Monday, October 10, 2016

Demokrasi dalam prespektif Barat dan Islam





Kata Pengantar

            Hari Sabtu yang lalu, 8 Oktober 2016, Pencinta Buku Imaam mengadakan acara bedah buku Demokrasi Kita buah tulis karya Mohammad Hatta (Bung Hatta) seorang ko-proklamator, demokrat, dan Wakil Presiden RI yang pertama. Sebuah tulisan kekecewaannya kepada Bung Karno dan politisi tahun 50-an. Karena perkembangan demokrasi sampai sekarang ini pun notabene sama yang dituliskannya, maka diangkatlah buku itu sebagai bahan dasar kajian demokrasi pada umumnya.

            Dalam pembahasannya muncul adanya keberatan Demokrasi yang dianggap tidak kompatibel dengan Islam. Yang satunya tidak, malah menyebutkan ia dengan mengacu kepada kata Syuro (dalam Al-Qur’an) yang kompatibel dengan demokrasi. Sementara pengantar kepada uraian pokok isi buku mengatakan dalam pembahasan Demokrasi atau apa nama lainnya jangan dulu dikaitkan dengan Demokrasi sebagai prakteknya yang banyak menyimpang. Mari kita kaji dulu demokrasi sebagai nilai ideal yang lebih baik dari Oligarki seperti Diktator, Monarki Absulut, atau Tirani, bahkan Kudeta, kalau tidak kita menjadi pesimis kepada tegaknya Demokrasi yang sudah menjadi trendy dikalangan mayoritas anak muda negara berkembang, apalagi kalau dikatakan Demokrasi yang tidak kompatibel dengan Islam.

            Untuk menambah jelas pengertian Demokrasi dan (Demokrasi dalam) Islam. Mari ikuti paparan tajuk dibawah ini. AFM



DEMOKRASI DALAM PRESPAKTIF BARAT DAN ISLAM


PENDAHULUAN


D
emokrasi merupakan salah satu isu global yang terus berkembang hingga saat ini, perkembangan ini kemudian menjadikan wacana demokrasi semakin variatif  dan dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada wacana perkembangan pemikiran demokrasi di dunia Barat dan implikasinya terhadap Islam dengan memetakan beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang dibangun oleh masing-masing tokoh tersebut.

            Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 Sebelum tahun Masehi. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.

            Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

            Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

            Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

            Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.

Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut. [1]



DEMOKRASI DALAM PANDANGAN BARAT

            Demokrasi dalam pandangan Barat tidak bisa dilepaskan dari konteks historis, karena konsep demokrasi sendiri memang berasal dari Barat yang kemudian berkembang menjadi beberapa fase, yaitu: Fase Klasik; Fase Pencerahan; Fase Moderen. Fase-fase ini akan dipaparkan dibawah ini.

Fase Klasik

            Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikuasai para Tyrants (Tirani) Autocrats (Monarchi Absolut) untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para Autocrats dan Tyrants.

            Dari buah pikiran merekalah  prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the Philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.

            Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60 ribu - 80 ribu orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.

Fase Pencerahan

            Fase Pencerahan (abad 15 sampai awal 18). Dalam fase ini adalah Demokrasi merupakan gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan Liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis.

            Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.

Fase Modern

            Pada fase modern (awal abad 18-akhir abad 20) ini dapat disaksikan dengan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khususnya antara kapitalisme dan komunisme.

            Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi Parlemen (Perwakilan) modern (Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.

            Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar.

            Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.

         Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan blok Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kendatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.

Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia.

       Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yang memiliki pengaruh kekuasaan.

Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh, demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami persoalan yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus mengalami penyesuaian dan tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.

            Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun praksis. Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela lingkungan, dsb. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan AS.

            Indonesia sedang dalam proses tranformasi dari sistem otoriter menuju demokrasi sebagaimana dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi. Tak terelakkan lagi, diperlukan kemampuan dari para pekerja demokrasi untuk mencari varian demokrasi yang compatible dengan konteks yang dihadapi. Pemahaman tentang perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi dari berbagai era dan wilayah dunia akan sangat membantu dalam usaha tersebut. [2]


DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM

            Esposito dan Piscatori, memetakan wacana pemikiran politik Islam terhadap demokrasi menjadi tiga aliran: Pertama: Aliran pemikiran Islam yang menolak konsep demokrasi; Kedua: Aliran yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi mengakui adanya perbedaan; Ketiga: Aliran yang menerima konsep demokrasi sepenuhnya. [3]

Pertama Aliran Menolak Konsep Demokrasi.

            Bagi kelompok yang menolak demokrasi beranggapan bahwa adalah impossible jika Islam memiliki kesamaan dengan demokrasi. Mereka berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan. Beberapa ulama yang berpandangan demikian antara lain adalah, Syaikh Fadillah Nuri, Thabathabai, dan Sayyid Qutb. Bagi Syaikh Fadillah Nuri, salah seorang ulama Iran, satu kunci gagasan demokrasi yaitu persamaan semua warga negara adalah impossible dalam Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi, misalnya, antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya dan miskin, dan antara faqih (ahli hukum Islam) dan pengikutnya. [4] Selain itu, ia juga menolak legislasi oleh manusia. Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan. Dalam Islam tidak ada seorangpun yang diizinkan mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian dari demokrasi, karenanya bertentangan dengan Islam. dalam keyakinan Syaikh Fadillah Nuri, tampaknya manusia hanya bertugas melaksanakan hukum-hukum Tuhan. [5] Sayyid Qutb, Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang gagasan kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang terhadap yang lainnya. Mengakui kekuasaan tuhan berarti melakukan pertentangan secara menyeluruh terhadap seluruh kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem, dan kondisi. Agresi menentang kekuasaan Tuhan di atas bumi merupakan suatu bentuk jahiliyah (kebodohan pra Islam), sambil menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, ia percaya bahwa syari’ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem moral sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya. [6]

Kedua: Aliran Menerima Demokrasi Tapi Bukan Demokrasi ala Barat.

            Kelompok yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam tetapi mengakui adanya perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh Maududi di Pakistan dan Imam Khomeini dari Iran, serta beberapa pemikir Islam lainnya. Abu ‘Ala Maududi misalnya berpandangan bahwa ada kemiripan wawasan antara demokrasi dengan Islam, seperti keadilan, (QS. asy-Syurā: 15), persamaan (QS. al-Hujurāt: 13), akuntabilitas pemerintahan (QS. an-Nisā’: 58), musyawarah (QS. asy-Syurā: 38), tujuan negara (QS. al-Hajj: 4), dan hak-hak oposisi (QS. al-Ahzab: 70). Akan tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa dalam sistem Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan rakyat mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan (pemeintahan, bernegara dan berbangsa) diterapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah di gariskan oleh hukum-hukum Ilahi. [7] Khomeini mempunyai pandangan lain terhadap demokrasi, menurutnya demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi liberal, Ia meyakini bahwa kebebasan mesti dibatasi dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan di dalam batas-batas hukum Islam dan konstitusi, dengan sebaik-baiknya. [8] Konstitusi Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep wilayatul faqih mencerminkan bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam yang bersumber pada hukum agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan sebuah negara yang secara prinsipil menganut sistem demokrasi.

Ketiga: Aliran Yang Menerima Demokrasi Sepenuhnya.

         Kelompok yang menerima sepenuhnya konsep demokrasi memandang bahwa sejatinya di dalam diri Islam sangat demokratis karenanya menurut mereka Islam menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir yang masuk dalam kategori kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain Haikal dari Mesir, Rashid al-Ghannouchi - pemikir politik asal Tunisia, serta Bani Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran.

       Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam, menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip ijma’ (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah. [9]


PENUTUP

     Nampaknya, entah itu di kalangan Barat maupun Islam memiliki perbedaan berikut persamaan dalam mengartikan demokrasi, dan terlepas dari itu semua, pada tataran konsep, memang apapun sistem politik yang digunakan dalam menjalankan sebuah roda pemerintahan dan negara pada dasarnya adalah ideal dan baik, begitu pun dengan demokrasi, demokrasi memang pada tataran idea dan konsepnya merupakan sebuah sistem politik yang dianggap terbaik dari sistem politik yang ada, namun pada tataran praktis para demokrat yang hidup di alam demokrasi tersebut terkadang melenceng dari koridor demokrasi yang ada, dengan mengkhianati konsep-konsep demokrasi yang ideal tersebut, yang mesti dikedepankan kemudian adalah komitmen dalam menjalankan sebuah sistem politik, dengan mengikuti koridor-koridor yang ada, apa pun itu sistemnya, termasuk demokrasi.

    Demikianlah uraian demokrasi dan perkembangannya di Barat dan Pandangan Demokrasi dalam Islam yang telah diuraikan sangat baiknya dan jelas dari para akhlinya. Prinsip-prinsipnya bersifat universal dan pandangan-pandangan dari Barat yang bermacam macam itu dipandang perlu sempurnakan sesuai dengan kaidah-kaidah ajaran Islam sebagai yang dipaparkan dalam kelompok-kelompok pikiran para pemikir Islam dalam hubungan antara Demokrasi dan Ajaran Islam yang terbagi dalam tiga kelompok aliran pemikiran.

      Dari ketiga kelompok ini, sesuai dengan perkembangan zaman, kelompok pemikiran pertama, kedua dan ketiga bisa menjadi landasan dan bahan pemikiran pengembangan Demokrasi dalam Islam.

      Selanjutnya, mengingat adanya dengan variable-variable golongan suku dan paham pemikiran dan agama-agama yang ada dalam suatu negara.  Tentunya dalam pengembangannya - dengan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip ajaran Islam – variable-variabel tersebut diatas perlu diberi tempat yang layak, karena ini adalah wilayah hablum minan nās (ibadah ghaira mahdah). Dalam hal ini Islam sebagai agama dakwah dan rahmatan bagi segenap manusia dan alam semesta (rahmatan lil ‘ālamīn) memberi jaminan hidup dan haknya sebagaimana mestinya. Wallahu A`lam Bish-Shawab.

     Insya Allah bersambung kepada tulisan-tulisan berikut yang bertemakan dengan demokrasi dan syuro akan menyusul seperti: Pengertian Syuro dan Demokrasi; Syuro dalam pandangan Islam dan Demokrasi; Sistim Masyarakat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Billahit Taifiq wal-Hidayah. AFM



Catatan Kaki:

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
[2] Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005), cet. III, hal. 127-130
[3] John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi”, dalam Jurnal Islamica, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, No. 4 April-Juni 1994, hlm. 19-21.
[4] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm 47-48 ; Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38-39.
[5] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis…, hlm. 48.
[6] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis…, hal 48.
[7] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis…, hal. 49
[8] Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan), 2002, Cet. I, hal. 141.
[9] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis…, hal. 58-59


Daftar Pustaka

Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah), 2005, cet. III
John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi”, dalam Jurnal Islamica, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, No. 4 April-Juni 1994,
Kamil,Sukron Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2002
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1999
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan), 2002, Cet. I,
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

Sumber:
https://miftah19.wordpress.com/2011/01/06/demokrasi-dalam-perspektif-barat-dan-islam/

Friday, October 7, 2016

Buku Demokrasi Kita






Kata Pengantar Oleh Buya Hamka


Catatan: Tulisan baik Kata Pengantar maupun Bukuk Demokrasi Kita ini masih menggunakan ejaan lama bahasa Indonesia seperti j sekarang y; dj sekarang j; tj sekarang c; nj sekarang ny; ch sekarang kh; sj sekarang sy.


            Pendjelasan Buku Bung Hatta “Demokrasi Kita” ini ditulis pada tahun 1960 dan dimuat dalam madjallah Islam jang saja pimpin “Pandji Masjarakat”. Penilaian politik jang dikemukakan oleh Bung Hatta ini mendapat perhatian penuh dari peminat-peminat politik, baik didalam ataupun diluar negeri.

            Tetapi apa jang dibajangkan Bung Hatta dalam buku tersebut, bahwa demokrasi sedjak waktu itu sedang terantjam dinegeri kita, telah berlaku keatas madjallah jang memuat tulisan itu; “Pandji Masjarakat” dilarang terbit dan keluar pula larangan membatja, menjiarkan, bahkan menjimpan buku itu.

            Satu fikiran jang brilliant dari salah seorang Proklamator Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dilarang keras membatja, dan diantjam hukum barang siapa terdapat menjimpannja. Sekarang keadaan sudah berobah, angkatan 66 jang menuntut ke’adilan dan menentang kezaliman telah bangkit, angin baru telah bertiup. Buku ini diterbitkan kembali dengan izin jang chas dari penulisnja sendiri. Bagi saja adalah satu obat penawar karena buku ini dikeluarkan setelah saja dibebaskan dari tahanan berdjumlah dua tahun empat bulan (27 Djanuari ’64 sampai 26 Mei ’66) karena fitnah prolog Gestapu/P.K.I. dan B.P.I. Tahanan karena fitnah, jang mendjadi adat kebiasaan dizaman kepemimpinan negara masa lampau itu. Moga-moga dengan terbitnja kembali buku ini, dizaman angin baru bagi negara kita telah bertiup dan semangat angkatan ’66 telah bangkit, keadaan jang muram, suram dan seram jang telah lalu itu tidak terulang lagi. [HAMKA  - Djakarta 1 Djuni 1966] 



DEMOKRASI KITA

S

edjarah Indonesia sedjak 10 tahun jang achir ini banjak memperlihatkan pertentangan antara idealism dan realita. Idealisme, jang mentjiptakan suatu pemerintahan jang adil jang akan melaksanakan demokrasi jang sebaik-baiknja dan kemakmuran rakjat jang sebesar-besarnja. Realita dari pemerintahan, jang dalam perkembangannja kelihatan makin djauh dari demokrasi jang sebenarnja.


TINDAKAN-TINDAKAN PRESIDEN

Apalagi sedjak dua tiga tahun jang achir ini kelihatan benar tindakan-tindakan pemerintah jang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Presiden, jang menurut Undand-undang Dasar tahun 1950 adalah Presiden konstitusionil jang tidak bertanggung djawab dan tidak dapat diganggu-gugat, mengangkat dirinja sendiri sebagai formatir kabinet. Dengan itu ia melakukan tindakan jang bertanggung djawab dengan tiada memikul tanggung djawab.

Pemerintah jang dibentuk dengan tjara jang gandjil itu diterima begitu sadja oleh Parlemen dengan tiada menjatakan keberatan jang prinsipiil. Malahan ada jang membela tindakan Presiden itu dengan dalil “keadaan darurat”. Kemudian Presiden Soekarno membubarkan Konstituante jang dipilih oleh rakjat, sebelum pekerdjaannja membuat Undang-Undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinjatakannja berlakunja kembali Undang-Undang Dasar tahun1945. Menurut Undang-Undang Dasar ’45 itu Presiden Republik Indonesia adalah kepala exekutif. Parlemen jang ada menurut Undang-Undang Dasar 1950 dan tersusun menurut pemilihan umum pada tahun 1955 diakui sebagai Dewan Perwakilan Rakjat sementara sampai terbentuk Dewan Perwakilan Rakjat baru berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.

Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan satu coup d’etat, ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara jang terbanjak didalam Dewan Perwakilan Rakjat. Golongan minorita menganggap perbuatan Presiden itu sebagai suatu tindak-perkosa, tetapi menjesuaikan dirinja kepada kenjataan jang baru itu. Dengan pendirian sedemikian Dewan Perwakilan Rakjat sudah melepaskan sendiri hak-kelahirannja. Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakjat tentang djumlah anggaran belandja. Dengan suatu penetapan Presiden Dewan Perwakilan Rakjat dibubarkan dan disusunnja suatu Dewan Perwakilan Rakjat baru menurut konsepsinja sendiri.

Dewan Perwakilan Rakjat baru itu anggota-anggotanja 261 orang, separoh terdiri dari anggota-anggota partai dan separoh lagi dari apa jang disebut golongan fungsionil, jaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, tjendikiawan, tentera dan polisi. Semua anggota ditundjuk oleh Presiden. Anggota-anggota partai jang 130 orang itu sebagian besar dpilihnja sendiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat jang bersidang sampai sekarang, dengan menjingkirkan sama sekali anggota-anggota jang termasuk golongan oposisi.


TUGAS DEWAN PERWAKILAN RAKJAT

Presiden Soekarno mendasarkan segala tindakannja itu diatas pendapat, bahwa revolusi Indonesia untuk melaksanakan Indonesia jang adil dan makmur belum selesai. Sebelum tertjapai Indonesia jang adil dan makmur, revolusi masih berdjalan terus dan segala susunan jang ada itu bersifat sementara.

Ia, katanja, tidak menentang demokrasi, malahan menudju demokrasi jang sebenarnja, jaitu demokrasi gotong-royong seperti jang terdapat dalam masjarakat Indonesia jang asli. Ia mentjela demokrasi tjara Barat jang berdasarkan free fight, hantam-menghantam, jang sebegitu djauh dipraktikkan di Indonesia. Free fight democracy ini menimbulkan perpetjahan nasional, sehingga usaha-usaha pembangunan djadi terlantar.

Demokrasi liberal itu hendak digantinja dengan apa jang disebutnja demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin, seperti jang dimaksudnja itu ialah suatu tjara bekerdja jang melaksanakan suatu program pembangunan jang direntjanakan dengan suatu tindakan jang kuat dibawah suatu pimpinan. Tjita-tjita itu harus didukung oleh kerdjasama jang baik antara empat golongan besar jang berpengaruh didalam masjarakat, jaitu golongan-golongan nasionalis, Islam, komunisme dan tentera. Titik berat dari pada pemerintahan  dan perundang-undangan tidak lagi terletak pada Parlemen, melainkan pada dua badan baru jaitu Dewan Nasional, jang sekarang berubah mendjadi Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perantjang Nasional. Dalam sistem ini Dewan Perwakilan Rakjat tugasnja hanja memberikan dasar hukum sadja kepada keputusan-keputusan jang telah ditetapkan oleh Pemerintah, berdasarkan pertimbagan-pertimbangan atau usul dari dua badan tersebut tadi.

Dengan tjara begitu, menurut pendapat Soekarno, segala perundingan dapat berlaku dengan tjepat, dengan tiada bertele-tele seperti jang terdjadi didalam Dewan Perwakilan Rakjat sampai sekarang. Kedua badan tersebut, Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perantjang Nasional, berhubung dengan susunannja seperti jang ditentukan sendiri oleh Presiden Soekarno, bisa merupakan suatu “preasure group”, golongan pendesak. Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakjat jang terdjadi sekarang, dimana semua anggota ditundjuk oleh Presiden, lenjaplah sisa-sisa demokrasi jang penghabisan. Demokrasi terpimpin mendjadi suatu DIKTATUR’ jang didukung oleh golongan-golongan jang tertentu.


KRISIS DEMOKRASI

Oleh karena itu, tidak heran kalau banjak orang menjangka, bahwa demokrasi lenjap dari Indonesia. Tetapi pendapat sematjam itu tidak benar. Itu suatu pendapat jang diperoleh dari penglihatan sepintas lalu sadja atas proses politik jang berlaku di Indonesia sedjak beberapa tahun jang achir ini. Demokrasi bisa tertindas sementara waktu karena kesalahnnja sendiri, tetapi setelah ia mengalami tjobaan jang pahit, ia akan muntjul kembali dengan penuh keinsjafan.

Berlainan dari pada beberapa negeri lainnja di Asia, demokrasi disini berurat-berakar didalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenjapkan untuk selama-lamanja. Apa jang terjadi sekarang ialah KRISIS dari pada demokrasi. Atau demokrasi didalam krisis. Demokrasi jang tidak kenal batas kemerdekaannja lupa sjarat-sjarat hidupnja dan melulu mendjadi anarki lambat laun akan digantikan  oleh diktatur. Ini adalah hukum besi dari pada sedjarah dunia!

Tindakan Soekarno jang begitu djauh menjimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat dari pada krisis demokrasi itu. Demokrasi dapat berdjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Inilah jang kurang pada pemimpim-pemimpin partai seperti jang telah berulang kali saja peringatkan.

Pada permulaan kemerdekaan, sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, orang merasai benar-benar tanggung djawabnja. Tetapi setelah kemerdekaan itu diakui oleh seluruh dunia, sebagai hasil dari pada Konperensi Medja Bundar di Den Haag pada achir tahun 1949, orang lupakan sjarat-sjarat membangun demokrassi didalam praktik.

Semangat jang ultra-demokratis jang meradjalela dalam dada pemimpin-pemimpin partai mengubah sistem pemerintahan dari pemerintah presidensiil jang tertanam didalam Undang-Undang Dasar 1945 mendjaji kabinet parlementer. Sistim kabinet parlementer seperti jang berlaku di Eropah Barat, dimana pemerintah bertanggung djawab kepada Parlemen, orang anggap lebih demokratis dari sistim pemerintah presidensiil.

Orang lupa, bahwa Indonesia dalam masa peralihan ke pemerintaha nasional jang demokratis perlu akan suatu pemerintah jang kuat. Sedjarah Indonesia sedjak proklamasi 17 Agustus 1945 menjatakan bahwa pemerintah jang kuat di Indonesia ialah pemerintah presidensiil dibawah dwitunggal Soekarno-Hatta. Lahirnja idée dwitunggal diwaktu itu bukanlah suatu hal jang dibuat-buat, melainkan suatu kenjataan jang dikehendaki oleh keadaan.

Dimasa Republik Indonesia jang pertama itu telah ditjoba mengubah sistim pemerintah presidensiil mendjadi sistim kabinet parlementer jang dipimpin oleh seorang perdana menteri, jang bertanggung djawab kepada Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat. Alasan jang dikemukakan ialah supaja Presiden dan Wakil Presiden tetap dan tidak terganggu gugat dalam memimpin negara. Presiden dan Wakil Presiden diperlindungi oleh Kabinet jang betanggung djawab politik, jang setiap waktu dapat diganti kalau perlu.

