Kata Pengantar
Hari Sabtu yang lalu, 8 Oktober 2016, Pencinta Buku Imaam
mengadakan acara bedah buku Demokrasi Kita buah tulis karya Mohammad Hatta
(Bung Hatta) seorang ko-proklamator, demokrat, dan Wakil Presiden RI yang
pertama. Sebuah tulisan kekecewaannya kepada Bung Karno dan politisi tahun 50-an.
Karena perkembangan demokrasi sampai sekarang ini pun notabene sama yang
dituliskannya, maka diangkatlah buku itu sebagai bahan dasar kajian demokrasi
pada umumnya.
Dalam pembahasannya muncul adanya
keberatan Demokrasi yang dianggap tidak kompatibel dengan Islam. Yang satunya
tidak, malah menyebutkan ia dengan mengacu kepada kata Syuro (dalam Al-Qur’an)
yang kompatibel dengan demokrasi. Sementara pengantar kepada uraian pokok isi
buku mengatakan dalam pembahasan Demokrasi atau apa nama lainnya jangan dulu
dikaitkan dengan Demokrasi sebagai prakteknya yang banyak menyimpang. Mari kita
kaji dulu demokrasi sebagai nilai ideal yang lebih baik dari Oligarki seperti Diktator,
Monarki Absulut, atau Tirani, bahkan Kudeta, kalau tidak kita menjadi pesimis kepada tegaknya
Demokrasi yang sudah menjadi trendy
dikalangan mayoritas anak muda negara berkembang, apalagi kalau dikatakan Demokrasi
yang tidak kompatibel dengan Islam.
Untuk menambah jelas pengertian
Demokrasi dan (Demokrasi dalam) Islam. Mari ikuti paparan tajuk dibawah ini. □AFM
DEMOKRASI DALAM PRESPAKTIF BARAT DAN ISLAM
PENDAHULUAN
D
|
emokrasi merupakan salah satu isu global yang
terus berkembang hingga saat ini, perkembangan ini kemudian menjadikan wacana
demokrasi semakin variatif dan dalam tulisan ini hanya akan difokuskan
pada wacana perkembangan pemikiran demokrasi di dunia Barat dan implikasinya
terhadap Islam dengan memetakan beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi
beserta argumentasi yang dibangun oleh masing-masing tokoh tersebut.
Istilah
“demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno
pada abad ke-5 Sebelum tahun Masehi. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah
sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah
ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak
negara.
Kata
“demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos
yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan
rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri
dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi
menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara
umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara
yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.
Prinsip
semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika
fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar
ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan
kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia.
Demikian
pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan
berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan
tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan
membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja
harus akuntabel (accountable), tetapi
harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga
negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori)
membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut. [1]
DEMOKRASI DALAM PANDANGAN BARAT
Demokrasi
dalam pandangan Barat tidak bisa dilepaskan dari konteks historis, karena
konsep demokrasi sendiri memang berasal dari Barat yang kemudian berkembang
menjadi beberapa fase, yaitu: Fase Klasik; Fase Pencerahan; Fase Moderen.
Fase-fase ini akan dipaparkan dibawah ini.
Fase Klasik
Pada
fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis
politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari
negara-negara kota (city states) di
Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi
(democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikuasai
para Tyrants (Tirani) Autocrats (Monarchi Absolut) untuk memberikan jaminan
keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya.
Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato
(427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang
mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya
dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para Autocrats dan Tyrants.
Dari
buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu
persamaan (egalitarianism) dan
kebebasan (liberty) individu
diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik
ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut
memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu
sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi
yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas
sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu
tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis
diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan
kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the Philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru
sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan
karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam
pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan
yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi
klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah
demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena
pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya
sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan
budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di
Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60 ribu - 80 ribu
orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis
kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan
anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat
sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak tergantung secara
ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan
imigran.
Fase Pencerahan
Fase
Pencerahan (abad 15 sampai awal 18). Dalam fase ini adalah Demokrasi merupakan gagasan
alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa
dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah
Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke
(1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya
pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan Liberalisme awal (Locke) serta
konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes).
Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu)
diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis.
Pemikiran
awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan
Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi
sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka
jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776)
dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem
demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara,
sedangkan Revolusi Perancis mengakhiri Monarki
Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia secara universal.
Fase Modern
Pada
fase modern (awal abad 18-akhir abad 20) ini dapat disaksikan dengan
bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan
teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme,
ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi
perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai
akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khususnya antara
kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir
demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-1778), John
S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883),
Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter
(1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan
penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat
dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan
praktik pembangkangan sipil (civil
disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang
kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem
demokrasi Parlemen (Perwakilan) modern (Parliamentary
system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari
intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas
merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa
Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara
untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan
kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx
dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang
menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap
sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan
kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas
burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering
away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan
langsung di bawah sebuah diktator
proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan
kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi
perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan
kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan
kepentingan kaum proletar.
