Thursday, August 25, 2016

Good Morning Mr Paul



 

Kata Pengantar

Pada hari Sabtu di ruang perpustakaan IMAAM CENTER, Silver Spring, Maryland, disibukkan oleh acara bedah buku yaitu tanggal 20 Agustus 2016.  Buku yang dibedah berjudul “Good Morning, Mr. Paul”, nama pengarangnya Paul Burghdorf (PB) yaitu Mr. Paul sendiri. Oleh pembahas buku ini diberi tema “Pengalaman Seorang Relawan Peace Corps di Indonesia”
PB bertugas di Indonesia sebagai anggota Peace Corps yang bahasa Indonesianya disebut sebagai “Relawan Pembangunan”. PB diutus oleh pemerintah Amerika sebagai pelatih olahraga dalam rangka Olympic Games 1964 di Tokyo, Jepang.
 Uraian pembahasan dari kisah relawan pembangunan ini dapat diikuti dalam blog IMAAM BOOK DISCUSSION. Mari ikuti pembahasannya seperti tersebut dibawah ini. Selamat menyimak. □ AFM

           
PENGALAMAN SEORANG RELAWAN
PEACE CORPS DI INDONESIA
Oleh: Abdul Nur Adnan, nara sumber

K
ita bisa melihat buku ini dari berbagai perspektif.  Kita bisa melihatnya, sebagai pengalaman seorang anak muda dengan segala khayalan idealnya, tapi menemukan kenyataan yang berlainan.  Kita bisa juga melihatnya sebagai gambaran keadaan, ketika Indonesia penuh dengan hingar bingar revolusi yang belum selesai, ganyang sana ganyang sini, melupakan kewajibannya untuk mensejahterakan rakyatnya. Bisa juga kita lihat dari sudut hubungan Indonesia-Amerika pada tahun-tahun “vivere pericoloso” yang sedang mengalami titik tinggi, atau secuil sejarah alat diplomasi Amerika yang dicanangkan oleh Presiden John F. Kennedy pada tahun 1960-an yang masih terus berlanjut sampai sekarang (th 1960: 17 orang, sekarang: 119 orang; dimulai lagi sejak 2011. Seluruhnya: 310)
            Kisah dalam buku ini adalah kisah seorang anak muda, yang belum lulus dari college, tempat ia belajar Bahasa Inggris, dan menjadi pelatih olahraga (coach). Pidato Presiden John F. Kennedy dalam inaugurasinya tampaknya sangat berpengaruh dalam dirinya, terutama kata-kata “Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country!”. Iya, ya apa yang dapat aku lakukan untuk negriku? Pertanyaan Paul, si anak muda dari California itu.  Ketika Presiden Kennedy meluncurkan sebuah program baru, Peace Corps (yang di Indonesia diubah menjadi Sukarelawan Pembangunan), Paul merasa menemukan jawabannya. Ia tidak ragu lagi, mendaftarkan diri, karena ia juga sudah lama berangan-angan menjadi “drifter” yang berkelana melihat dunia.  Peace Corps (PC) adalah program, dimana Pemerintah Amerika mengirim warga mudanya dari berbagai keahlian ke Negara-negara yang bersedia menerima mereka, untuk membantu negri-negri yang menerima mereka itu melatih warga mereka dalam berbagai bidang yang mereka butuhkan.
