) bebas untuk meninggalkan Amerika.

   Ada kasus supir taksi di Minnesota yang berjuang untuk diizinkan menolak layanan taksi kepada siapa pun yang memiliki alkohol yang mereka miliki; atau seekor anjing (seperti orang buta dengan anjing penolongnya); atau orang tua yang menginginkannya anak-anak mereka dibebaskan dari sekolah pada hari Jumat pagi; atau orang lain yang meminta agar diizinkan untuk menolak menjual produk alkohol atau daging babi di toko bahan makanan, daripada mengatakan, menemukan pekerjaan dimana produk tersebut tidak dijual. Yang paling mengganggu, ada "pembunuhan demi kehormatan" dari "terlalu banyak" anak perempuan mereka kebarat-baratan, seperti ketika Noor Almaleki dengan sengaja dipaksa ayahnya untuk menjalankan aturan Islam. Mereka seperti Orang Amish, paling buruk, menghindari kehidupan duniawi.

Saya tidak berpikir bahwa dia cukup berurusan dengan kekerasan agama Muslim. Dia mengatakan bahwa kebanyakan Muslim tidak menyetujuinya, tapi kita pasti tahu bahwa beberapa Muslim melakukannya, dan nampaknya sangat jarang bagi umat Islam untuk menentangnya, itulah yang benar-benar mengganggu saya.

   Ketika saya kuliah, profesor saya menggunakan Islam sebagai model toleransi dan keragaman damai untuk mempermalukan agama Kristen. Kurasa dia tidak akan melakukannya sekarang. Bahkan jika seseorang menganggap keluhan Muslim terhadap AS dan mempedulikan peristiwa seperti 9/11, ada sejumlah kekerasan agama yang mengerikan di dunia Muslim, mungkin sebagian besar korbannya adalah sesama Muslim juga. Dalam bukunya yang sangat bagus, Taliban (telah ada sebelum 9/11), wartawan Pakistan Ahmed Rashid menegur dunia Muslim karena tidak mengutuk penggunaan hukum syariah yang tidak semestinya sebagai alasan untuk melakukan kekerasan dan penindasan.

   Kembali ke Amerika Serikat, saya kutip dari suatu artikel dari Yahoo: Beberapa orang Muslim yang berada di Amerika mengatakan bahwa organisasi nasional mereka berbagi menyalahkan (tindakan teroris itu tidak baik), untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit tentang Islam dengan omong kosong ... Pemimpin Muslim sering merespons ketika teroris menyerang dengan mengatakan Islam adalah "agama damai" yang tidak memiliki peran dalam kekerasan”. Para pengeritik Muslim ini mengatakan demikian, padahal sebenarnya Amerika dalam menghadapi terorisme ini sangat khawatir akan terjadi lagi.

"Ada keanehan dan kenaifan atau terang-terangan yang langsung menganggap tidak ada masalah dari beberapa persoalan yang sangat kompleks ini". Demikian kata Saeed Khan, seorang pengajar di Wayne State University di Detroit.

Ada sesuatu masalah kecil yang menjengkelkan: Dia mengeluh dengan panjang lebar sehingga orang mengucapkan nama depan ASMA, diucapkan AH-SEE-MA. (Katanya) kapan hal itu harus diucapkan AH-S[EE]-MA. Apakah dia pernah mempertimbangkan untuk memasukkan vokal seperti "i" atau "e" di tengah, untuk mewakili suara vokal yang tidak tepat (dari pengucapan yang semestinya dari lidah Amerika)?

