Kata Pengantar
“Menjadi
Muslim menjadikan saya seorang warganegara Amerika yang lebih baik; dan menjadi
warganegara Amerika menjadikan saya seorang Muslim yang lebih baik.”
[Asma Gull
Hasan]
I
|
nilah pandangan berislamnya Asma Gull Hasan yang
lahir, tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat. Tema buku yang ditulisnya
adalah “Red, White and Muslim” My Story
of Belief yang berisikan pandangan-pandangannya sebagai seorang muslimah terhadap
Islam dengan “ke-Amerika-annya” di Amerika serikat. Walaupun ia berusaha
menjelaskan bahwa ajaran Islam kompatibel dengan Amerika sebagaimana yang ia
katakan sendiri: “Menjadi Muslim menjadikan saya seorang warganegara Amerika
yang lebih baik; dan menjadi warganegara Amerika menjadikan saya seorang Muslim
yang lebih baik.”
Namun bagaimana pendapat dari warga Amerika sendiri dari yang
non-Muslim yang membaca - dalam pengertian mereka tentang Islam itu sendiri?
Untuk itu kami ambilkan dari seorang Katolik dan seorang penganut Kristen sendiri
yang menyebutkan sebagai berikut:
Ulasan John_Pappas. Bacaan yang bagus untuk
memahami ajaran Islam yang kebanyakan orang
Amerika non-Muslim tidak pernah melihatnya. Sebenarnya Ajaran Islam ini menyajikan sebuah platform lembut bagi Amerika sebagai tanah yang sempurna untuk sebuah Negara
Islam - tapi pemerintahannya tidak dijalankan oleh kaum agamawan,
melainkan oleh ajaran nilai-nilai etis dan
moral
yang sebenarnya sejajar dengan ajaran
Islam.
Sebenarnya persoalan dalam Islam adalah, suatu prinsip utama (bagi Barat) adalah budaya “politik radikal” dan budaya “merendahkan
perempuan” yang selama bertahun-tahun meningkat,
hendaknya Islam kembali ke basis kemajuan. []
Ulasan Juglicerr. Reaksi saya terhadap buku ini mendua. Di satu sisi, Asma Gull Hasan adalah seorang pawang
sejati, dan mudah disukai. Dia memang memberikan satu harapan agar umat Islam
bisa bergabung ke dalam masyarakat Amerika. Bukunya dapat membantu orang
memahami bahwa Islam dan Muslim berbeda-beda dan mereka sama sekali bukan
fanatik.
Di sisi lain, dia (Asma) tidak mewakili dari “keragaman” Islam lainnya, dan beberapa Muslim telah mengkritiknya
karena kurang taat dalam menjalankan (sebagian ajaran) Islam. (Dengan nada sinis) Sangat menarik untuk membaca buku ini bersama dengan “Wafa Sultan A God Who Hates” (Dr. Wafa Sultan seorang
wanita imigran keturunan Arab yang keluar dari agama Islam, kemudian aktif dan vokal
memberikan opini yang menyudutkan Islam).
Jadi, walaupun kita mungkin menyukai Hasan dan kerabatnya yang menarik, dia
tidak berbicara untuk semua umat Islam. Saya membedakan antara Islam dan Muslim
individu, sama seperti pengabaian Kekristenan saya tidak membuat saya memusuhi
semua orang Kristen.
Ada yang sangat
liberal
(luar biasa) dari kaum pendatang ini, mereka datang ke sini karena mereka menyukai suasana sosial dan
politik
di Amerika. Yang lainnya membenci
Amerika Serikat (AS) dan tidak
ingin berintegrasi ke dalam masyarakat sipil (yang dipraktekkan di Amerika
ini). Ada kemungkinan dan dapat diterima
dalam batas tertentu, untuk (muslim yang berada dan) hidup mempunyai peraturan tersendiri, seperti yang dilakukan orang Amish, namun mereka
menerima konsekuensi dari hidup di luar arus utama (mainstream), dan (sebaiknya) penolakan (dari kebiasaan Barat yang telah ada
ini) bebas untuk meninggalkan
Amerika.