Tetapi dalam praktik ternjata, bahwa bukan kabinet jang memperlindungi Presiden dan Wakil Presiden, memagari mereka dengan tanggung djawabnja, melainkan sebaliknja. Dimana-mana Presiden dan Wakil Presiden harus bertindak dengan mempergunakan kewibaannja untuk memperlindungi kabinet dari ketjaman dan serangan rakjat jang tidak puas.

Sampai kedalam sidang Komite Nasional Pusat Wakil Presiden terpaksa bersuara untuk mempertahankan politik Pemerintah jang digugat dan diketjam sehebat-hebatnja oleh berbagai golongan didalamnja. Dan pada saat jang genting seperti dengan peristiwa 3 Djuli 1946 orang berpegang kembali kepada kabinet presidensiil. Demikian djuga sesudah penanda tanganan Perdjanjian Renville pada permulaan tahun 1948, jang menimbulkan perpetjahan besar dan pertentangan politik jang hebat dalam masjarakat, orang kembali kepada pemerintah presidensiil dibawah Wakil Presiden. Pemerintah itulah jang stabil sampai pada pemulihan kedaulatan pada achir tahun 1949 oleh Nederland.

Tetapi sesudah itu semangat ultra-demokratis muntjul kembali. Dalam Undang-Undang Dasar 1950 ditetapkan sistim kabinet parlementer. Dwitunggal Soekarno-Hatta didjadikan symbol negara belaka dalam kedudukan Presiden dan Wakil Presiden jang konstitusionil, jang tidak dapat diganggu-gugat. “Menteri-Menteri bertanggung djawab atas seluruh kebidjaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnja maupun masing-masing untuk bagiannja sendiri-sendiri”. Dan mulai saat itu tamatlah pada hakekatnja sedjarah dwitunggal dalam politik Indonesia.


PELAKSANAAN DEMOKRASI

Negara baru jang dibentuk dari menggabungkan 16 bagian negara bagian Republik Indonesia Serikat menurut putusan K.M.B. mendjadi suatu negara kesatuan jang daerahnja meliputi seluruh Indonesia dengan Irian Barat sebagai daerah sengketa, ~ negara baru ini akan menghadapi seribu satu soal dan kesulitan. Djusteru pada saat itu dua orang jang benar-benar mempunjai kewibawaan dari pimpinan negara jang riil dan didjadikan symbol belaka.

Sebenarnja ada suatu pertentangan perasaan dari dalam jang sukar mengatasi. Sistim dwitunggal itu sudah mendjadi suatu mitos jang mempengaruhi djalan pikiran bangsa kita. Dalam alam pikiran rakjat jang banjak, segala kesulitan akan dapat diatasi selama dwitunggal itu berada diatas putjuk pimpinan negara.

Sebaliknja orang ingin mempunjai suatu sistim pemerintahan jang lebih demokratis, jaitu dimana Pemerintah bertanggung djawab kepada Parlemen setiap waktu. Menurut djalan pikiran ini, diantara badan-badan jang kerdjasama dalam melakukan pemerintahan, Parlemen dan Pemerintah, Parlemenlah jang terkuat. Sistim itu tidak djalan terhadap dwitunggal dengan kewibawaanja jang besar terhadap rakjat.

Dalam pada itu ada pula aliran jang berpendapat, bahwa figur orang jang dua itu akan mendjadi penghalang bagi tenaga-tenaga politik baru untuk madju kemuka. Ini merugikan bagi latihan demokrasi. Sebab itu perlu mereka meluangkan tempat dalam kekuasaan politik bagi pemimpin-pemimpin jang lain itu. Segala pertimbangan itu melupakan kepentingan jang lebih besar dan mendesak diwaktu itu, jaitu bahwa negara perlu akan suatu pemerintah jang kuat jang mempunjai kewibawaan besar untuk mengatasi berbagai kesulitan. Salah satu dari jang terutama ialah bahwa tjita-tjita demokrasi memang ada di Indonesia, tetapi pelaksaannjalah jang kurang.

Selain dari itu pengalaman dalam pemerintahan demokrasi sedikit sekali; diluar daerah Republik Indonesia jang pertama jang hanja meliputi Djawa dan Sumatera hampir tidak ada. Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat jang pertama kali mewakili seluruh Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1950 bukanlah anggota jang dipilih oleh rakjat, melainkan diangkat oleh Pemerintah negara-negara bagian lama. Lebih dari separoh berasal dari pegawai negeri jang dalam zaman Hindia Belanda tidak mempunjai pengalaman politik.Sebab itu tidak mengherankan, kalau didalam Dewan Perwakilan Rakjat itu djumlah partai politik mangkin lama mangkin banjak. Achirnja terdapat 19 buah. Orang dapat mengira betapa sulitnja membentuk suatu Pemerintah jang akan memperoleh dukungan oleh suara jang terbanjak didalam Dewan Perwakilan Rakjat. Tiap-tiap pemerintah mempunjai tjorak koalisi, tersusun dari sedikit-dikitnja 7 atau 8 partai. Alangkah sulitnja menjusun program bersama dan menjetudjui orang-orang jang akan duduk sebagai menteri. Dan kalau pemerintah sudah berdjalan dan kemudian ada partai dalam koalisi itu jang tidak mendapat kepuasan, lalu ia menarik menterinja keluar. Maka timbullah krisis kabinet.

Kabinet djatuh karena kelemahan dari dalam, bukan karena votum dalam Dewan Perwakilan Rakjat. Berkali-kali Pemerintah mengundurkan diri, tapi belum ada jang djatuh dimuka Parlemen karena salah suatu votum tidak-pertjaja. Dengan sendirinja pemerintah-pemerintah sematjam itu, jang setiap waktu menghadapi soal politik didalam dan diluar Dewan Perwakilan Rakjat, tidak tjukup mempunjai kesempatan untuk memikirkan soal ekonomi dan pembangunan. Rentjana jang diperbuat sudah terlantar lagi kalau Pemerintah sudah djatuh. Pemerintah jang menggantikanja memikirkan lagi rentjana baru.

Sesudah pemilihan umum tahu 1955 djumlah partai itu tidak berkurang, malahan bertambah sampai 28. Ini disebabkan oleh sistim pemilu jang terlalu demokratis. Sebenarnja tiga partai jang terbesar jang didalam Dewan Perwakilan Rakjat, jaitu P.N.I., Masjumi, dan Nahdatul Ulama memperoleh suara terbanjak jang mutlak, tetapi diantara Masjumi dan dua lainnja itu sukar mentjapai persesuaian paham. Kalau dinegeri-negeri jang sudah lama mendjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan jang menjalah-gunakan kekuasaan, apalagi di negeri jang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan mendjadi pemerintah berarti “membagi rezeki”. Golonghan sendiri dikemukakan, masjarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh tugas dari partainja untuk melakukan tindakan-tindakan jang memberi keuntungan bagi partainja. Seorang menteri perekonomian misalnja mendjalankan tugasnja itu dengan memberikan lisensi dengan bajaran jang tertentu untuk kas partainja. Atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importer atau exporter, orang jang separtai dengan dia didahulukannja. Keperluan uang untuk biaja pemilihan umum mendjadi sebab ketjurangan itu. Partai jang pada hakekatnja alat untuk menjusun pendapat umum setjara teratur, agar supaja rakjat beladjar merasa tanggung djawabnja sebagai pemangku negara dan anggota masjarakat, ~ partai itu didjadikan tujuan dan negara mendjadi alatnja.