   Jadi saya berharap ini akan mendidik siapa saja yang selalu menganggap bahwa semua Muslim adalah pelaku kekerasan. Saya yakin bahwa perasaan seperti itu (dirasakan) -akan diterima- oleh berbagai masyarakat Kristen sedunia yang taat. Tapi saya tidak berpikir seperti itu, namun perlu semua masalah yang ada ditangani benar-benar, dengan itu meyakinkan orang Amerika supaya tidak perlu khawatir yang berlebihan seperti tersebut diatas. []

   Baik untuk itu mari ikuti tulisan pembedah buku “Red, White and Muslim” - The Story of Belief yang disampaikan secara tertulis dan lisan oleh salah seorang anggota pendiri IMAAM, Abdul Nur Adnan. Beliau lulus dari jurusan Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1966. Selama di Amerika bekerja di Voice Of America, Washington DC. □ AFM


BEDAH BUKU:
RED, WHITE AND MUSLIM
The Story of Belief
Pembedah: Abdul Nur Adnan


B
uku berjudul “Red, White and Muslim”, ini ditulis oleh Asma Gull Hasan, seorang pengacara Muslimah kelahiran Chicago. Ia menulis, menjelaskan berbagai pokok ajaran Islam yang dengan pandai ia rangkai dalam sebuah tulisan semi-otobiografi. Buku ini dipuji oleh orang-orang seperti Fareed Zakaria, [1] yang mengatakan “will rock your stereotype about Islam.” Reza Aslan, [2] penulis buku No God but God menganjurkan agar “every American should read.”

   Asma Gull Hasan lahir di Chicago dari seorang ayah yang terpaksa pindah ke Amerika karena di negri kelahirannya, India, ia diusir ketika Pakistan memisahkan diri dari negri Asia Selatan itu, dan seorang ibu yang asalnya dari bermacam-macam Negara dari India sampai Uzbekistan. Ayahnya seorang dokter yang semula tinggal di Chicago kemudian pindah ke kota kecil Pueblo, 100 miles dari Denver di Colorado. Asma mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Katholik, tetapi kepengacaraannya ia peroleh dari Sekolah Tinggi Hukum, Universitas New York dan Wellesley College. Ia lulus dengan baik, summa cum laude dan akhirnya menjadi pengacara, lawyer. Ia dalam tahun-tahun 2000-an sering muncul dalam saluran-saluran TV Nasional, menjadi pundit dalam Fox News atau acara CNN seperti Anderson Cooper 360o dan O Reily Factor.

   Pertama-tama saya ingin menganjurkan agar buku ini dibaca oleh para da’i yang ingin berda’wah di Amerika. Bukan karena isi yang menyangkut Islam dalam buku ini semuanya benar, tapi paling tidak dalam buku ini dikemukakan pertanyaan-pertanyaan apa yang mungkin diajukan oleh non-Muslim di Amerika, baik yang berniat baik, maupun yang berniat tidak baik.  Dan orang-orang yang berda’wah itu agar siap menghadapi “musuh” mereka bukan hanya orang-orang Amerika non-Muslim tapi kadang-kadang orang Islam sendiri.

Dua pandangannya yang mungkin kurang dapat diterima oleh mayoritas Muslim di Indonesia adalah:

   1. Ia, setidaknya sampai ia menulis buku itu, wanita karier Muslim yang tidak berjilbab. Dan ketika dalam sebuah seminar mengenai Islam ia menjadi seorang pembicara, seorang yang tampaknya Muslim (karena namanya Arab) mendekatinya dan mengatakan ‘how dare you call yourself a Muslim’ hanya karena ia tidak menutup rambutnya. Ia mempunyai alasan untuk itu, sayang alasannya tidak dikemukakan dalam buku ini.  Hanya dalam sebuah wawancara (yang bisa di google) ia mengatakan bahwa berhijab dan tidak berhijab itu baginya tidak penting, yang penting apa yang ada dalam hatinya (hampir sama dengan pendapat Quraisy Shihab, ya).

   2. Ada juga komentarnya, bahwa di akhirat nanti mungkin saja dia (yang Muslim) akan bertemu dengan sahabat karibnya (yang non-Muslim) di sorga. Ia kemudian mengutip Surat Al Baqarah, ayat 62: yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta beramal shalih, maka untuk mereka pahala mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran menimpa mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.”