Ada kasus supir taksi
di Minnesota yang berjuang untuk diizinkan menolak layanan taksi kepada siapa
pun yang memiliki alkohol yang mereka miliki; atau seekor anjing (seperti orang buta dengan anjing penolongnya); atau orang
tua yang menginginkannya anak-anak
mereka dibebaskan dari sekolah pada hari Jumat pagi; atau orang lain yang meminta agar diizinkan untuk
menolak menjual produk alkohol atau daging babi di toko bahan makanan, daripada
mengatakan, menemukan pekerjaan dimana produk tersebut tidak dijual. Yang
paling mengganggu, ada "pembunuhan demi kehormatan" dari
"terlalu banyak" anak perempuan mereka kebarat-baratan, seperti ketika Noor Almaleki dengan sengaja dipaksa ayahnya untuk menjalankan aturan Islam. Mereka seperti Orang Amish, paling buruk, menghindari kehidupan
duniawi.
Saya tidak berpikir bahwa dia cukup berurusan dengan kekerasan agama Muslim. Dia mengatakan bahwa kebanyakan Muslim tidak menyetujuinya, tapi kita pasti tahu bahwa beberapa Muslim melakukannya, dan nampaknya sangat jarang bagi umat Islam untuk menentangnya, itulah yang benar-benar mengganggu saya.
Ketika saya kuliah,
profesor saya menggunakan Islam sebagai model toleransi dan keragaman damai
untuk mempermalukan agama Kristen. Kurasa dia tidak akan melakukannya sekarang.
Bahkan jika seseorang menganggap keluhan Muslim terhadap AS dan mempedulikan peristiwa seperti 9/11, ada sejumlah kekerasan agama yang
mengerikan di dunia Muslim, mungkin sebagian besar korbannya adalah sesama
Muslim
juga. Dalam bukunya yang sangat bagus,
Taliban (telah ada sebelum
9/11), wartawan Pakistan Ahmed Rashid menegur dunia Muslim karena tidak
mengutuk penggunaan hukum syariah yang tidak semestinya sebagai alasan untuk
melakukan kekerasan dan penindasan.
Kembali ke Amerika
Serikat, saya kutip dari suatu artikel dari Yahoo: “Beberapa
orang
Muslim yang berada di Amerika mengatakan
bahwa organisasi nasional mereka berbagi menyalahkan (tindakan teroris
itu tidak baik), untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit tentang Islam
dengan omong kosong ... Pemimpin Muslim sering merespons ketika teroris
menyerang dengan mengatakan Islam adalah "agama damai" yang tidak
memiliki peran dalam kekerasan”. Para pengeritik
Muslim ini mengatakan demikian, padahal sebenarnya Amerika dalam menghadapi terorisme ini sangat khawatir akan terjadi lagi.
"Ada keanehan dan kenaifan atau terang-terangan yang langsung
menganggap tidak ada masalah dari beberapa
persoalan
yang sangat kompleks ini". Demikian
kata Saeed Khan, seorang pengajar di
Wayne State University di Detroit.
Ada sesuatu masalah kecil yang menjengkelkan: Dia
mengeluh dengan panjang lebar sehingga orang mengucapkan nama depan ASMA, diucapkan AH-SEE-MA. (Katanya) kapan hal itu harus diucapkan AH-S[EE]-MA.
Apakah dia pernah mempertimbangkan untuk memasukkan vokal seperti "i"
atau "e" di tengah, untuk mewakili suara vokal yang tidak
tepat (dari pengucapan yang semestinya dari lidah Amerika)?
Jadi saya berharap ini
akan mendidik siapa saja yang selalu menganggap bahwa semua Muslim adalah pelaku kekerasan. Saya yakin bahwa perasaan seperti
itu (dirasakan) -akan diterima- oleh berbagai masyarakat Kristen sedunia yang taat.