Djuga dalam hal menempatkan pegawai didalam dan diluar negeri orang lupa akan dasar tanggung djawab dan toleransi dalam demokrasi. Seringkali keanggotaan partai mendjadi ukuran, bukan dasar “the right man in the right place”. Pegawai jang tidak berpartai atau partainja duduk dibangku oposisi merasa kehilangan pegangan dan mendjadi patah hati. Ini merusak ketenteraman djiwa bekerdja, mendorong orang kedjalan tjurang dan korupsi mental, aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai, dengan politik kepartaian itu orang menghidupkan jang sebaliknja, mengasuh orang luntur karakter. Achirnja orang masuk partai bukan karena kejakinan, melainkan karena ingin memperoleh djaminan. Suasana politik sematjam itu memberi kesempatan kepada berbagai djenis petualang politik dan ekonomi serta manusia profetir madju kemuka. Segala pergerakan dan sembojan nasional diperalatkan mereka, partai-partai politik ditunggangginja, untuk mentjapai kepentingan mereka sendiri. Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi. Kelandjutannja, korupsi dan demoralisasi meradjalela.


DEMOKRASI DAN DIKTATUR

Dimana-mana orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berdjalan sebagaimana mestinja, seperti jang diharapkan. Kemakmuran rakjat jang ditjita-tjitakan masih djauh sadja, sedangkan nilai uang makin merosot. Rentjana jang terlantar banjak sekali. Keruntuhan dan kehantjuran barang-barang kapital tampak dimana-mana, seperti rusaknja jalan raja, irigasi, pelabuhan, berkembangnja irosi dan lain-lain. Pembangunan demokrasi pun terlantar karena pertjektjokan politik senantiasa. Indonesia jang adil jang ditunggu-tunggu masih djauh sadja. Pelaksanaan autonomi daerah dengan urusan keuangan sendiri jang lama sekali menunngu mendjadi sebab timbulnja pergolakan daerah.

Daerah-daerah jang begitu banjak menghasilkan devisen buat negara, sedangkan mereka tidak melihat pembangunan didaerahnja, mulai menentang pemerintah pusat. Sudah lebih dahulu angkatan perang merasa tak puas dengan djalannja pemerintahan ditangan partai-partai. Pertjektjokan politik dipusat besar pengaruhnja kebawah. Pada daerah-daerah jang belum aman gerakan gerombolan makin mendjadi. Semuanja harus dihadapi oleh tentera. Aturan menjiapkan diri tugasnja jang sebenarnja, jaitu melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, ia terus-menerus sadja disuruh melakukan tugas polisi ke dalam.

Pada tahun 1952 pernah pimpinan angkatan perang memohon kepada Presiden supaja Presiden sudi mengachiri tjara Dewan Perwakilan Rakjat bekerdja jang selalu menimbulkan politik jang tidak stabil. Petisi itu tidak berhasil, sebab Presiden menundjukkan kepada kedudukkannja sebagai Kepala Negara jang Konstitusionil. Achirnja pesertaan tentera dengan gerakan rakjat pada beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat memaksa Pemerintah pusat mengumumkan keadaan bahaja. Sedjak itu mulailah tjampur tangan angkatan perang dalam pemerintahan.

Persengketaan tentang Irian Barat jang makin memuntjak memberi kesempatan kepada beberapa golongan pemuda untuk mengambil alih beberapa perusahaan Belanda jang ada di Indonesia. Untuk menghidarkan kekatjauan Pemerintah memberi tugas kepada angkatan perang untuk mengawasi semuanja itu. Dengan begitu bertambah luaslah kekuasaan dan tnggung djawab jang diberikan kepada tentera. Kalau mereka jang harus bertanggung djawab dalam berbagai bidang, keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka sudah selajaknja mereka ikut serta dalam pemerintahan negara. Untuk menanggalkan kekuasaan partai-partai politik dalam pemerintah, tentera mengandjurkan idée: kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan sistim Kabinet Presidensiil. Tjita-tjita itu disokong oleh beberapa golongan ketjil jang merasa berdjasa dalam revolusi tahun 1945 tetapi tak pernah terhitung dalam politik selama itu. Sudah tentu dengan interpretasi sendiri! Dari kanan dan kiri Presiden didesak supaja mengambil tindakan jang tegas untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tindak anti konstitusionil diandjurkan! Maka terjadilah peristiwa jang disebut tadi pada permulaan karangan ini. Perkembangan politik jang berachir dengan kekatjauan, demokrasi jang berachir dengan anarki membuka djalan untuk lawannja: diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sedjarah dunia.

Tetapi sedjarah dunia memberi pentundjuk pula bahwa diktatur jang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnja. Sebab itu pula sistim jang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih pandjang umurnja dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnja itu akan rubuh dengan sendirinja seperti suatu rumah dari kartu. Tidak ada seorang juga dari team kerdjasama jang diadakanja itu jang mempunjai caliber dan kewibawaan untuk meneruskannja. Tidak ada pula bajangan dalam masjarakat, bahwa sistim itu disukai orang.


KONSEPSI SOEKARNO

Kalau kita perhatikan golongan-golongan dalam Dewan Perwakilan Rakjat gotong-rojong itu, jang akan mendukung sistim Soekarno, disitu tidak ada homogenita. Malahan mereka itu terdiri dari berbagai aliran jang bertentangan satu sama lain, jang batas-membatasi dan hambat-menghambat. Mereka dapat kerdjasama dengan musjawarah, karena ada soekarno jang menentukan dan mereka meng-ia-kan.

Dalam keadaan jang sematjam itu, tenaga-tenaga demokrasi dalam masjarakat terpaksa menunggu dengan sabar, apa jang akan dilahirkan oleh konsepsi Soekarno itu. Selama politiknja didukung oleh aliran-aliran jang terbesar djumlahnja dan golongan jang berkuasa, semuanja dengan semangat totaliter, aliran demokrasi tidak dapat berbuat apa-apa. Semangat totaliter sedang kuat berhubung dengan pemberontakan pada daerah. Bagi saja jang lama bertengkar denga Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan jang efisien, ada baiknja diberikan fair chance dalam waktu jang lajak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistimnja itu akan mendjadi suatu sukses atau suatu kegagalan. Sikap ini saja ambil sedjak perundingan kami jang tidak berhasil kira-kira dua tahun jang lalu.

Ada ukuran jang objektif jang akan menentukan dalam hal ini. Tertjapailah atau tidak kemakmuran rakjat dengan itu, kemakmuran rakjat jang Soekarno sendiri djuga mentjiptakannja dengan sepenuh-penuhnja fantasinja? Sanggupkah ia menahan kemerosotan taraf hidup rakjat dalam tempoh jang singkat? Dapatkah ia menjetop inflasi jang terus-menerus dalam waktu jang tidak terlalu lama, inflasi jang membuat orang putus harapan?Itulah ukuran jang objektif jang tepat terhadap konsepsinja itu!Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta pada tanah airnja dan ingin melihat Indonesia jang adil dan makmur selekas-lekasnja, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif jang terutama baginja untuk melakukan tindakan jang luar biasa itu, dengan tanggung djawab sepenuhnja pada dirinja. Tjuma, berhubung dengan tabiatnja dan pembawaannja, dalam segala tjiptaannja ia memandang garis besarnja sadja. Hal-hal jang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan menentukan dalam pelaksanaannja, tidak dihiraukannja. Sebab itu ia sering mentjapai jang sebaliknja dari jang ditudjunja.