Ayat ini bagi Asma menunjukkan orang-orang non-Muslim pun bisa diterima amal ibadah mereka oleh Tuhan. Sudah tentu pendapat mayoritas umat Islam mungkin sejajar dengan pendapat Buya HAMKA dan Prof Quraisy Shihab dalam kitab tafsir mereka. Mereka pada pokoknya mengatakan, tidaklah benar kalau orang kemudian menafsirkan ayat itu sebagai semua agama itu sama di mata Tuhan.  Kuncinya adalah pada “man āmana”, siapa yang beriman kepada Allah.  Dan iman kepada Allah, kata Buya Hamka, pada akhirnya harus juga beriman kepada semua rasul Allah, termasuk Nabi Muhammad dan kitab suci yang diturunkan, termasuk Al Qur’anul Karim.

Asma juga mengutip pendapat Karen Armstrong, mantan biarawan yang banyak menulis buku tentang agama, termasuk agama Islam (dan buku-bukunya itu biasanya dapat diterima oleh scholars Muslim), yang –katanya—mengatakan bahwa “Tuhan pada hari kiamat nanti akan mengampuni setan.” (Saya belum pernah mendengar ini). Ini barangkali sesuatu yang perlu klarifikasi.

   Kita boleh tidak setuju dengan pendapatnya mengenai masalah ini, tapi kita sedang menghadapi non-Muslim dalam suatu seminar, misalnya.  Kita dapat mengemukakan alasan-alasan kita sambil menambahkan “ada pula yang berpendapat lain.”

Penjelasan-penjelasan mengenai aspek-aspek pandangan Islam yang lain pada umumnya dapat diterima. Jawaban-jawabannya cukup cerdas, itulah mengapa saya menganjurkan agar para da’i kita membacanya, sekedar untuk bekal dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan public Amerika nanti. Buku ini pun dia tulis setelah ia menghadapi pertanyaan-pertanyaan public Amerika yang sebagian besar non-Muslim.

   Ada bagian yang menurut saya agak dramatis diceritakan dalam buku ini. Di halaman 119 diceritakan begini (saya kutip agak panjang):

Ketika aku untuk pertama kalinya membaca surat ke 4, ayat 11 dalam Al Qur’an dalam mempersiapkan diri diskusi dalam klas untuk mata kuliah  mengenai agama Islam di college, saya pikir ayat ini betul-betul tamparan pada sexism ku.  Ayat itu berbunyi: ‘Mengenai warisan untuk anak-anakmu, Tuhan memerintahkan agar anak laki-laki mendapat dua bagian dari anak perempuan.’ (4:11). Tunggu, apakah maksud ayat dalam Qur’an ini dua anak perempuan bernilai satu anak laki2? Apakah kecaman mengenai Islam tentang perempuan itu ternyata memang benar? Mengapa orang tuaku tidak pernah memberitahuku tentang ini? Dengan marah aku mengecam orang tuaku, yang selama ini memberitahuku mengenai hal-hal yang baik saja mengenai apa yang dikatakan oleh Islam tentang perempuan.

Paginya ketika aku memasuki ruang kuliah aku siap adu argumentasi, tetapi aku tidak yakin aku ini marah kepada siapa, yang jelas aku merasa dikhianati. Bagaimana mungkin aku akan melawan Tuhan? Aku berusaha tetap kalem sementara dosenku memulai kuliahnya, sambil berharap teman-temanku sesame mahasiswa tidak melototkan mata mereka ke arahku. Aku begitu marah, sampai aku merasa kulitku mau terbakar.