Tapi saya tidak berpikir seperti itu, namun perlu semua masalah yang ada ditangani benar-benar, dengan
itu meyakinkan orang Amerika supaya tidak
perlu khawatir yang berlebihan seperti
tersebut diatas. []
Baik
untuk itu mari ikuti tulisan pembedah buku “Red, White and Muslim” - The Story of Belief yang disampaikan
secara tertulis dan lisan oleh salah seorang anggota pendiri IMAAM, Abdul Nur
Adnan. Beliau lulus dari jurusan Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1966. Selama di
Amerika bekerja di Voice Of America,
Washington DC. □ AFM
BEDAH BUKU:
RED, WHITE AND MUSLIM
The Story of Belief
Pembedah: Abdul Nur Adnan
B
|
uku berjudul “Red, White and Muslim”, ini
ditulis oleh Asma Gull Hasan, seorang pengacara Muslimah kelahiran Chicago. Ia
menulis, menjelaskan berbagai pokok ajaran Islam yang dengan pandai ia rangkai
dalam sebuah tulisan semi-otobiografi. Buku ini dipuji oleh orang-orang seperti
Fareed Zakaria, [1] yang mengatakan “will
rock your stereotype about Islam.” Reza Aslan, [2] penulis buku No God but God menganjurkan agar “every American should read.”
Asma Gull Hasan lahir di Chicago dari seorang
ayah yang terpaksa pindah ke Amerika karena di negri kelahirannya, India, ia
diusir ketika Pakistan memisahkan diri dari negri Asia Selatan itu, dan seorang
ibu yang asalnya dari bermacam-macam Negara dari India sampai Uzbekistan.
Ayahnya seorang dokter yang semula tinggal di Chicago kemudian pindah ke kota
kecil Pueblo, 100 miles dari Denver di Colorado. Asma mendapat pendidikan di sekolah-sekolah
Katholik, tetapi kepengacaraannya ia peroleh dari Sekolah Tinggi Hukum, Universitas
New York dan Wellesley College. Ia lulus dengan baik, summa cum laude dan akhirnya menjadi pengacara, lawyer. Ia dalam tahun-tahun 2000-an
sering muncul dalam saluran-saluran TV Nasional, menjadi pundit dalam Fox News
atau acara CNN seperti Anderson Cooper
360o dan O Reily Factor.
Pertama-tama saya ingin menganjurkan agar buku
ini dibaca oleh para da’i yang ingin berda’wah di Amerika. Bukan karena isi
yang menyangkut Islam dalam buku ini semuanya benar, tapi paling tidak dalam
buku ini dikemukakan pertanyaan-pertanyaan apa yang mungkin diajukan oleh
non-Muslim di Amerika, baik yang berniat baik, maupun yang berniat tidak
baik. Dan orang-orang yang berda’wah itu
agar siap menghadapi “musuh” mereka bukan hanya orang-orang Amerika non-Muslim
tapi kadang-kadang orang Islam sendiri.
Dua pandangannya yang mungkin kurang dapat
diterima oleh mayoritas Muslim di Indonesia adalah:
1. Ia, setidaknya sampai ia menulis buku itu,
wanita karier Muslim yang tidak berjilbab. Dan ketika dalam sebuah seminar
mengenai Islam ia menjadi seorang pembicara, seorang yang tampaknya Muslim
(karena namanya Arab) mendekatinya dan mengatakan ‘how dare you call yourself a Muslim’ hanya karena ia tidak menutup
rambutnya. Ia mempunyai alasan untuk itu, sayang alasannya tidak dikemukakan
dalam buku ini. Hanya dalam sebuah
wawancara (yang bisa di google) ia mengatakan bahwa berhijab dan tidak berhijab
itu baginya tidak penting, yang penting apa yang ada dalam hatinya (hampir sama
dengan pendapat Quraisy Shihab, ya).
2. Ada juga komentarnya, bahwa di akhirat nanti
mungkin saja dia (yang Muslim) akan bertemu dengan sahabat karibnya (yang
non-Muslim) di sorga. Ia kemudian mengutip Surat Al Baqarah, ayat 62: yang
artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani
dan orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta
beramal shalih, maka untuk mereka pahala mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran menimpa mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Ayat ini bagi Asma menunjukkan orang-orang
non-Muslim pun bisa diterima amal ibadah mereka oleh Tuhan. Sudah tentu
pendapat mayoritas umat Islam mungkin sejajar dengan pendapat Buya HAMKA dan
Prof Quraisy Shihab dalam kitab tafsir mereka. Mereka pada pokoknya mengatakan,
tidaklah benar kalau orang kemudian menafsirkan ayat
itu sebagai semua agama itu sama di mata Tuhan.