Dalam suatu kritik terhadap konsepsinja kira-kira tiga tahun jang lalu saja bandingkan dia dengan Mephistopheles dalam hikajat Goethe’s faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah “ein Teil jener Kräfte, die stets das Böse will und stets das Gute schafft” - satu bagian dari suatu tenaga jang selalu jang mengkehendaki jang buruk dan selalu menghasilkan jang baik, Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tudjuannja selalu baik, tetapi langkah-langkah jang diambilnja kerapkali mendjauhkan dia dari tudjuannja itu. Dan sistim diktatur jang diadakannja sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa ia kepada keadaan jang bertentangan dengan tjita-tjitanja selama ini.

Tadi saja katakan, bahwa demokrasi tidak akan lenjap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnja. Memang tak mudah membangun suatu demokrasi di Indonesia jang lantjar djalannja. Tetapi bahwa ia akan muntjul kembali, itu tidak dapat dibantah. Ada dua hal jang memberikan kejakinan itu kepada saja. Pertama, tjita-tjita demokrasi jang hidup dalam pergerakan hidup kebangsaan dimasa pendjadjahan Indonesia dahulu, jang memberikan semangat kepada perdjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia jang asli jang berdasarkan demokrasi, jang sampai sekarang masih terdapat didalam desa Indonesia. Sudah biasa dalam sedjarah, bahwa tjita-tjita jang murni dan indah tentang pergaulan hidup manusia dan bangsa lahir dalam masa penderitaan. Rakjat Indonesia menderita, berabad-abad lamanja, dibawah pendjadjahan Belanda.

Kesengsaraan hidup, penghinaan bangsa oleh berbagai peraturan diskriminasi, pemerasan nasional dibawah suatu kekuasaan autokrasi colonial, sifat pemerintahan djadjahan sebagai suatu negara-polisi jang menindas segala tjita-tjita kemerdekaan, ~semuanja itu menghidupkan dalam pangkuan pergerakan kebangsaan tjita-tjita tentang persatuan Indonesia, peri-kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Semuanja itu tergaris sedalam-dalamnja dalam djiwa rakyat Indonesia, sekalipun mereka hanja sanggup menjatakannja setjara pasif. Tetapi didalam kalbu orang pergerakan tjita-tjita itu hidup sebagai keinsjafan hukum, jang harus memberi tjorak kepada Indonesia Merdeka.

Sedjak masa pendjadjahan ditjiptakan, bahwa Indonesia Merdeka dimasa datang mestilah NEGARA NASIONAL, bersatu dan tidak terpisah-pisah. Ia bebas dari pendjadjahan asing dalam rupa apapun djuga, politik maupun ideologi. Dasar-dasar peri-kemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara orang dengan orang, antara madjikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa. Lahir dalam perdjuangan menentang pendjadjahan, tjita-tjita peri-kemanusiaan tidak sadja bersifat anti-kolonial dan anti-imperialis, tetapi djuga menudju kebebasan manusia dari segala tindasan. Pergaulan hidup harus diliputi oleh suasana kekeluargaan dan persaudaraan. Literatur sosialis jang banjak dibatja dan pergerakan kaum buruh Barat jang dilihat dari djauh dan dari dekat, memperkuat tjita-tjita itu mendjadi kejakinan.


DEMOKRASI INDONESIA

Pengalaman dengan pemerintahan autokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi menghidupkan dalam kalbu pemimpin dan rakjat Indonesia tjita-tjita negara hukum jang demokratis. Negara itu haruslah berbentuk Republik berdasarkan Kedaulatan Rakjat. Tetapi Kedaulatan Rakjat jang dipahamkan dan dipropagandakan dalam kalangan pergerakan nasional berlainan dengan konsep Rousseau jang bersifat individualisme. Kedaulatan Rakjat tjiptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri jang bertjorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia harus pula perkembangan dari pada demokrasi Indonesia jang asli.

Semangat kebangsaan jang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme  dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan untuk mentjari sendi-sendi bagi negara nasional jang akan dibangun kedalam masjarakat sendiri. Demokrasi Barat à priori ditolak.Dalam mempeladjari Revolusi Perantjis 1789 jang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternjata bahwa trilogy ,,kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” tiga jang mendjadi sembojannja, tidak terjadi dalam praktik. Itu tidak mengherankan, karena Revolusi Perantjis meletus sebagai revolusi individuil untuk kemerdekaan orang-seorang dari ikatan feodalisme. Kemerdekaan individu diutamakan. Dalam merealisasinja orang lupa akan rangkaiannja dengan persamaan dan persaudaraan. Selagi Revolusi Perantjis tudjuannja hendak melaksanakan tjita-tjita sama rata sama rasa –sebab itu disebelah kemerdekaan individu dikemukakan persamaan dan persaudaraan-, demokrasi jang dipraktikkan hanja membawa persamaan politik. Itupun terdjadi berangsur-angsur. Dalam politik hak seorang sama dengan jang lain; kaja dan miskin, laki-laki  dan perempuan sama-sama mempunjai hak untuk memilih dan dipilih mendjadi anggota Dewan Perwakilan Rakjat. Tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnja semangat individualisme, jang dihidupkan oleh Revolusi Perantjis, kapitalisme subur tumbuhnja. Pertentangan kelas bertambah hebat. Dimana ada pertentangan jang hebat antara berbagai kepentingan, dimana ada golongan jang menindas dan ditindas, disitu sukar didapat persaudaraan.

Njatalah sekarang bahwa demokrasi jang sematjam itu tidak sesuai dengan tjita-tjita perdjuangan Indonesia jang mentjiptakan terlaksananja dasar-dasar peri-kemanusian dan keadilan sosial. Demokrasi politik sadja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. disebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu tjita-tjita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup jang menentukan nasib manusia. Tjita-tjita keadilan jang terbajang dimuka, dijadjikan program untuk dilaksanakan didalam praktik hidup nasional dikemudian hari.

Djika ditilik benar-benar, ada tiga sumber jang menghidupkan tjita-tjita demokrasi sosial itu dalam kalbu pemimpin-pemimpin dimasa itu. Pertama, paham sosialis Barat, jang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar peri-kemanusiaan jang dibelanja menjadjadi tudjuannja. Kedua, adjaran Islam, jang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masjarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai machluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah jang Pengasih dan Penjajang. Ketiga, pengetahuan bahwa masjarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Paduan semuanja itu hanja memperkuat kejakinan, bahwa bangun demokrasi jang akan mendjadi dasar pemerintah Indonesia dikemudian hari haruslah suatu perkembangan dari pada demokrasi asli, jang berlaku didalam desa Indonesia.

Negara Indonesia adalah negara feudal, jang dikuasai oleh radja autocrat. Sungguhpun begitu didalam desa-desa sistim demokrasi terus berlaku, tumbuh dan hidup sebagai adat-istiadat. Bukti ini menanam kejakinan, bahwa demokrasi Indonesia jang asli kuat bertaha, liat hidupnja. Seperti kata pepatah minangkabau "indak lakang dek paneh, indak lapuak dek udjan”. Demokrasi itu di-idealisir dalam pergerakan kebangsaan dahulu. Dan orang tjoba membuat konsepsi demokrasi Indonesia jang modern, berdasarkan demokrasi jang asli itu.Analisa sosial menundjukkan, bahwa demokrasi asli Indonesia kuat bertahan dibawah feodalisme, karena tanah sebagai faktor produksi jang terpenting adalah milik bersama kepunjaan masyarakat desa. Bukan kepunjaan Radja. Dan sejarah sosial dibenua Barat memperlihatkan, bahwa pada zaman feodalisme milik tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan. Siapa jang hilang haknja atas tanah, hilang kemerdekaannja. Ia terpaksa menggantungkan hidupnja kepada orang lain; ia mendjadi budak dipekarangan tuan tanah.