            Indonesia waktu itu (th 1964) membutuhkan para pelatih olahraga yang akan dikirim ke Olimpiade Tokyo dan juga untuk mengajar Bahasa Inggris. Paul adalah seorang di antara 16 orang yang dikirim ke Indonesia, berdasarkan persetujuan antara Presiden Kennedy dan Presiden Sukarno, ketika yang terakhir itu melawat ke AS. Sebelum berangkat, tentu saja mereka disiapkan terlebih dulu.  Belajar Bahasa, kebudayaan Indonesia dan keadaan geografis negri itu, di antara yang harus diketahui terlebih dulu. Ini dikursuskan di Universitas Iowa selama beberapa hari. Satu hal yang tampaknya tidak terlalu baik dipersiapkan bagi mereka, yaitu mengenal dengan baik hubungan Indonesia-Amerika yang sedang memburuk waktu itu dan situasi politik dalam negri Indonesia, dimana PKI sedang mempersiapkan kudeta. Karena itu tidak mengherankan kalau mereka terkejut ketika tiba di Kemayoran dan disambut dengan demo oleh Pemuda Rakyat yang berteriak-teriak “Yankee, Go Home!” sambil melempari bis mereka dengan batu. Tapi mereka dikawal pasukan keamanan Indonesia, jadi aman.
            Paul dan seorang temannya ditempatkan di Palembang. Mereka menjumpai bahwa tuan rumah (Pemerintah Indonesia) ternyata tidak siap menerima mereka. Mereka dibiarkan berbulan-bulan tanpa program, sehingga mereka bertanya-tanya: Bukankah sudah ada kesepakatan antara Presiden Sukarno dan Presiden Kennedy mengenai hal ini? Untuk sementara mereka ditempatkan di sebuah “hotel”, bernama Swarna Dwipa. Paul harus membiasakan dengan toilet yang terdiri dari dua bata disemen di kanan-kiri sebuah lubang. Tukang bersih kamarnya, mengepel lantai kamar mandi dan kamarnya, dan kain pel itu dipakai juga untuk membersihkan alat-alat makan. Dan meskipun kamar itu tampaknya terlindungi, tapi pakaian mereka berkali-kali dicuri.
            Dan kecoak di rumah seorang perwira tentara yang akhirnya mereka tempati. “Tidak tahu lagi berapa kecoak yang kami bunuh tiap malam,” katanya, “Ratusan, ya ratusan!” (Masak, sih?)
            Pengalaman di kantor pos pun, membuat kita bertanya, begitukah keadaan sebenarnya, karena di Kantor Pos Yogya waktu itu, keadaannya jauh lebih baik.      Pengalamannya begini: untuk mengeposkan sepucuk surat, dia harus datang ke Kantor Pos.  Antri untuk menimbang surat, kemudian antri lagi di barisan lain untuk beli prangko dan antri di tempat lain untuk mengeposkan.
            Karena tugas coaching tidak begitu laku (Palembang is not ready), akhirnya Paul menerima tawaran untuk mengajar Bahasa Inggris di Universitas Sriwijaya, menggantikan pengajar sebelumnya dari Selandia Baru yang pulang. Ini terjadi pada saat kaum komunis meningkatkan serangannya terhadap apa pun yang berbau Amerika. Buku-buku di perpustakaan USIS dibakar, dan “Ganyang Malaysia, Ganyang Kaum Imperialis Inggris dan Amerika!” terdengar dimana-mana. Kemudian ada orang-orang tak dikenal yang membisikkan kepada Paul “leave the university, or else!”  Poster pun diacung-acungkan: “Kick Mr. Paul from the University!” Mahasiswa-mahasiswa pun diintimidasi agar jangan mengikuti kuliah Mr. Paul. Tetapi para mahasiswanya tampaknya tidak peduli dengan intimidasi itu.
           Pengalaman ketika mengadakan piknik dengan para mahasiswanya. Paul ingin ke “kamar kecil.” Parr mahasiswanya sambil cekikikan menunjukkan kearah sungai. Di bagian paling sempit sungai itu ada “jembatan” darurat, dari papan yang tidak begitu kuat. Tampaknya disitulah orang pada membuang hajat. Paul agak kagok, tapi dia jongkok juga “in my best Asian style.” Naas, papan itu patah dan Paul jatuh ke comberan kakus itu. Yuck, tapi para mahasiswanya malah pada tertawa.