Kuncinya adalah pada “man āmana”, siapa yang beriman kepada Allah. Dan iman kepada Allah, kata Buya Hamka, pada
akhirnya harus juga beriman kepada semua rasul Allah, termasuk Nabi Muhammad
dan kitab suci yang diturunkan, termasuk Al Qur’anul Karim.
Asma juga mengutip pendapat Karen Armstrong,
mantan biarawan yang banyak menulis buku tentang agama, termasuk agama Islam
(dan buku-bukunya itu biasanya dapat diterima oleh scholars Muslim), yang
–katanya—mengatakan bahwa “Tuhan pada hari kiamat nanti akan mengampuni setan.”
(Saya belum pernah mendengar ini). Ini barangkali sesuatu yang perlu
klarifikasi.
Kita boleh tidak setuju dengan pendapatnya
mengenai masalah ini, tapi kita sedang menghadapi non-Muslim dalam suatu
seminar, misalnya. Kita dapat
mengemukakan alasan-alasan kita sambil menambahkan “ada pula yang berpendapat
lain.”
Penjelasan-penjelasan mengenai aspek-aspek
pandangan Islam yang lain pada umumnya dapat diterima. Jawaban-jawabannya cukup
cerdas, itulah mengapa saya menganjurkan agar para da’i kita membacanya,
sekedar untuk bekal dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan public Amerika nanti.
Buku ini pun dia tulis setelah ia menghadapi pertanyaan-pertanyaan public
Amerika yang sebagian besar non-Muslim.
Ada bagian yang menurut saya agak dramatis
diceritakan dalam buku ini. Di halaman 119 diceritakan begini (saya kutip agak
panjang):
“Ketika
aku untuk pertama kalinya membaca surat ke 4, ayat 11 dalam Al Qur’an dalam
mempersiapkan diri diskusi dalam klas untuk mata kuliah mengenai agama Islam di college, saya pikir
ayat ini betul-betul tamparan pada sexism ku. Ayat itu berbunyi: ‘Mengenai
warisan untuk anak-anakmu, Tuhan memerintahkan agar anak laki-laki mendapat dua
bagian dari anak perempuan.’ (4:11). Tunggu, apakah maksud ayat dalam
Qur’an ini dua anak perempuan bernilai satu anak laki2? Apakah kecaman mengenai
Islam tentang perempuan itu ternyata memang benar? Mengapa orang tuaku tidak
pernah memberitahuku tentang ini? Dengan marah aku mengecam orang tuaku, yang
selama ini memberitahuku mengenai hal-hal yang
baik saja mengenai apa yang dikatakan oleh Islam tentang perempuan.
Paginya
ketika aku memasuki ruang kuliah aku siap adu argumentasi, tetapi aku tidak yakin
aku ini marah kepada siapa, yang jelas aku merasa dikhianati. Bagaimana mungkin
aku akan melawan Tuhan? Aku berusaha tetap kalem sementara dosenku memulai
kuliahnya, sambil berharap teman-temanku sesame mahasiswa tidak melototkan mata
mereka ke arahku. Aku begitu marah, sampai aku merasa kulitku mau terbakar.
