Kata Pengantar
Pada hari Sabtu di ruang perpustakaan IMAAM
CENTER, Silver Spring, Maryland, disibukkan oleh acara bedah buku yaitu tanggal
20 Agustus 2016. Buku yang dibedah berjudul
“Good Morning, Mr. Paul”, nama pengarangnya Paul Burghdorf (PB) yaitu Mr. Paul sendiri.
Oleh pembahas buku ini diberi tema “Pengalaman Seorang Relawan Peace Corps di Indonesia”
PB bertugas di Indonesia sebagai anggota
Peace Corps yang bahasa Indonesianya disebut
sebagai “Relawan Pembangunan”. PB diutus oleh pemerintah Amerika sebagai pelatih
olahraga dalam rangka Olympic Games 1964 di Tokyo, Jepang.
Uraian
pembahasan dari kisah relawan pembangunan ini dapat diikuti dalam blog IMAAM BOOK
DISCUSSION. Mari ikuti pembahasannya seperti tersebut dibawah ini. Selamat
menyimak. □ AFM
PENGALAMAN
SEORANG RELAWAN
PEACE
CORPS DI INDONESIA
Oleh: Abdul
Nur Adnan, nara sumber
K
|
ita
bisa melihat buku ini dari berbagai perspektif.
Kita bisa melihatnya, sebagai pengalaman seorang anak muda dengan segala
khayalan idealnya, tapi menemukan kenyataan yang berlainan. Kita bisa juga melihatnya sebagai gambaran
keadaan, ketika Indonesia penuh dengan hingar bingar revolusi yang belum
selesai, ganyang sana ganyang sini, melupakan kewajibannya untuk
mensejahterakan rakyatnya. Bisa juga kita lihat dari sudut hubungan
Indonesia-Amerika pada tahun-tahun “vivere
pericoloso” yang sedang mengalami titik tinggi, atau secuil sejarah alat
diplomasi Amerika yang dicanangkan oleh Presiden John F. Kennedy pada tahun
1960-an yang masih terus berlanjut sampai sekarang (th 1960: 17 orang,
sekarang: 119 orang; dimulai lagi sejak 2011. Seluruhnya: 310)
Kisah dalam buku ini adalah kisah
seorang anak muda, yang belum lulus dari college, tempat ia belajar Bahasa
Inggris, dan menjadi pelatih olahraga (coach). Pidato Presiden John F. Kennedy
dalam inaugurasinya tampaknya sangat berpengaruh dalam dirinya, terutama
kata-kata “Ask not what your country can
do for you, but ask what you can do for your country!”. Iya, ya apa yang
dapat aku lakukan untuk negriku? Pertanyaan Paul, si anak muda dari California
itu. Ketika Presiden Kennedy meluncurkan
sebuah program baru, Peace Corps (yang
di Indonesia diubah menjadi Sukarelawan Pembangunan), Paul merasa menemukan jawabannya.
Ia tidak ragu lagi, mendaftarkan diri, karena ia juga sudah lama berangan-angan
menjadi “drifter” yang berkelana melihat dunia.
Peace Corps (PC) adalah
program, dimana Pemerintah Amerika mengirim warga mudanya dari berbagai
keahlian ke Negara-negara yang bersedia menerima mereka, untuk membantu
negri-negri yang menerima mereka itu melatih warga mereka dalam berbagai bidang
yang mereka butuhkan.
Indonesia waktu itu (th 1964)
membutuhkan para pelatih olahraga yang akan dikirim ke Olimpiade Tokyo dan juga
untuk mengajar Bahasa Inggris. Paul adalah seorang di antara 16 orang yang
dikirim ke Indonesia, berdasarkan persetujuan antara Presiden Kennedy dan
Presiden Sukarno, ketika yang terakhir itu melawat ke AS. Sebelum berangkat,
tentu saja mereka disiapkan terlebih dulu.
Belajar Bahasa, kebudayaan Indonesia dan keadaan geografis negri itu, di
antara yang harus diketahui terlebih dulu. Ini dikursuskan di Universitas Iowa
selama beberapa hari. Satu hal yang tampaknya tidak terlalu baik dipersiapkan
bagi mereka, yaitu mengenal dengan baik hubungan Indonesia-Amerika yang sedang
memburuk waktu itu dan situasi politik dalam negri Indonesia, dimana PKI sedang
mempersiapkan kudeta. Karena itu tidak mengherankan kalau mereka terkejut
ketika tiba di Kemayoran dan disambut dengan demo oleh Pemuda Rakyat yang
berteriak-teriak “Yankee, Go Home!”
sambil melempari bis mereka dengan batu. Tapi mereka dikawal pasukan keamanan
Indonesia, jadi aman.
Paul dan seorang temannya
ditempatkan di Palembang. Mereka menjumpai bahwa tuan rumah (Pemerintah
Indonesia) ternyata tidak siap menerima mereka. Mereka dibiarkan berbulan-bulan
tanpa program, sehingga mereka bertanya-tanya: Bukankah sudah ada kesepakatan
antara Presiden Sukarno dan Presiden Kennedy mengenai hal ini? Untuk sementara
mereka ditempatkan di sebuah “hotel”, bernama Swarna Dwipa. Paul harus
membiasakan dengan toilet yang terdiri dari dua bata disemen di kanan-kiri
sebuah lubang. Tukang bersih kamarnya, mengepel lantai kamar mandi dan
kamarnya, dan kain pel itu dipakai juga untuk membersihkan alat-alat makan. Dan
meskipun kamar itu tampaknya terlindungi, tapi pakaian mereka berkali-kali
dicuri.