Oleh karena dalam Indonesia dahulu kala milik tanah adalah pada masjarakat desa, maka demokrasi desa boleh ditindas hidupnja oleh kekuasaan feodal jang meliputinja dari atas, tetapi tidak dapat dilenjapkan. Berdasarkan milik bersama atas tanah, tiap-tiap orang-seorang dalam mempergunakan tenaga ekonominja merasa perlu akan persetudjuan kaumnja. Kelandjutan dari pada itu didapati pula, bahwa segala usaha jang berat, jang tidak tekerdjakan oleh tenaga orang-seorang, dikerdjakan bersama setjara gotong-royong. Bukan sadja hal-hal jang menurut sistim juridis Barat termasuk kedalam golongan hukum publik dikerdjakan begitu, tetapi djuga jang mengenai hal-hal privé, seperti mendirikan rumah, mengerdjakan sawah, mengantar majat kekubur dan lain-lain.

Adat hidup sematjam itu membawa kebiasaan bermusjawarah. Segala hal jang mengenai kepentingan umum dipersoalkan bersama-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah minangkabau: “bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”. Kebiasaan mengambil keputusan dengan musjawarah dan mufakat menimbulkan institute rapat pada tingkat jang tertentu, dibawah pimpinan kepala desa. Segala orang dewasa diantara anggota-anggota asli desa berhak hadir dalam rapat itu. Ada dua anasir lagi dari pada demokrasi desa jang asli di Indonesia. Jaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan radja jang dirasakan tidak adil, dan hak rakjat untuk menyingkir dari aderah kekuasaan radja, apabila ia merasa tidak  senang lagi hidup disana. Benar atau tidak, jang kemudian ini sering dianggap orang sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib sendiri. Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada masa jang achir ini. Apabila rakjat merasakeberatan sekali atas peraturan jang diadakan oleh pembesar daerah,  maka kelihatan rakjat datang sekali banjak kealun-alun dimuka rumahnja dan duduk disitu beberapa lama dengan tiada melakukan apa-apa. Ini merupakan suatu demonstrasi setjara damai. Tidak sering rakjat Indonesia dahulu, jang bersifat penurut, berbuat begitu. Akan tetapi, apabila ia sampai berbuat begitu, maka ia akan mendjadi pertimbangan bagi penguasa, apakah ia akan mentjabut atau mengubah perintahnja.

Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong-rojong, hak mengadakan protes bersama dan hak menjingkir dari kekuasaan radja, dipudja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok jang kuat bagi demokrasi sosial, jang akan didjadikan dasar pemerintah Indonesia Merdeka dimasa datang. Tidak semua dari jang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat jang lebih tinggi dan modern. Tetapi sebagai dasar ia dipandang terpakai. betapapun djuga, orang tak mau melepaskan tjita-tjita demokrasi sosial, jang banjak sedikitnja bersendi kepada organisasi sosial didalam masjarakat asli sendiri.

Dalam segi politik dilaksanakan sistim perwakilan rakjat dengan musjawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa jang begitu kuat hidupnja adalah pula dasar bagi pemerintahan autonomi jang luas didaerah-daerah sebagai tjermin dari pada ,,pemerintahan dari jang diperintah”.Dalam segi ekonomi, semangat gotong-rojong jang merupakan kopersai sosial adalah dasar jang sebaik-baiknja untuk membangun kooperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakjat. Kejakinan tertanam, bahwa hanja dengan kooperasi dapat dibangun kemakmuran rakjat. Dalam segi sosial diadakan djaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia, sedjahtera dan susila mendjadi tudjuan negara.


FILSAFAT NEGARA KITA

Demikianlah tumbuh berangsur-angsur dalam pangkuan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan dahulu tjita-tjita demokrasi sosial jang mendjadi dasar bagi pembentukan Negara Republik Indonesia jang merdeka, bersatu, adil dan makmur. Tjita-tjita itu dituangkan didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sungguhpun tjukup diketahui isinja, ada baiknja dimuat djuga disini isinja jang lengkap menjegarkan ingatan kembali:

“Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah jang Maha-kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakyat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja. Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memadjukan kesejahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat dengan berdasar kepada:

“Ketuhanan Jang Maha-Esa, Kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam pemusjawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia”.

Siapa jang membatja Pembukaan itu dengan teliti, ia dapat menangkap tiga buah pernjataan jang penting didalamnja.

Pertama, pernjataan dasar politik dan tjita-tjita bangsa Indonesia. Kemerdekaan diakui sebagai hak tiap-tiap bangsa, pendjadjahan harus lenjap diatas dunia karena bertentangan dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Pernjataan ini, jang lahi dari penderitaan sendiri, tidak sadja menentukan politik kedalam tetapi mempengaruhi djuga politik luar negeri Republik Indonesia jang terkenal sebagai politik bebas dan aktif.

Kedua, pernjataan tentang berhasilnja tuntutan politik bangsa Indonesia, dengan karunia Allah. “Dengan kurnia Allah” - ini didalam artinja. Disitu terletak pengakuan, bahwa Indonesia tidak akan merdeka, djika kemerdekaan itu tidak diberkati Tuhan. Tuhan memberkati kemerdekaan Indonesia, karena rakjat Indonesia memperdjuangkannja sungguh-sungguh dengan kurban jang tidak sedikit. Tjita-tjita jang mendjadi pedoman bukan hanja kemerdekaan bangsa, tetapi suatu Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pelaksanaan ini mendjadi kewadjiban moril!

Ketiga, pernjataan tentang Pantjasila sebagai filsafat atau ideologi negara, iaitu Ketuhanan Jang Maha-Esa, Peri-kemanusiaan, Persatuan Indonesia, kerakjatan dan keadilan sosial. Dasar jang tinggi-tinggi ini dirasakan perlu sebagai bimbingan untuk melaksanakan kewadjiban moril jang berat itu. Pengakuan dimuka Tuhan akan berpegang pada pantjasila itu tidak mudah diabaikan. Dan disitu pulalah terletak djaminan, bahwa demokrasi tidak akan lenjap di Indonesia. Ia dapat ditekan sementara dengan berbagai rupa. Akan tetapi lenjap dia tidak. Lenjap demokrasi itu berarti lenjap Indonesia Merdeka.

Djika diperhatikan benar-benar, Pantjasila itu terdiri atas dua fondamen. Pertama, fondamen moral, jaitu Ketuhanan Jang Maha-Esa. Kedua, fondamen politik jaitu peri-kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi dan keadilan sosial.

Dengan meletakkan dasar moral diatas diharapkan oleh mereka jang memperbuat Pedoman Negara ini, supaja negara dan pemerintahnja memperoleh dasar jang kokoh, jang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kedjudjuran serta persaudaraan keluar dan kedalam. Dengan politik pemerintahan jang berdasarkan kepada moral jang tinggi diharapkan tertjapainja ~seperti jang tertulis dalm Pembukaan itu~ “suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia”. Dasar Ketuhanan Jang Maha-Esa djadi dasar jang memimpin tjita-tjita kenegaraan Indonesia untuk menjelenggarakan segala jang baik bagi rakjat dan masjarakat, sedangkan dasar peri-kemanusiaan adalah kelandjutan dengan perbuatan dari pada dasar jang memimpin tadi dalam praktik hidup. Dasar persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional jang satu dan tidak terbagi-bagi, berdasarkan ideologi sendiri.