College-ku
adalah college yang mahasiswanya semua perempuan. Teman-teman sekuliahku tidak akan bisa menerima diskriminasi seperti
ini, dan seperti yang sudah-sudah mereka akan mendatangiku untuk memperoleh
penjelasan mengenai sesuatu yang bagiku tidak dapat dimaafkan mengenai Islam.Kalau
bicara mengenai Perang Salib di sebuah sekolah Katholik OK-lah, tetapi masalah
pembagian waris ini mempengaruhiku sebagai seorang perempuan. Kemungkinan aku
akan harus berhadapan dengan tentara Kerajaan Romawi (dalam Perang Salib) jelas
nol. Tetapi kemungkinan aku akan
memperoleh warisan adalah besar dan sekarang masalah ini akan
dihadapkan ke pengadilan dengan Dewan Jury yang terdiri dari kawan-kawan ku
sekelas…
Aku
akhirnya berhenti merasa panik dan memusatkan perhatian kepada dosenku. Ia memulai dengan mengatakan ayat ini
tampaknya memang ‘sexist’. No kidding! Kataku
dalam hati. Mengapa buang-buang waktu? Cepat-cepat saja bicara mengenai hal itu
agar kita cepat sampai pembicaraan mengenai Inquisisi dan menyelesaikan kuliah
ini cepat-cepat. Apa yang dikatakan oleh dosenku kemudian membuat aku
betul-betul surprise. Dia mengatakan ‘ayat itu
tidak seburuk seperti yang kita baca.’ Ia menjelaskan bahwa dalam ayat
selanjutnya dikatakan seorang laki-laki harus menanggung semua kebutuhan rumah
tangga, termasuk kebutuhan makan dan kebutuhan istrinya. Sebaliknya perempuan,
tidak mempunyai tanggung jawab seperti itu dalam Qur’an. Uang yang ia miliki
sepenuhnya miliknya di mata Tuhan. Tuhan tidak akan menghukumnya kalau dia
tidak mau menggunakan uangnya untuk membeli makanan atau pakaian untuk anggota
keluarga yang lain meskipun hal itu diperlukan. Jadi logika Qur’an itu adalah
laki-laki seharusnyalah menerima warisan yang lebih dari perempuan karena ia
akan harus menggunakan sekurang-kurangnya separuh penghasilannya untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga…Bahkan pendapat beberapa fuqaha , kalau istri minta
disediakan pembantu atau perawat untuk mengurusi anak-anak suami harus
memenuhinya dengan uangnya sendiri….Kalau perempuan dengan sukarela membantu
dengan memberikan uangnya untuk kebutuhan rumah tangga, itu dianggap sebagai
sedekah. “ Bagitulah “drama” dalam klas kuliah Asma.
Akhirnya, Asma berkesimpulan: “setelah beberapa
tahun kemudian aku mengambil kuliah Trusts
and Estate, aku baru bisa mengapresiasi betapa komprehensifnya Qur’an itu. Bahkan di AS, dengan berbagai hukum
dan kasus tentang waris-mewaris ini, (mereka) belum dapat mencapai
kesederhanaan dan logika hukum waris
seperti dalam Al Qur’an.”
Berikut beberapa pandangan Asma mengenai wanita
dalam Islam:
- Bahkan dengan standard sekarang, Qur’an sangat progresif mengenai masalah perempuan.
- Qur’an adalah salah satu dokumen historis pertama yang mengakui hak perempuan untuk memilih pasangannya sendiri. Juga perempuan bebas untuk mencerai suaminya.
- Qur’an menginstruksikan kepada orang-orang mukmin untuk menghormati, bahkan hampir-hampir memuja ibu mereka.
- Tanpa Khadijah, Islam tidak akan pernah ada (Islam would not exist). Aishah adalah cendekiawan Islam pertama.
- Nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Amerika: Salah satu bab dalam buku ini yang menarik adalah yang berbicara mengenai beberapa nilai Islam (Islamic values) yang ia katakan sejajar dengan nilai-nilai Amerika yang utama (core American values). Judul bab yang membahas masalah ini adalah “Being Muslim Makes Me a Better American, and Being American Makes me a Better Muslim.” (Ke-Musliman Saya Menjadikan Saya Warga Amerika yang Lebih Baik – dan KeAmerikaan Saya Menjadikan Saya seorang Muslimah yang lebih baik). Atau Seorang Muslim yang baik adalah seorang warganegara yang baik. Bagaimana ini berlaku di Amerika?