            Pengalaman lain yang “menakutkan” tapi lucu.  Ia ditangkap karena sepeda motornya tidak ada nomer platnya, rupanya hilang. Yang menangkap polisi berperawakan kecil (130 pounds), sedang Paul orangnya besar (220 pounds). Polisi mau membawa Paul ke kantor polisi, dengan sepeda motor Paul. Sang polisi yang mau nyopir, dan Paul duduk di belakang.  Karena perbedaan berat badan itu, motornya  berat ke belakang dan sulit bergerak maju.  Orang-orang yang melihat pada tertawa.  Akhirnya polisinya mau duduk di belakang. Sampai di kantor polisi, komandannya tidak mau menyalahkan bawahannya. Ia menyuruh Paul masuk sel, dan baru akan dibebaskan setelah ia mendapatkan nomer plat baru. Dalam sel, sang komandan membawa karton ukuran plat motor dan spidol, dan menyuruh Paul menulis nomer plat sepeda motornya. Selesai ditulis, masalahpun selesai dan dia dibebaskan. Paul merasa mendapat pelajaran-hidup: ”respecting elders, protecting other’s dignity, and honoring those in authority.” Pelajaran dasar untuk dapat selamat dimana saja, termasuk di Indonesia, katanya.
            Dua pengalaman lain:
1. Acara Pembukaan Pabrik Pupuk Sriwijaya, dimana ia berdansa dengan Megawati, yang waktu itu masih seorang gadis muda.
2. Acara lain, Pesta Kebun Tahunan Gubernur Sumatra Selatan. Paul diundang dan “berjuang” dengan santap daging.  Ketika ia berusaha memotong dagingnya dengan sendoknya, seperti dilakukan tamu-tamu lain, tiba-tiba dagingnya meloncat dan jatuh persis pada dada Bu Gubernur yang cantik. Apa yang harus ia lakukan?
            Ada juga saat-saat yang menyenangkan, yaitu ketika dia mendapat kesempatan untuk vakansi di Jawa dan Bali.  Bandung dengan udaranya yang nyaman dan Bali belum begitu banyak turis. Ia juga bertemu dengan seorang gadis Semarang, yang baru kembali dari Amerika Serikat (AS) dan kemudian menjadi mahasiswa di Universitas Diponegoro (Undip).  Tampaknya ia jatuh cinta, tapi tidak bisa melanjutkan percitaannya itu karena beda budaya (agama?) dan masalah lain.
            Setelah di Indonesia, Paul kemudian kembali ke California dan selanjutnya ke Kenya dan Skotlandia, dan akhirnya pada tahun 2011, pada usia 71 tahun, Paul kembali ke Indonesia dengan istrinya Marilyn.  Kali ini mereka di Bandung mengajar Bahasa Inggris di Bandung Alliance International School.
            Sayang, Paul tidak menceritakan apakah dia bernostalgia juga ke Palembang, melihat “perkembangan” yang terjadi di kota pertama di Indonesia yang dulu memberikan pengalaman “pahit.” Kalau ya, tentu baik untuk diceritakan apakah ada perkembangan selama 50 tahun lebih ini, sehingga pembaca non-Indonesia tidak akan mendapat gambaran mengenai Indonesia seperti digambarkannya pada masa Vivere Pericoloso (Living Dangerously) dulu. Tentunya sudah sangat beda.  (Kita Google untuk Hotel Swarna Dwipa itu sekarang ternyata sebuah hotel mewah). [20-8-2016/Abdul Nur Adnan]

