Monday, October 10, 2016

Demokrasi dalam prespektif Barat dan Islam





Kata Pengantar

            Hari Sabtu yang lalu, 8 Oktober 2016, Pencinta Buku Imaam mengadakan acara bedah buku Demokrasi Kita buah tulis karya Mohammad Hatta (Bung Hatta) seorang ko-proklamator, demokrat, dan Wakil Presiden RI yang pertama. Sebuah tulisan kekecewaannya kepada Bung Karno dan politisi tahun 50-an. Karena perkembangan demokrasi sampai sekarang ini pun notabene sama yang dituliskannya, maka diangkatlah buku itu sebagai bahan dasar kajian demokrasi pada umumnya.

            Dalam pembahasannya muncul adanya keberatan Demokrasi yang dianggap tidak kompatibel dengan Islam. Yang satunya tidak, malah menyebutkan ia dengan mengacu kepada kata Syuro (dalam Al-Qur’an) yang kompatibel dengan demokrasi. Sementara pengantar kepada uraian pokok isi buku mengatakan dalam pembahasan Demokrasi atau apa nama lainnya jangan dulu dikaitkan dengan Demokrasi sebagai prakteknya yang banyak menyimpang. Mari kita kaji dulu demokrasi sebagai nilai ideal yang lebih baik dari Oligarki seperti Diktator, Monarki Absulut, atau Tirani, bahkan Kudeta, kalau tidak kita menjadi pesimis kepada tegaknya Demokrasi yang sudah menjadi trendy dikalangan mayoritas anak muda negara berkembang, apalagi kalau dikatakan Demokrasi yang tidak kompatibel dengan Islam.

            Untuk menambah jelas pengertian Demokrasi dan (Demokrasi dalam) Islam. Mari ikuti paparan tajuk dibawah ini. AFM



DEMOKRASI DALAM PRESPAKTIF BARAT DAN ISLAM


PENDAHULUAN


D
emokrasi merupakan salah satu isu global yang terus berkembang hingga saat ini, perkembangan ini kemudian menjadikan wacana demokrasi semakin variatif  dan dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada wacana perkembangan pemikiran demokrasi di dunia Barat dan implikasinya terhadap Islam dengan memetakan beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang dibangun oleh masing-masing tokoh tersebut.

            Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 Sebelum tahun Masehi. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.

            Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

            Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

            Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

            Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.

Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut. [1]



DEMOKRASI DALAM PANDANGAN BARAT

            Demokrasi dalam pandangan Barat tidak bisa dilepaskan dari konteks historis, karena konsep demokrasi sendiri memang berasal dari Barat yang kemudian berkembang menjadi beberapa fase, yaitu: Fase Klasik; Fase Pencerahan; Fase Moderen. Fase-fase ini akan dipaparkan dibawah ini.

Fase Klasik

            Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikuasai para Tyrants (Tirani) Autocrats (Monarchi Absolut) untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para Autocrats dan Tyrants.

            Dari buah pikiran merekalah  prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the Philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.

            Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60 ribu - 80 ribu orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.

Fase Pencerahan

            Fase Pencerahan (abad 15 sampai awal 18). Dalam fase ini adalah Demokrasi merupakan gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan Liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis.

            Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.

Fase Modern

            Pada fase modern (awal abad 18-akhir abad 20) ini dapat disaksikan dengan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khususnya antara kapitalisme dan komunisme.

            Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi Parlemen (Perwakilan) modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.

            Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar.

            Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.

         Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan blok Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kendatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.

Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia.

       Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yang memiliki pengaruh kekuasaan.

Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh, demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami persoalan yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus mengalami penyesuaian dan tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.

            Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun praksis. Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela lingkungan, dsb. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan AS.

            Indonesia sedang dalam proses tranformasi dari sistem otoriter menuju demokrasi sebagaimana dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi. Tak terelakkan lagi, diperlukan kemampuan dari para pekerja demokrasi untuk mencari varian demokrasi yang compatible dengan konteks yang dihadapi. Pemahaman tentang perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi dari berbagai era dan wilayah dunia akan sangat membantu dalam usaha tersebut. [2]


DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM

            Esposito dan Piscatori, memetakan wacana pemikiran politik Islam terhadap demokrasi menjadi tiga aliran: Pertama: Aliran pemikiran Islam yang menolak konsep demokrasi; Kedua: Aliran yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi mengakui adanya perbedaan; Ketiga: Aliran yang menerima konsep demokrasi sepenuhnya. [3]

Pertama Aliran Menolak Konsep Demokrasi.

            Bagi kelompok yang menolak demokrasi beranggapan bahwa adalah impossible jika Islam memiliki kesamaan dengan demokrasi. Mereka berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan. Beberapa ulama yang berpandangan demikian antara lain adalah, Syaikh Fadillah Nuri, Thabathabai, dan Sayyid Qutb. Bagi Syaikh Fadillah Nuri, salah seorang ulama Iran, satu kunci gagasan demokrasi yaitu persamaan semua warga negara adalah impossible dalam Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi, misalnya, antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya dan miskin, dan antara faqih (ahli hukum Islam) dan pengikutnya. [4] Selain itu, ia juga menolak legislasi oleh manusia. Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan. Dalam Islam tidak ada seorangpun yang diizinkan mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian dari demokrasi, karenanya bertentangan dengan Islam. dalam keyakinan Syaikh Fadillah Nuri, tampaknya manusia hanya bertugas melaksanakan hukum-hukum Tuhan. [5] Sayyid Qutb, Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang gagasan kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang terhadap yang lainnya. Mengakui kekuasaan tuhan berarti melakukan pertentangan secara menyeluruh terhadap seluruh kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem, dan kondisi. Agresi menentang kekuasaan Tuhan di atas bumi merupakan suatu bentuk jahiliyah (kebodohan pra Islam), sambil menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, ia percaya bahwa syari’ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem moral sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya. [6]

Kedua: Aliran Menerima Demokrasi Tapi Bukan Demokrasi ala Barat.