- Pertama-tama Asma menyatakan pendapat bahwa budaya lokal selalu mempengaruhi praktek keagamaan seseorang. Sebagian pengaruh itu tidak mempengaruhi pokok ajaran agama. Ia menyebut apa yang populer disebut FGM, Female Genital Mutilation, atau sunnat wanita. Ini budaya lokal yang sudah ada sejak pra Islam. Dan prakteknya pun berbeda-beda. Apa yang dilakukan di Negara-negara Afrika tertentu akan berlainan dengan yang dilakukan di bagian dunia lain. Jadi orang harus bisa memisahkan mana yang betul-betul ajaran agama (Islam) dan mana yang kultural. Orang tidak akan bisa menemui ayat yang memerintahkan hal ini. (Saya pernah membaca, bahwa praktek ini memang tidak disuruh oleh Nabi, tapi juga tidak dilarang.)
- Dalam hal perkawinan, yang pokok, yaitu nikah, menurut Islam di mana-mana sama. Tapi aspek-aspak lainnya (Asma menyebutnya “the colorful aspect”) bisa berlain-lainan. Acara perkawinan di India, misalnya, bagi Muslim nikahnya akan sangat berbeda dengan pernikahan para penganut Hindu. Tapi dalam hal-hal lain, pakaian yang dikenakan, makanan yang dihidangkan, tempo dan disain, acara perkawinan Muslim Pakistan mempunyai banyak kesamaan dengan perkawinan Hindu. (Demikian juga di Indonesia, bahkan di antara daerah satu dan daerah lain bervariasi, namun acara nikahnya sama).
Menurut penulis buku ini, dari semua budaya di
dunia, nilai-nilai Islam yang sejati seperti terkandung dalam Al-Qur’an dan
kahidupan Nabi Muhammad SAW mirip dengan (beberapa) nilai yang dimiliki warga
Amerika. “Nilai Islam dan nilai Amerika saling memperkuat satu dengan yang
lainnya.” Katanya, Ia menunjuk sebagai contohnya misalnya kewajiban zakat, atau
memberikan bantuan kepada orang lain adalah nilai-nilai Islam, tetapi juga
nilai-nilai Amerika.
Al-Qur’an mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang memberi sedekah, baik pria maupun wanita,
…. akan dilipatgandakan pahala mereka, dan mereka akan memperoleh pahala yang
besar.” (QS Al-Hadid/57:18).
Menurut pengamatan Asma, di Amerika pun
memberikan bantuan kepada mereka yang kurang beruntung sangat didorong (oleh
karena itulah sumbangan dapat mengurangi pajak). Baik budaya Islam dan budaya
Amerika keduanya mengajarkan kepada kita aktif dalam kegiatan masyarakat,
bekerja keras dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. “Pada akhirnya,”
kata Asma “menjadi warga Amerika yang baik tidaklah beda dengan menjadi Muslim
yang baik. Islam memvisikan sebuah
masyarakat yang adil, dimana sesama warga saling menghormati dan menghargai, di
samping diperlakukan dengan baik, begitu pulalah warga yang baik yang divisikan
di Amerika ini.” Pernyataan begini (pendapat saya) dapat juga diterapkan pada
masyarakat Indonesia. “Islam mem-visi-kan sebuah masyarakat yang
adil, di mana sesama saling menghormati dan menghargai, diperlakukan dengan
baik, begitu pulalah warga yang baik yang di-visi-kan UUD kita.”
Masyarakat yang baik yang diinginkan oleh para
pendiri Amerika tidak jauh berbeda dengan masyarakat menurut visi Nabi Muhammad
ketika beliau menggariskan apa yang oleh para sejarawan Muslim sekarang disebut
sebagai “Konstitusi Madinah”atau “Piagam Madinah.”
Konstitusi Madinah – inilah yang sering
mengejutkan orang yang baru mengenal sejarah Islam dan membandingkannya dengan
sejarah negri ini. Nabi Muhammad SAW menulis konstitusi ini pada tahun 622,
menyatakan hak-hak warga. Konstitusi
Madinah pada umumnya menyatakan bahwa masyarakat Madinah terdiri dari Muslim, Yahudi
dan Penyembah Berhala (pagan). Orang Kristen belum ada di Madinah waktu itu.