Monday, August 22, 2016

M Natsir di Panggung Sejarah Republik




Kata Pengantar

Pada hari Sabtu, tanggal 14, bulan Mei 2016, di  IMAAM CENTER, Silver Spring, mengelenggarakan bedah buku “M. Natsir di Panggung Sejarah Republik”. M. Natsir, nama penjangannya Mohammad Natsir adalah seorang da’i juga sebagai politisi yang berkecimpung dalam kegiatan bermasyarakat (dakwah) sekaligus menjabat tugas-tugas pemerintahan seperti pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan, kemudian sebagai Perdana Menteri.
Buku M. Natsir ini berisikan hal-hal seperti itu yang di kumpulkan dari pendapat (hasil penelitian) oleh para pakar-pakar ilmu-ilmu social yang sesuai dengan bidang yang menjadi pembahasannya. Mari ikuti pembahasannya seperti tersebut dibawah ini. Selamat menyimak. □ AFM


“M. NATSIR DI PANGGUNG SEJARAH REPUBLIK.”
Oleh: Abdul Nur Adnan, nara sumber


K
etika Pak Natsir (17 Juli 1908 - 6 Februari 1993) ber”usia” 100 tahun, pada tahun 2008, sebuah panitia mengadakan perhelatan akademik besar-besaran. Beliau dikuliti habis dalam berbagai seminar. Dari keterkaitan beliau di Bidang Pendidikan di Universitas Islam Bandung oleh Prof Dr. Bambang Sudibyo; Bidang Politik Da’wah di UIN Syahid oleh AM Fatwa; Bidang Ekonomi dalam Kabinet Natsir di Batam oleh Aida Ismeth, anggota DPR; Bidang Pemikiran Politik di  UII Yogyakarta oleh  Hemengku Buwono X; Masalah PRRI di Universitas Islam Riau; Gerakan Da’wah di Universitas Muslim Makasar oleh Menteri Agama Maftuh Basuni dan Mengenai Mosi Integral, yang melahirkan NKRI di Fisipol, Universitas Soedirman, Purwokerto.  Kemudian ada satu lagi seminar untuk menyambut hari bersejarah itu, yaitu Seminar “Kedudukan M. Natsir dalam Sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Seminar terakhir itu diikuti oleh Sejarawan - Dr. Anwar Gonggong, Politikus - Sabam Sirait, Sarjana Politik - Dr. Burhan D. Magenda, Pakar Hukum - Dr. Yusril Ihza Mahendra, dan Pendidikan - Malik Fajar, MA. Hasil seminar terakhir, yang dikatakan sebagai puncak acara itu, diterbitkan dalam bentuk buku tipis berjudul “M. Natsir Di Panggung Sejarah Republik,” (MNDPSR) diterbitkan oleh Penerbit Republika pada tahun 2008 yang lalu. Saya tidak tahu apakah seminar-seminar lainnya yang saya sebut tadi juga diterbitkan.  Kalau tidak, alangkah sayangnya, karena kalau diterbitkan akan menjadi pelengkap yang sangat dibutuhkan, untuk menjawab banyak pertanyaan yang masih menggantung dari buku ini.


            Pada tahun 2008 itu, IMAAM juga mengadakan seminar tentang Bapak M. Natsir, dan saya sendiri diminta ikut memberikan makalah. Makalah saya waktu itu berjudul “Pak Natsir, Negara Islam dan Panca Sila.” Masyumi yang dipimpin Pak Natsir ketika sidang Majelis Konstituante itu, memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara (maksudnya bukan sebagai Negara Islam atau Teokrasi), dan menyatakan bahwa Panca Sila itu, sebagai pedoman yang disusun oleh orang-orang Islam, tentu tidak bertentangan dengan Islam, tetapi Panca Sila bukanlah Islam itu sendiri. Namun, beliau tidak anti Panca Sila, masih memberi ruang untuk kompromi, meskipun hal itu tidak bisa dilakukan karena keburu Bung Karno mengambil langkah-langkah otoriter.

            Selama ini saya mengira, saya sudah mengetahui semua tentang Pak Natsir. Tetapi ketika saya membaca buku MNDPSR ini, ternyata masih ada hal-hal baru yang belum saya ketahui, atau mungkin saya sudah lupa. Misalnya, seperti dikatakan oleh moderator seminar ini, Dr. Taufik Abdullah, bahwa ternyata banyak pidato Bung Karno sebelum tahun 1950 itu yang menulis adalah Pak Natsir.


            Kemudian dari makalah Dr. Burhan D. Magenda, saya temukan antara lain hal-hal sebagai berikut:

● Biografi Pak Natsir pada tahu  2008 itu sudah ditulis oleh Indonesianis di Universitas Cornell, George McTurnan Kahin dan istrinya, Audrey Kahin.  Tapi baru selesai 70-80%, George keburu meninggal, pada tahun 2000.

● Pak Natsir seorang nasionalis sejati.  Terbukti waktu beliau menjabat Perdana Menteri, mengangkat orang Jawa sebagai Gubernur Sumatra Tengah, Ruslan Mulyoharjo, atas restu Pak Natsir, karena beliaulah Pak Ruslan bisa diterima di Sumatera.

● Perbedaan antara Bung Karno (BK) dan Mohammad Natsir (MN) ada tiga. Pertama, dalam masalah Irian Barat, BK garis keras, MN garis moderat seperti apanya tidak dijabarkan oleh Burhan Magenda. Kedua, masalah sistem demokrasi, presidential atau parlementer. MN pro presidensial dengan peran tertentu kepada partai-politik. BK, demokrasi terpimpin, terpengaruh oleh para aristokrat Jawa, yang menganggap rakyat masih terlalu rendah pendidikannya, jadi diperlukan demokrasi “with leadership.” Ketiga, BK otoriter, MN demokrat.

● PRRI: MN dan Syafruddin Prawiranegra (SyP), bergabung dengan PRRI itu karena terror yang terjadi di Jakarta, sejak percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Cikini, dimana GPII disangkut-pautkan. MN dan SyP  sebenarnya tidak setuju dengan cara kekerasan yang dilakukan oleh kelompok militer (Ahmad Husein dan Simbolon), yang mengirim ultimatum kepada Presiden Sukarno. MN percaya pada cara-cara demokratis dan damai.

Masyumi dan Militer: Sesudah Orde Baru, rehabilitasi Masyumi gagal karena militer tidak setuju.  Militer itu melihat sesuatu secara hitam-putih. Dalam politik ada abu-abunya. Cara berpikir militer harus diubah, politik itu berbeda dengan perang.