College-ku adalah college yang mahasiswanya semua perempuan. Teman-teman sekuliahku  tidak akan bisa menerima diskriminasi seperti ini, dan seperti yang sudah-sudah mereka akan mendatangiku untuk memperoleh penjelasan mengenai sesuatu yang bagiku tidak dapat dimaafkan mengenai Islam.Kalau bicara mengenai Perang Salib di sebuah sekolah Katholik OK-lah, tetapi masalah pembagian waris ini mempengaruhiku sebagai seorang perempuan. Kemungkinan aku akan harus berhadapan dengan tentara Kerajaan Romawi (dalam Perang Salib) jelas nol.  Tetapi kemungkinan aku akan memperoleh warisan adalah besar dan sekarang masalah ini akan dihadapkan ke pengadilan dengan Dewan Jury yang terdiri dari kawan-kawan ku sekelas…

Aku akhirnya berhenti merasa panik dan memusatkan perhatian kepada dosenku.  Ia memulai dengan mengatakan ayat ini tampaknya memang ‘sexist’. No kidding! Kataku dalam hati. Mengapa buang-buang waktu? Cepat-cepat saja bicara mengenai hal itu agar kita cepat sampai pembicaraan mengenai Inquisisi dan menyelesaikan kuliah ini cepat-cepat. Apa yang dikatakan oleh dosenku kemudian membuat aku betul-betul surprise. Dia mengatakan ‘ayat itu tidak seburuk seperti yang kita baca.’ Ia menjelaskan bahwa dalam ayat selanjutnya dikatakan seorang laki-laki harus menanggung semua kebutuhan rumah tangga, termasuk kebutuhan makan dan kebutuhan istrinya. Sebaliknya perempuan, tidak mempunyai tanggung jawab seperti itu dalam Qur’an. Uang yang ia miliki sepenuhnya miliknya di mata Tuhan. Tuhan tidak akan menghukumnya kalau dia tidak mau menggunakan uangnya untuk membeli makanan atau pakaian untuk anggota keluarga yang lain meskipun hal itu diperlukan. Jadi logika Qur’an itu adalah laki-laki seharusnyalah menerima warisan yang lebih dari perempuan karena ia akan harus menggunakan sekurang-kurangnya separuh penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga…Bahkan pendapat beberapa fuqaha , kalau istri minta disediakan pembantu atau perawat untuk mengurusi anak-anak suami harus memenuhinya dengan uangnya sendiri….Kalau perempuan dengan sukarela membantu dengan memberikan uangnya untuk kebutuhan rumah tangga, itu dianggap sebagai sedekah. “ Bagitulah “drama” dalam klas kuliah Asma.

   Akhirnya, Asma berkesimpulan: “setelah beberapa tahun kemudian aku mengambil kuliah Trusts and Estate, aku baru bisa mengapresiasi betapa komprehensifnya Qur’an itu. Bahkan di AS, dengan berbagai hukum dan kasus tentang waris-mewaris ini, (mereka) belum dapat mencapai kesederhanaan dan logika  hukum waris seperti dalam Al Qur’an.”

Berikut beberapa pandangan Asma mengenai wanita dalam Islam:
  • Bahkan dengan standard sekarang, Qur’an sangat progresif  mengenai masalah perempuan.
  • Qur’an adalah salah satu  dokumen historis pertama yang mengakui hak perempuan untuk memilih pasangannya sendiri. Juga perempuan bebas untuk mencerai suaminya.
  • Qur’an menginstruksikan kepada orang-orang mukmin untuk menghormati, bahkan hampir-hampir memuja ibu mereka.
  • Tanpa Khadijah, Islam tidak akan pernah ada (Islam would not exist). Aishah adalah cendekiawan Islam pertama.
  • Nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Amerika: Salah satu bab dalam buku ini yang menarik adalah yang berbicara mengenai beberapa nilai Islam (Islamic values) yang ia katakan sejajar dengan nilai-nilai Amerika yang utama (core American values). Judul bab yang membahas masalah ini adalah “Being Muslim Makes Me a Better American, and Being American Makes me a Better Muslim.” (Ke-Musliman Saya Menjadikan Saya Warga Amerika yang Lebih Baik – dan KeAmerikaan Saya Menjadikan Saya seorang Muslimah yang lebih baik). Atau Seorang Muslim yang baik adalah seorang warganegara yang baik. Bagaimana ini berlaku di Amerika?
  • Pertama-tama Asma menyatakan pendapat bahwa budaya lokal selalu mempengaruhi praktek keagamaan seseorang. Sebagian pengaruh itu tidak mempengaruhi pokok ajaran agama. Ia menyebut apa yang populer disebut FGM, Female Genital Mutilation, atau sunnat wanita.  Ini budaya lokal yang sudah ada sejak pra Islam. Dan prakteknya pun berbeda-beda.  Apa yang dilakukan di Negara-negara Afrika tertentu akan  berlainan dengan yang dilakukan di bagian dunia lain. Jadi orang harus bisa memisahkan mana yang betul-betul ajaran agama (Islam) dan mana yang kultural. Orang tidak akan bisa menemui ayat yang memerintahkan hal ini. (Saya pernah membaca, bahwa praktek ini memang tidak disuruh oleh Nabi, tapi juga tidak dilarang.)
  • Dalam hal perkawinan, yang pokok, yaitu nikah, menurut Islam di mana-mana sama. Tapi aspek-aspak lainnya (Asma menyebutnya “the colorful aspect”) bisa berlain-lainan. Acara perkawinan di India, misalnya, bagi Muslim nikahnya akan sangat berbeda dengan pernikahan para penganut Hindu. Tapi dalam hal-hal lain, pakaian yang dikenakan, makanan yang dihidangkan, tempo dan disain, acara perkawinan Muslim Pakistan mempunyai banyak kesamaan dengan perkawinan Hindu. (Demikian juga di Indonesia, bahkan di antara daerah satu dan daerah lain bervariasi, namun acara nikahnya sama).