Konstitusi Madinah menyuruh agar para warga Madinah saling tolong-menolong dan
mereka terikat sejak adanya konstitusi itu sebagai warga Madinah. Kebhinekaan
agama ini sudah ditulis dalam piagam Madinah itu. Konstitusi Amerika, tulis
Asma, disusun juga untuk menyatukan berbagai kelompok yang bersama-sama telah
berjoang menghadapi penindas mereka. Motivasi kedua konstitusi itu tidak jauh
berbeda.
Kemudian, Asma mencurahkan perhatian pada
khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW (khutbatul
wada’) sebelum beliau meninggal dunia. Dalam khutbah itu, beliau
mengemukakan persamaan semua manusia, hak yang telah melekat pada diri mereka
sejak lahir. Nabi mengatakan:”semua orang berasal dari Nabi Adam dan Siti Hawa,
orang Arab tidak lebih tinggi derajatnya daripada non-Arab, demikian pula non-Arab tidak lebih tinggi
daripada orang Arab. Orang berkulit putih tidak lebih tinggi derajadnya
daripada orang berkulit hitam; orang hitam juga tidak lebih tinggi daripada
orang kulit putih. Perbedaan terletak
pada tingkat ketaqwaan dan amal shalih mereka….olehkarena itu berlakulah adil
satu sama lain..” Nabi mengakhiri khutbahnya dengan menandaskan bahwa “kalian
adalah bersaudara dan kalian adalah setara.”
Khutbah terakhir Nabi (Khutbatul wada’) juga
mengandung nilai-nilai paling penting dalam Islam, seperti nilai-nilai yang
telah dikemukakan juga tentang hak-hak wanita dan hak milik. “Nilai-nilai itu
adalah juga nilai-nilai Amerika,” tulis Asma. Nilai-nilai Amerika yang
menyebutkan bahwa semua warga berhak memiliki property secara bebas,
menggunakan hak-hak politiknya, memberikan suaranya dalam pemilu, pokoknya
mereka adalah warga yang bebas.
George Washington, Presiden Amerika yang
pertama, sebenarnya - kalau mau- akan dengan mudah memaklumkan berdirinya
sebuah monarki dan memaklumkan dirinya sebagai raja. Demikian pula Nabi Muhammad. Tetapi mereka
adalah orang-orang revolusioner, kata Asma penulis buku “Red, White and Muslim”
ini. Washington tidak menghendaki menjadi raja, tetapi seorang pemimpin yang
dipilih di antara rakyat banyak, seorang pemimpin yang secara demokratis
dipilih oleh rakyat. Beberapa ratus tahun sebelum Washington lahir, seorang
laki-laki lain menyatakan keinginan agar seorang pemimpin masyarakatnya juga
dipilih secara demokratis (istilahnya waktu itu tentu bukan demikian, tetapi
secara musyawarah). Menjelang beliau wafat pada tahun 632 beliau
menginstruksikan kepada umatnya agar memilih pengganti dirinya di antara mereka
sendiri. Menurut Asma, ini mungkin yang pertama kali di Arabia dan di bagian-bagian dunia lain bahwa
seorang pemuka masyarakat mendukung “the
ideal of democracy.” Asma juga
menyebutkan bahwa “the Qur’an was a
declaration of independence in itself,” firman Tuhan yang diturunkan ke
bumi, yang menyatakan bahwa “all
humankind is created equal.” Sekarang, baik umat Islam maupun warga Amerika
(bisa juga saya tambahkan warga Negara Indonesia dan Negara-negara manapun di
dunia) menghadapi tantangan untuk mewujudkan gagasan-gagasan yang telah
digariskan dalam kitab suci dan UUD mereka.