Da’wah: Gerakan da’wah MN itu “teduh, damai dan toleran.” Dia menjaga hubungan baik dengan tokoh-tokoh dari agama lain sperti Tambunan, TB Simatupang. Karena itu, di bawah bimbingan MN, gerakan da’wah tidak melahirkan radikalisme.


            Dari sejarawan Dr. Anhar Gonggong antara lain dari hal-hal sebagai berikut:


● BK dan MN itu mempunyai perbedaan pandangan, tapi perkawanannya tetap kuat. Orang berbeda pendapat tapi tetap mempertahankan etika.  Ini unsur penting dalam “membaca” Pak Natsir. Etika politik seperti ini sekarang mulai hilang.

●RI didirikan dengan dialog. Kalau ada senjata bicara “itu tidak pantas.”
 
●MN itu menjalankan politik dengan etika.

●Sudah 4 macam demokrasi kita coba kembangkan, semua gagal.  Mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Panca Sila (yang ujung-ujungnya diktatur juga) dan demokrasi yang sekarang ini. Agar berhasil harus ada etika, tanpa etika hanya akan timbul demokrasi yang kacau.

● PRRI: tidak jelas mengapa MN bergabung dengan “pemberontak,” karena sebenarnya beliau adalah orang yang tidak suka kekerasan. Lagipula pembrontakan itu tidak demokratis. Tampaknya dia terjepit, antara PKI yang semakin kuat dan dekat dengan BK, Nasution yang tidak memberi jalan keluar dan BK yang semakin keras sikapnya. Ini tragedi bagi MN, tragedi yang berlanjut semasa Orba, yang menutup kesempatan bagi beliau untuk berkiprah lagi di bidang politik. Namun beliau kemudian “menempuh jalan intelektual – kembali menjadi seorang da’i yang membangun demokrasi.” Jadi MN terus berjuang, dia memang seorang pejuang.

● “Sejak Orba tidak ada lagi pejuang.  Yang ada, hanyalah penikmat-penikmat kemerdekaan.”


            Dari Sabam Sirait/Parkindo/PDI antara lain dari hal-hal sebagai berikut:

● Mengenai Mosi Integral: Mohammad Natsir memang dari permulaan percaya bahwa negara-negara bagian bikinan Belanda itu akan bersedia untuk  bergabung dengan “Negara Bagian” RI, untuk mendirikan kembali NKRI.  Sabam Sirait (SS) menyinggung Negara Bagian Sumatera Timur, yang waktu itu mendapat tentangan dari “rakyat”nya sendiri. Negara Sumatra Timur ini mempunyai lagu kebangsaan sendiri (ini baru bagi saya). Untuk menggoalkan mosinya itu, MN berhasil menyatukan partai-partai untuk berdiri di belakangnya.

● SS juga mengharapkan sistem pendidikan yang akan membuat anak didik sadar siapa pemimpin-pemimpin mereka, karena ia bertanya pada 3 orang seperti dari seorang pengacara muda, seorang penyanyi terkenal, seorang bakal calon bupati, ternyata mereka tidak kenal siapa itu MN.

● SS mendukung usul untuk mengangkat MN sebagai Pahlawan Nasional, tetapi sebenarnya ia tidak setuju kalau gelar seperti itu harus diusulkan atau diperjuangkan.  Inisiatif harus datang dari pemerintah (negara), yang dengan teliti harus memeriksa riwayat hidup seseorang, kemudian memutuskan apakah orang itu pantas mendapat gelar “Pahlawan Nasional”.  (Tetapi pada tahun 2008 itu juga, Presiden SBY membuat SK yang memberi gelar Pahlawan Nasional kepada MN.)


            Malik Fajar (masalah Pendidikan) antara lain dari hal-hal sebagai berikut:

● MN tidak suka pendidikan dipilah-pilah menjadi pendidikan Barat dan Timur. Begitu pula dalam memahami agama (Islam Timur Tengah, Islam Nusantara?).

● Dalam masalah pendidikan Islam, MN masih melihat terlalu banyak tekanan pada masalah fiqh.  Padahal fiqh itu hanya 25% dari ajaran Islam, sedang yang 75% menyangkut masalah peradaban.