   Menurut penulis buku ini, dari semua budaya di dunia, nilai-nilai Islam yang sejati seperti terkandung dalam Al-Qur’an dan kahidupan Nabi Muhammad SAW mirip dengan (beberapa) nilai yang dimiliki warga Amerika. “Nilai Islam dan nilai Amerika saling memperkuat satu dengan yang lainnya.” Katanya, Ia menunjuk sebagai contohnya misalnya kewajiban zakat, atau memberikan bantuan kepada orang lain adalah nilai-nilai Islam, tetapi juga nilai-nilai Amerika.

Al-Qur’an mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang memberi sedekah, baik pria maupun wanita, …. akan dilipatgandakan pahala mereka, dan mereka akan memperoleh pahala yang besar.” (QS Al-Hadid/57:18).

Menurut pengamatan Asma, di Amerika pun memberikan bantuan kepada mereka yang kurang beruntung sangat didorong (oleh karena itulah sumbangan dapat mengurangi pajak). Baik budaya Islam dan budaya Amerika keduanya mengajarkan kepada kita aktif dalam kegiatan masyarakat, bekerja keras dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. “Pada akhirnya,” kata Asma “menjadi warga Amerika yang baik tidaklah beda dengan menjadi Muslim yang baik.  Islam memvisikan sebuah masyarakat yang adil, dimana sesama warga saling menghormati dan menghargai, di samping diperlakukan dengan baik, begitu pulalah warga yang baik yang divisikan di Amerika ini.” Pernyataan begini (pendapat saya) dapat juga diterapkan pada masyarakat Indonesia.  “Islam mem-visi-kan sebuah masyarakat yang adil, di mana sesama saling menghormati dan menghargai, diperlakukan dengan baik, begitu pulalah warga yang baik yang di-visi-kan UUD kita.”

   Masyarakat yang baik yang diinginkan oleh para pendiri Amerika tidak jauh berbeda dengan masyarakat menurut visi Nabi Muhammad ketika beliau menggariskan apa yang oleh para sejarawan Muslim sekarang disebut sebagai “Konstitusi Madinah”atau “Piagam Madinah.”