Penulis buku “Red, White and Muslim”, Asma Gull
Hasan, akhirnya menjawab pertanyaan, setelah Peristiwa 9/11, apakah ia
menganggap dirinya pertama-tama sebagai Muslim atau orang Amerika (Muslim first, or American first). Pertanyaan yang ia jawab, barangkali dapat
dikategorikan sebagai jawaban yang diplomatis, “I am both first at the same time.” Ia katakan seperti itu, karena
menurutnya, menjadi Muslim dan warganegara Amerika bukanlah dua hal yang
berlawanan, bahkan kadang-kadang saling overlap (tumpang tindih). Lalu dia
tegaskan “menjadi Muslim menjadikan saya seorang warganegara Amerika yang lebih
baik; dan menjadi warganegara Amerika menjadikan saya seorang Muslim yang lebih
baik.” □
PENUTUP
D
|
emikian uraian dari pembedah buku, Abdul Nur Adnan
dari buku Red, White and Muslim, My Story of Belief oleh Asma Gull Hasan, merupakan kisah perjalanan kepercayaan Islamnya
sebagai warga Amerika. Disampai oleh pembedahnya selama 40 menit di forum Bedah
Buku IMAAM. Namun beliau menyebutkan pula ada juga yang tidak disebutkan dalam pembahasan
buku ini yang menarik dan penting seperti komentar-komentarnya yang tidak (dituliskan)
disampaikan disini karena keterbatasan waktu dan sebaiknya langsung saja dibaca
buku tersebut.
Disamping juga ada yang kontroversial (pro dan
kontra) dalam buku itu misalnya tentang LGBT yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, setidaknya itulah pengetahuai keislaman yang disampaikann oleh Asma Gull
Hasan sebagai kisah perjalanan kepercayaan Islamnya sebagaimana di lahir,
tumbuh dan berkembang di Amerika.
Pimpinan
acara bedah buku ini adalah Imam Masjid IMAAM, Ustadz Fahmi Zubir sekaligus
memberikan komentar atau pandangannya tentang ajaran-ajaran Islam baik
berdasarkan dari Al-Qur’an maupun Hadits Rasul serta para Imam Kontemporer lainnya
seperti Syeikh Yusuf Al-Qadharawiy, dan juga dari peserta bedah buku lainnya
yang selanjutnya dapat dikuti selama 42:28 menit berikutnya.
Selanjutnya dapat diikutilah video youtube ini.
40 menit pertama penyampaian bedah buku oleh pembedah, setelah itu diskusi atau
komen dari peserta dan kesimpulan oleh pimpinan acara bedah buku. □ AFM
Video forum Beda Buku IMAAM -klik--> WHITE, RED,AND MUSLIM
Catatan Kaki:
[1] Fareed
Zakaria. Fareed Rafiq Zakaria (lahir 20 Januari 1964) adalah seorang jurnalis
dan penulis Amerika. Dia adalah pembawa acara CNN's Fareed Zakaria GPS dan
menulis kolom mingguan untuk The Washington Post. Dia telah menjadi kolumnis
untuk majalah
mingguan Newsweek, editor Newsweek
International, dan editor pada umumnya majalah mingguan Time. Pendidikan: Universitas Harvard (1993), Katedral dan John
Connon School, Universitas Yale. Ia seorang warganegara Amerika- India.
[2] Reza Aslan
(lahir 3 Mei 1972) adalah seorang penulis Iran-Amerika, intelektual publik,
ilmuwan studi agama, produser, dan pembawa acara televisi. Dia telah menulis
tiga buku tentang agama: Tidak ada tuhan selain Tuhan: Asal Usul, Evolusi, dan
Masa Depan Islam, Melampaui Fundamentalisme: Menghadapi Ekstrimisme Keagamaan
di Era Globalisasi, dan Zelot: Hidup dan Masa Yesus dari Nazaret. Aslan adalah
anggota American Academy of Religion, Society of Biblical Literature, dan
Asosiasi Studi Al-Qur'an Internasional. Dia juga seorang profesor penulisan
kreatif di University of California, Riverside. Pendidikan Santa Clara University (BA); Universitas Harvard (MTS); Universitas Iowa (MFA); University of California, Santa Barbara (PhD).
Sumber:
Bahan tertulis dari Abdul Nur Adnan, Pembedah
Buku
https://en.wikipedia.org/wiki/ https://www.facebook.com/aguswirelesss/videos/1392315164205710/