Dan kecoak di rumah seorang perwira
tentara yang akhirnya mereka tempati. “Tidak tahu lagi berapa kecoak yang kami
bunuh tiap malam,” katanya, “Ratusan, ya ratusan!” (Masak, sih?)
Pengalaman di kantor pos pun,
membuat kita bertanya, begitukah keadaan sebenarnya, karena di Kantor Pos Yogya
waktu itu, keadaannya jauh lebih baik. Pengalamannya
begini: untuk mengeposkan sepucuk surat, dia harus datang ke Kantor Pos. Antri untuk menimbang surat, kemudian antri
lagi di barisan lain untuk beli prangko dan antri di tempat lain untuk
mengeposkan.
Karena tugas coaching tidak begitu
laku (Palembang is not ready),
akhirnya Paul menerima tawaran untuk mengajar Bahasa Inggris di Universitas
Sriwijaya, menggantikan pengajar sebelumnya dari Selandia Baru yang pulang. Ini
terjadi pada saat kaum komunis meningkatkan serangannya terhadap apa pun yang
berbau Amerika. Buku-buku di perpustakaan USIS dibakar, dan “Ganyang Malaysia,
Ganyang Kaum Imperialis Inggris dan Amerika!” terdengar dimana-mana. Kemudian
ada orang-orang tak dikenal yang membisikkan kepada Paul “leave the university, or else!” Poster pun diacung-acungkan: “Kick Mr. Paul from the University!”
Mahasiswa-mahasiswa pun diintimidasi agar jangan mengikuti kuliah Mr. Paul.
Tetapi para mahasiswanya tampaknya tidak peduli dengan intimidasi itu.
Pengalaman ketika mengadakan piknik dengan
para mahasiswanya. Paul ingin ke “kamar kecil.” Parr mahasiswanya sambil
cekikikan menunjukkan kearah sungai. Di bagian paling sempit sungai itu ada
“jembatan” darurat, dari papan yang tidak begitu kuat. Tampaknya disitulah
orang pada membuang hajat. Paul agak kagok, tapi dia jongkok juga “in my best
Asian style.” Naas, papan itu patah dan Paul jatuh ke comberan kakus itu. Yuck,
tapi para mahasiswanya malah pada tertawa.
Pengalaman lain yang “menakutkan”
tapi lucu. Ia ditangkap karena sepeda
motornya tidak ada nomer platnya, rupanya hilang. Yang menangkap polisi
berperawakan kecil (130 pounds), sedang Paul orangnya besar (220 pounds).
Polisi mau membawa Paul ke kantor polisi, dengan sepeda motor Paul. Sang polisi
yang mau nyopir, dan Paul duduk di belakang.
Karena perbedaan berat badan itu, motornya berat ke belakang dan sulit bergerak maju. Orang-orang yang melihat pada tertawa. Akhirnya polisinya mau duduk di belakang.
Sampai di kantor polisi, komandannya tidak mau menyalahkan bawahannya. Ia
menyuruh Paul masuk sel, dan baru akan dibebaskan setelah ia mendapatkan nomer
plat baru. Dalam sel, sang komandan membawa karton ukuran plat motor dan
spidol, dan menyuruh Paul menulis nomer plat sepeda motornya. Selesai ditulis,
masalahpun selesai dan dia dibebaskan. Paul merasa mendapat pelajaran-hidup: ”respecting elders, protecting other’s
dignity, and honoring those in authority.” Pelajaran dasar untuk dapat
selamat dimana saja, termasuk di Indonesia, katanya.
Dua pengalaman lain:
1.
Acara Pembukaan Pabrik Pupuk Sriwijaya, dimana ia berdansa dengan Megawati,
yang waktu itu masih seorang gadis muda.
2.
Acara lain, Pesta Kebun Tahunan Gubernur Sumatra Selatan. Paul diundang dan
“berjuang” dengan santap daging. Ketika
ia berusaha memotong dagingnya dengan sendoknya, seperti dilakukan tamu-tamu
lain, tiba-tiba dagingnya meloncat dan jatuh persis pada dada Bu Gubernur yang
cantik. Apa yang harus ia lakukan?
Ada juga saat-saat yang
menyenangkan, yaitu ketika dia mendapat kesempatan untuk vakansi di Jawa dan
Bali. Bandung dengan udaranya yang
nyaman dan Bali belum begitu banyak turis. Ia juga bertemu dengan seorang gadis
Semarang, yang baru kembali dari Amerika Serikat (AS) dan kemudian menjadi
mahasiswa di Universitas Diponegoro (Undip).
Tampaknya ia jatuh cinta, tapi tidak bisa melanjutkan percitaannya itu
karena beda budaya (agama?) dan masalah lain.
Setelah di Indonesia, Paul kemudian kembali
ke California dan selanjutnya ke Kenya dan Skotlandia, dan akhirnya pada tahun
2011, pada usia 71 tahun, Paul kembali ke Indonesia dengan istrinya
Marilyn. Kali ini mereka di Bandung
mengajar Bahasa Inggris di Bandung Alliance International School.
Sayang, Paul tidak menceritakan
apakah dia bernostalgia juga ke Palembang, melihat “perkembangan” yang terjadi
di kota pertama di Indonesia yang dulu memberikan pengalaman “pahit.” Kalau ya,
tentu baik untuk diceritakan apakah ada perkembangan selama 50 tahun lebih ini,
sehingga pembaca non-Indonesia tidak akan mendapat gambaran mengenai Indonesia
seperti digambarkannya pada masa Vivere Pericoloso (Living Dangerously) dulu.
Tentunya sudah sangat beda. (Kita Google
untuk Hotel Swarna Dwipa itu sekarang ternyata sebuah hotel mewah). [20-8-2016/Abdul Nur Adnan]