Konstitusi Madinah – inilah yang sering mengejutkan orang yang baru mengenal sejarah Islam dan membandingkannya dengan sejarah negri ini. Nabi Muhammad SAW menulis konstitusi ini pada tahun 622, menyatakan hak-hak warga.  Konstitusi Madinah pada umumnya menyatakan bahwa masyarakat Madinah terdiri dari Muslim, Yahudi dan Penyembah Berhala (pagan). Orang Kristen belum ada di Madinah waktu itu. Konstitusi Madinah menyuruh agar para warga Madinah saling tolong-menolong dan mereka terikat sejak adanya konstitusi itu sebagai warga Madinah. Kebhinekaan agama ini sudah ditulis dalam piagam Madinah itu. Konstitusi Amerika, tulis Asma, disusun juga untuk menyatukan berbagai kelompok yang bersama-sama telah berjoang menghadapi penindas mereka. Motivasi kedua konstitusi itu tidak jauh berbeda.

   Kemudian, Asma mencurahkan perhatian pada khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW (khutbatul wada’) sebelum beliau meninggal dunia. Dalam khutbah itu, beliau mengemukakan persamaan semua manusia, hak yang telah melekat pada diri mereka sejak lahir. Nabi mengatakan:”semua orang berasal dari Nabi Adam dan Siti Hawa, orang Arab tidak lebih tinggi derajatnya daripada non-Arab,  demikian pula non-Arab tidak lebih tinggi daripada orang Arab. Orang berkulit putih tidak lebih tinggi derajadnya daripada orang berkulit hitam; orang hitam juga tidak lebih tinggi daripada orang kulit putih.  Perbedaan terletak pada tingkat ketaqwaan dan amal shalih mereka….olehkarena itu berlakulah adil satu sama lain..” Nabi mengakhiri khutbahnya dengan menandaskan bahwa “kalian adalah bersaudara dan kalian adalah setara.”

Khutbah terakhir Nabi (Khutbatul wada’) juga mengandung nilai-nilai paling penting dalam Islam, seperti nilai-nilai yang telah dikemukakan juga tentang hak-hak wanita dan hak milik. “Nilai-nilai itu adalah juga nilai-nilai Amerika,” tulis Asma. Nilai-nilai Amerika yang menyebutkan bahwa semua warga berhak memiliki property secara bebas, menggunakan hak-hak politiknya, memberikan suaranya dalam pemilu, pokoknya mereka adalah warga yang bebas.

   George Washington, Presiden Amerika yang pertama, sebenarnya - kalau mau- akan dengan mudah memaklumkan berdirinya sebuah monarki dan memaklumkan dirinya sebagai raja.  Demikian pula Nabi Muhammad. Tetapi mereka adalah orang-orang revolusioner, kata Asma penulis buku “Red, White and Muslim” ini. Washington tidak menghendaki menjadi raja, tetapi seorang pemimpin yang dipilih di antara rakyat banyak, seorang pemimpin yang secara demokratis dipilih oleh rakyat. Beberapa ratus tahun sebelum Washington lahir, seorang laki-laki lain menyatakan keinginan agar seorang pemimpin masyarakatnya juga dipilih secara demokratis (istilahnya waktu itu tentu bukan demikian, tetapi secara musyawarah). Menjelang beliau wafat pada tahun 632 beliau menginstruksikan kepada umatnya agar memilih pengganti dirinya di antara mereka sendiri. Menurut Asma, ini mungkin yang pertama kali di  Arabia dan di bagian-bagian dunia lain bahwa seorang pemuka masyarakat mendukung “the ideal of democracy.”  Asma juga menyebutkan bahwa “the Qur’an was a declaration of independence in itself,” firman Tuhan yang diturunkan ke bumi, yang menyatakan bahwa “all humankind is created equal.” Sekarang, baik umat Islam maupun warga Amerika (bisa juga saya tambahkan warga Negara Indonesia dan Negara-negara manapun di dunia) menghadapi tantangan untuk mewujudkan gagasan-gagasan yang telah digariskan dalam kitab suci dan UUD mereka.