Dasar kerakjatan mentjiptakan pemerintahan jang adil jang mentjerminkan kemauan rakjat, jang dilakukan dengan rasa tanggung djawab, agar terlaksana keadilan sosial. Dasar keadilan sosial ini adalah pedoman dan tudjuan keduan-duanja. Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan. Pemerintahan negara pada hakekatnja tidak boleh menjimpang dari djalan jang lurus untuk mentjapai kebahagiaan rakjat dan keselamatan masjarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa. Dengan bimbingan dasar-dasar jang tinggi dan murni itu akan dilaksanakan tugas jang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perdjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa-nafsu, ada terasa senantiasa desakan ghaib jang membimbing kembali kedjalan jang benar.

Demikianlah harapan kaum idealis jang merumuskan filsafat negara dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam saat jang bersejarah, jang menentukan nasib bangsa. Satu tjiptaan, mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa melaksanakannja, tetapi sebagai pegangan untuk menempuh djalan jang baik sangat diperlukan. Dasar-dasar itu menuntut kepada manusia Indonesia, kepada pemimpin-pemimpin politik dan kepada orang-orang negara untuk melatih diri, supaja sanggup berbuat baik dan djujur, sesuai dengan djandji jang diperbuat dimuka Tuhan.


DEMOKRASI HILANG SEMENTARA

Diatas dasar Pantjasila itu sebagai ideologi negara direntjanakan undang-undang dasar jang mendjadi sendi politik negara dan politik pemerintah jang dapat dibanding setiap waktu oleh Dewan Perwakilan Rakjat jang dipilih oleh rakjat menurut hak pilih jang bersifat umum dan berkesamaan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tertulis, bahwa kedaulatan adalah ditangan rakjat, dan dilakukan sepenuhnja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat.

Madjelis Permusjawaratan Rakjat ini menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara. Ia memilih Presiden dan Wakil Presiden, Ia bersidang sedikit-dikitnja sekali lima tahun. Dalam peraturan ini tersimpul maksud, bahwa pemerintah Indonesia berdasar kepada rentjana berkala, i.c. lima tahun. Peraturan tentang Madjelis Permusjawaratan, jang mempunjai kekuasaan tertinggi, menegaskan sekali lagi bahwa Republik Indonesia berdasarkan demokrasi. Madjelis Permusjawaratan Rakjat terdiri atas tiga golongan utusan rakjat. Pertama, Dewan Perwakilan Rakjat sebagai utusan politik; Kedua, utusan-utusan daerah, jang maksudnja mendjaga perimbangan antara kepentingan negara seluruhnja dan kepentingan-kepentingan bagiannja; Ketiga, utusan-utusan golongan masjarakat, untuk mendjaga supaja berbagai kepentingan ekonomi, sosial, kultur, agama, ilmu, d.l.l. dalam masjarakat dan negara terpelihara sebaik-baiknja.

Semangat demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial dan kolektif. Sebab itu mesti ada harmoni dalam pemeliharaan dan politik pemerintah, jang dapat dibanding setiap waktu oleh Dewan Perwakilan Rakjat jang dipilih oleh rakjat menurut hak pilih jang bersifat umum dan berkesamaan.Tidak dapat disangkal, bahwa pemimpin-pemimpin partai politik kita dalam masa 10 tahun jang achir ini gagal dalam melaksanakan tugasnja. Mereka lebih banjak mengabaikan dasar-dasar Pantjasila dari pada menaatinja. Dan akibatnja ialah bahwa Indonesia makin djauh terpisah dari tjita-tjitanja.

Sedjarah Indonesia sedjak 10 tahun jang achir ini seolah-olah mentjerminkan apa jang dilukiskan oleh Schiller: “Eine grosse Epoche hat das Jahrhundert geboren “Aber der grosse Moment findet ein kleines Gerschlect”. Artinja: “Suat masa besar dilahirkan abad, Tetapi masa besar itu menemui manusia ketjil”. Tetapi sedjarah memberi peladjaran djuga pada manusia. Suatu barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan djiwa jang murni, insja Allah, demokrasi jang tertidur sementara akan terbangun kembali.

LIGA DEMOKRASI

Dalam pada itu sudah berdiri sudah berdiri suatu gerakan baru, bernama Liga Demokrasi, sebagai tantangan kepada Dewan Perwakilan Rakjat gotong-rojong oleh Presiden Soekarno. Melihat perkembangan dalam waktu jang singkat ini ia bakal mendapat dukungan dari rakjat jang berdjiwa demokrasi dan dari lapisan masjarakat jang tjemas melihat kedudukan P.K.I. jang diuntungkan. Liga Demokrasi dibangunkan oleh orang-orang partai, jang partainja diikut-sertakan oleh Presiden Soekarno dalam Dewan Perwakilan Rakjat gotong-rojong dan jang tidak. Titik pertemuan mereka ialah membela demokrasi. Djika ditilik benar-benar, persatuan hati itu baru terdapat dalam menolak pembentukan Dewan Perwakilan Rakjat gotong-rojong jang tidak demokratis. Djadinja dalam pendirian negatif!

Soal jang penting jaitu sanggupkah Liga Demokrasi menggariskan pendirian bersama untuk membangun suatu demokrasi jang sehat, jang dapat ditempatkan dalam sistim Pantjasila? Demokrasi dalm sistim Pantjasila bukanlah demokrasi-demokrasian atau “demokrasi” sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi jang harus diberkati oleh Tuhan Jang Maha-Esa, sila pertama jang memimpin seluruh tjita-tjita kenegaraan kita, seperti diuraikan tadi. Demokrasi kita harus didjalankan dengan perbuatan jang berdasarkan kebenaran, keadilan, kedjudjuran, kebaikan, persaudaraan dan peri-kemanusiaan. Sjarat utama untuk melaksanakan ini - jang djuga berlaku bagi segala demokrasi - ialah adanja keinsafan tentang tanggung djawab dan toleransi dan persediaan hati melaksanakan prinsip “the right man in the right place” - orang jang tepat pada tempat jang tepat.

Dalam hal jang pokok-pokok ini untuk melaksanakan demokrasi jang sehat jang kita tjiptakan praktik politik dan kenegaraan, Liga Demokrasi harus mentjapai garis persamaan jang terang dan tegas. Djika tidak, persatuan dalam pendirian jang negatif tidak akan membuahkan suatu haluan jang positif, seperti diperlihatkan oleh sedjarah kita jang lampau. Berdasarkan garis persamaan jang positif itu dapt disusun suatu program pembangunan negara dan masjarakat, jang dasarnja putusan setjara mufakat dan pelaksanaannja dipilih menurut prinsip “the right man in the right place”. Ini menghendaki antara golongan jang bersatu dalam Liga Demokrasi pertjaja-mempertjajai dan rasa toleransi jang sebesar-besarnja. Djuga suatu Liga Demokrasi memerlukan idealisme jang umurnja lebih pandjang dari usia manusia.

Apabila Liga Demokrasi dapat meletakkan fondamen dan sendi-sendi pokok ini dalam membangun kembali demokrasi Indonesia jang dalam krisis, besar harapan ia dapat mendjadi pelopor dalam merintis djalan kembali ke demokrasi Indonesia jang sehat. [PT. PUSTAKA ANTARA DJAKARTA]


Sumber:
https://www.facebook.com/notes/arman-dhani/demokrasi-kita-oleh-dr-mohammad-hatta/10152494386033580/