● Menurut Pak Malik Fajar, sekarang ini ada penyempitan pemahaman tentang pendidikan. Yang dipersoalkan adalah keterbatasan dana. Seharusnya orang lebih memanfaatkan  sumber-sumber daya, terutama sumber-sumber kebudayaan  yang cukup memiliki potensi untuk kemajuan pendidikan Islam dan peradaban. (Kurang jelas apa yang dimaksud).


            Yusril Ihza Mahendra (YIM) antara lain dari hal-hal sebagai berikut:

● MN, seorang tokoh pergerakan Islam modern, yang ciri-cirinya adalah  berpendapat Islam adalah ajaran universal yang abadi, namun ajarannya yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, bangsa dan negara hanyalah prinsip-prinsipnya saja, tidak masuk ke detail-detailnya. Prinsip itu dapat ditafsirkan sesuai dengan kenyataan sosial dan politik sebuah masyarakat. Jadi bisa berubah mengikuti tuntutan zaman.

● Menurut YIM, MN berpendapat Islam itu bukan sistem, tapi ajaran yang dapat ditafsirkan untuk membentuk sistem. Karena itu MN sangat terbuka sebelum Indonesia merdeka.  Sistem dapat kita pinjam dari Rusia, Finlandia atau Swiss, asal sesuai dengan kepentingan masyarakat kita. Sistem itu dapat terus diperbaharui sesuai dengan tantangan (jaman), sehingga mungkin saja sistem kita akan berlainan dengan sistem yang ada di masyarakat Muslim lainnya. Pendapat MN ini bertolak dari realitas masyarakat Indonesia, dimana dia berada di tengahnya.  Karena itu pandangannya berbeda dengan Sayid Qutub dan Maududi, yang menurut YIM tidak pernah ikut menentukan kebijakan negara. Mereka tidak pernah terlibat dalam pemerintahan.

● Bandingkan Maududi dan MN ketika penyusunan konsep negara, Pakistan untuk Maududi dan Indonesia untuk MN. Maududi awalnya justru menentang pembentukan Negara Pakistan, tapi akhirnya setuju dan hijrah ke Pakistan. Sedang MN dari awal sudah berjuang untuk sebuah Indonesia merdeka. Dari permulaan MN sudah memperjuangkan Negara Kesatuan, yang tidak mempunyai masalah dengan bahasa kesatuan (tidak seperti di Pakistan),  sedang terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat) hanyalah taktik politik saja.

● Sayid Qutub dan Maududi tidak pernah terlibat dalam  pemerintahan. Jadi pemikiran mereka adalah pemikiran orang “di belakang meja.” MN terlibat langsung dalam perdebatan mengenai dasar Negara. (Mungkin ada kesalahan YIM, yang mengatakan ketika perdebatan di Konstituante itu Pak Natsir sebagai Mentri Penerangan -Menpen. Pak Natsir menjabat sebagai Menpen itu di jaman revolusi).

● Menurut YIM, semakin dekat orang dengan kekuasaan, semakin moderatlah sikapnya, tapi kalau dia tersingkir bisa juga menjadi “fundamentalistik.”

● MN tidak dapat mentolerir kekerasan (mengapa ikut PRRI? – Menurut Des Alwi dalam seminar itu, dirinya lari masuk hutan bersama Pak Natsir, dan menurutnya Pak Natsir bergabung dengan PRRI karena tidak mau dimasukkan penjara oleh Sukarno.

● MN menunjukkan bahwa kekuatan seseorang sebenarnya bukan dari ucapan-ucapannya yang lantang dan keras, tetapi justru pada kata-kata yang lembut, yang mencerminkan keteguhan pandangannya.


KESIMPULAN

1. Tokoh-tokoh politik jaman perjuangan dulu adalah orang-orang yang hidupnya sederhana dan berjuang dengan ikhlas. Ini kita lihat tidak hanya pada Pak Natsir, tetapi juga tokoh-tokoh lainnya.

2. Berpolitik itu harus dengan etika.

3. Kita harus menyadari bahwa Negara yang kita bangun adalah negara milik bersama dari penduduk yang berasal dari beragam suku-bangsa dan bahasa.

4. Islam yang diperjuangkan Pak Natsir dalam kaitannya dengan hidup bernegara adalah prinsip-prinsip ajarannya saja, jadi bukan detailnya. Karena Islam bukanlah sistem, tapi prinsip-prinsip yang bisa disusun menjadi sistem. Dengan demikian, Islam yang universal itu akan dapat diterima oleh semua pihak, dan bisa berubah seiring dengan perubahan jaman dan kepentingan.[][][]