   Penulis buku “Red, White and Muslim”, Asma Gull Hasan, akhirnya menjawab pertanyaan, setelah Peristiwa 9/11, apakah ia menganggap dirinya pertama-tama sebagai Muslim atau orang Amerika (Muslim first, or American first).  Pertanyaan yang ia jawab, barangkali dapat dikategorikan sebagai jawaban yang diplomatis, “I am both first at the same time.” Ia katakan seperti itu, karena menurutnya, menjadi Muslim dan warganegara Amerika bukanlah dua hal yang berlawanan, bahkan kadang-kadang saling overlap (tumpang tindih). Lalu dia tegaskan “menjadi Muslim menjadikan saya seorang warganegara Amerika yang lebih baik; dan menjadi warganegara Amerika menjadikan saya seorang Muslim yang lebih baik.”


PENUTUP

D
emikian uraian dari pembedah buku, Abdul Nur Adnan dari buku Red, White and Muslim, My Story of Belief oleh Asma Gull Hasan,  merupakan kisah perjalanan kepercayaan Islamnya sebagai warga Amerika. Disampai oleh pembedahnya selama 40 menit di forum Bedah Buku IMAAM. Namun beliau menyebutkan pula ada juga yang tidak disebutkan dalam pembahasan buku ini yang menarik dan penting seperti komentar-komentarnya yang tidak (dituliskan) disampaikan disini karena keterbatasan waktu dan sebaiknya langsung saja dibaca buku tersebut.

Disamping juga ada yang kontroversial (pro dan kontra) dalam buku itu misalnya tentang LGBT yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, setidaknya itulah pengetahuai keislaman yang disampaikann oleh Asma Gull Hasan sebagai kisah perjalanan kepercayaan Islamnya sebagaimana di lahir, tumbuh dan berkembang di Amerika.

   Pimpinan acara bedah buku ini adalah Imam Masjid IMAAM, Ustadz Fahmi Zubir sekaligus memberikan komentar atau pandangannya tentang ajaran-ajaran Islam baik berdasarkan dari Al-Qur’an maupun Hadits Rasul serta para Imam Kontemporer lainnya seperti Syeikh Yusuf Al-Qadharawiy, dan juga dari peserta bedah buku lainnya yang selanjutnya dapat dikuti selama 42:28 menit berikutnya.

Selanjutnya dapat diikutilah video youtube ini. 40 menit pertama penyampaian bedah buku oleh pembedah, setelah itu diskusi atau komen dari peserta dan kesimpulan oleh pimpinan acara bedah buku. □ AFM


Video forum Beda Buku IMAAM -klik--> WHITE, RED,AND MUSLIM


Catatan Kaki: 
[1] Fareed Zakaria. Fareed Rafiq Zakaria (lahir 20 Januari 1964) adalah seorang jurnalis dan penulis Amerika. Dia adalah pembawa acara CNN's Fareed Zakaria GPS dan menulis kolom mingguan untuk The Washington Post. Dia telah menjadi kolumnis untuk majalah mingguan Newsweek, editor Newsweek International, dan editor pada umumnya majalah mingguan Time. Pendidikan: Universitas Harvard (1993), Katedral dan John Connon School, Universitas Yale. Ia seorang warganegara Amerika- India.

[2] Reza Aslan (lahir 3 Mei 1972) adalah seorang penulis Iran-Amerika, intelektual publik, ilmuwan studi agama, produser, dan pembawa acara televisi. Dia telah menulis tiga buku tentang agama: Tidak ada tuhan selain Tuhan: Asal Usul, Evolusi, dan Masa Depan Islam, Melampaui Fundamentalisme: Menghadapi Ekstrimisme Keagamaan di Era Globalisasi, dan Zelot: Hidup dan Masa Yesus dari Nazaret. Aslan adalah anggota American Academy of Religion, Society of Biblical Literature, dan Asosiasi Studi Al-Qur'an Internasional. Dia juga seorang profesor penulisan kreatif di University of California, Riverside. Pendidikan Santa Clara University (BA); Universitas Harvard (MTS); Universitas Iowa (MFA); University of California, Santa Barbara (PhD).



Sumber:
Bahan tertulis dari Abdul Nur Adnan, Pembedah Buku 
https://en.wikipedia.org/wiki/ 
https://www.facebook.com/aguswirelesss/videos/1392315164205710/