            Kelompok yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam tetapi mengakui adanya perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh Maududi di Pakistan dan Imam Khomeini dari Iran, serta beberapa pemikir Islam lainnya. Abu ‘Ala Maududi misalnya berpandangan bahwa ada kemiripan wawasan antara demokrasi dengan Islam, seperti keadilan, (QS. asy-Syurā: 15), persamaan (QS. al-Hujurāt: 13), akuntabilitas pemerintahan (QS. an-Nisā’: 58), musyawarah (QS. asy-Syurā: 38), tujuan negara (QS. al-Hajj: 4), dan hak-hak oposisi (QS. al-Ahzab: 70). Akan tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa dalam sistem Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan rakyat mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan (pemeintahan, bernegara dan berbangsa) diterapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah di gariskan oleh hukum-hukum Ilahi. [7] Khomeini mempunyai pandangan lain terhadap demokrasi, menurutnya demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi liberal, Ia meyakini bahwa kebebasan mesti dibatasi dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan di dalam batas-batas hukum Islam dan konstitusi, dengan sebaik-baiknya. [8] Konstitusi Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep wilayatul faqih mencerminkan bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam yang bersumber pada hukum agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan sebuah negara yang secara prinsipil menganut sistem demokrasi.

Ketiga: Aliran Yang Menerima Demokrasi Sepenuhnya.

         Kelompok yang menerima sepenuhnya konsep demokrasi memandang bahwa sejatinya di dalam diri Islam sangat demokratis karenanya menurut mereka Islam menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir yang masuk dalam kategori kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain Haikal dari Mesir, Rashid al-Ghannouchi - pemikir politik asal Tunisia, serta Bani Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran.

       Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam, menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip ijma’ (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah. [9]


PENUTUP

     Nampaknya, entah itu di kalangan Barat maupun Islam memiliki perbedaan berikut persamaan dalam mengartikan demokrasi, dan terlepas dari itu semua, pada tataran konsep, memang apapun sistem politik yang digunakan dalam menjalankan sebuah roda pemerintahan dan negara pada dasarnya adalah ideal dan baik, begitu pun dengan demokrasi, demokrasi memang pada tataran idea dan konsepnya merupakan sebuah sistem politik yang dianggap terbaik dari sistem politik yang ada, namun pada tataran praktis para demokrat yang hidup di alam demokrasi tersebut terkadang melenceng dari koridor demokrasi yang ada, dengan mengkhianati konsep-konsep demokrasi yang ideal tersebut, yang mesti dikedepankan kemudian adalah komitmen dalam menjalankan sebuah sistem politik, dengan mengikuti koridor-koridor yang ada, apa pun itu sistemnya, termasuk demokrasi.

    Demikianlah uraian demokrasi dan perkembangannya di Barat dan Pandangan Demokrasi dalam Islam yang telah diuraikan sangat baiknya dan jelas dari para akhlinya. Prinsip-prinsipnya bersifat universal dan pandangan-pandangan dari Barat yang bermacam macam itu dipandang perlu sempurnakan sesuai dengan kaidah-kaidah ajaran Islam sebagai yang dipaparkan dalam kelompok-kelompok pikiran para pemikir Islam dalam hubungan antara Demokrasi dan Ajaran Islam yang terbagi dalam tiga kelompok aliran pemikiran.

      Dari ketiga kelompok ini, sesuai dengan perkembangan zaman, kelompok pemikiran pertama, kedua dan ketiga bisa menjadi landasan dan bahan pemikiran pengembangan Demokrasi dalam Islam.

      Selanjutnya, mengingat adanya dengan variable-variable golongan suku dan paham pemikiran dan agama-agama yang ada dalam suatu negara.  Tentunya dalam pengembangannya - dengan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip ajaran Islam – variable-variabel tersebut diatas perlu diberi tempat yang layak, karena ini adalah wilayah hablum minan nās (ibadah ghaira mahdah). Dalam hal ini Islam sebagai agama dakwah dan rahmatan bagi segenap manusia dan alam semesta (rahmatan lil ‘ālamīn) memberi jaminan hidup dan haknya sebagaimana mestinya. Wallahu A`lam Bish-Shawab.

     Insya Allah bersambung kepada tulisan-tulisan berikut yang bertemakan dengan demokrasi dan syuro akan menyusul seperti: Pengertian Syuro dan Demokrasi; Syuro dalam pandangan Islam dan Demokrasi; Sistim Masyarakat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Billahit Taifiq wal-Hidayah. AFM



Catatan Kaki:

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
[2] Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005), cet. III, hal. 127-130
[3] John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi”, dalam Jurnal Islamica, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, No. 4 April-Juni 1994, hlm. 19-21.
[4] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm 47-48 ; Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38-39.
[5] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis…, hlm. 48.
[6] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis…, hal 48.
[7] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis…, hal. 49
[8] Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan), 2002, Cet. I, hal. 141.
[9] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis…, hal. 58-59


Daftar Pustaka

Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah), 2005, cet. III
John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi”, dalam Jurnal Islamica, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, No. 4 April-Juni 1994,
Kamil,Sukron Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2002
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1999
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan), 2002, Cet. I,
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

Sumber:
https://miftah19.wordpress.com/2011/01/06/demokrasi-dalam-perspektif-barat-dan-islam/