Max
Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung
ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua
mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam
masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin
terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi,
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak
mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara
langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui
perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya
pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
Perkembangan
pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin
kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan
ideologis yang melahirkan blok Barat
dan blok Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi
menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat
pada abad keduapuluh, kendatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan
satu dengan yang lain.
Demokrasi
kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter
di seluruh dunia.
Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman
demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola
pemerintahan (governance). Pemikir
seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan
memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya.
Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada
masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik,
kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yang memiliki pengaruh
kekuasaan.
Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada
penghujung abad ke duapuluh, demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing
dan diterima secara global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin
sebagai Ujung Sejarah (the End of History)
di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada
kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami persoalan yang cukup
pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus mengalami
penyesuaian dan tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah
pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti fundamentalisme agama,
etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang baru terhadap
demokrasi, khususnya demokrasi liberal.
Kondisi
saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun mengalami
pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun praksis. Munculnya berbagai
pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik
demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela lingkungan,
dsb. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global yang bukan hanya berideologi
kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut terjadinya
terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan
disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa
dan AS.
Indonesia
sedang dalam proses tranformasi dari sistem otoriter menuju demokrasi
sebagaimana dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi. Tak terelakkan
lagi, diperlukan kemampuan dari para pekerja demokrasi untuk mencari varian
demokrasi yang compatible dengan
konteks yang dihadapi. Pemahaman tentang perkembangan pemikiran dan praksis
demokrasi dari berbagai era dan wilayah dunia akan sangat membantu dalam usaha
tersebut. [2]
DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM
Esposito
dan Piscatori, memetakan wacana pemikiran politik Islam terhadap demokrasi
menjadi tiga aliran: Pertama: Aliran
pemikiran Islam yang menolak konsep demokrasi; Kedua: Aliran yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi mengakui
adanya perbedaan; Ketiga: Aliran yang menerima konsep demokrasi sepenuhnya. [3]
Pertama
Aliran Menolak Konsep Demokrasi.
Bagi
kelompok yang menolak demokrasi beranggapan bahwa adalah impossible jika Islam memiliki
kesamaan dengan demokrasi. Mereka berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada
tempat yang layak bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan demokrasi tidak
dapat dipadukan. Beberapa ulama yang berpandangan demikian antara lain adalah,
Syaikh Fadillah Nuri, Thabathabai, dan Sayyid Qutb. Bagi Syaikh Fadillah Nuri,
salah seorang ulama Iran, satu kunci gagasan demokrasi yaitu persamaan semua
warga negara adalah impossible dalam
Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi,
misalnya, antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya dan miskin,
dan antara faqih (ahli hukum
Islam) dan pengikutnya. [4] Selain itu, ia juga menolak legislasi oleh manusia.
Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan. Dalam
Islam tidak ada seorangpun yang diizinkan mengatur hukum. Paham konstitusional
sebagai bagian dari demokrasi, karenanya bertentangan dengan Islam. dalam
keyakinan Syaikh Fadillah Nuri, tampaknya manusia hanya bertugas melaksanakan
hukum-hukum Tuhan. [5] Sayyid Qutb, Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang
gagasan kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu adalah pelanggaran terhadap
kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang terhadap yang
lainnya. Mengakui kekuasaan tuhan berarti melakukan pertentangan secara
menyeluruh terhadap seluruh kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk,
sistem, dan kondisi. Agresi menentang kekuasaan Tuhan di atas bumi merupakan
suatu bentuk jahiliyah (kebodohan pra Islam), sambil menekankan bahwa sebuah
negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, ia percaya bahwa syari’ah sebagai sebuah sistem
hukum dan sistem moral sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain
yang mengatasinya. [6]
Kedua: Aliran
Menerima Demokrasi Tapi Bukan Demokrasi ala Barat.
Kelompok
yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam tetapi mengakui adanya
perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh Maududi di Pakistan dan Imam Khomeini
dari Iran, serta beberapa pemikir Islam lainnya. Abu ‘Ala Maududi misalnya
berpandangan bahwa ada kemiripan wawasan antara demokrasi dengan Islam, seperti
keadilan, (QS. asy-Syurā: 15),
persamaan (QS. al-Hujurāt: 13),
akuntabilitas pemerintahan (QS. an-Nisā’:
58), musyawarah (QS. asy-Syurā: 38),
tujuan negara (QS. al-Hajj: 4), dan
hak-hak oposisi (QS. al-Ahzab: 70). Akan
tetapi perbedaannya terletak pada
kenyataan bahwa dalam sistem Barat, suatu negara demokratis menikmati
kedaulatan rakyat mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan (pemeintahan,
bernegara dan berbangsa) diterapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah
di gariskan oleh hukum-hukum Ilahi. [7] Khomeini mempunyai pandangan lain
terhadap demokrasi, menurutnya demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi
liberal, Ia meyakini bahwa kebebasan mesti dibatasi dengan hukum, dan kebebasan
yang diberikan itu harus dilaksanakan di dalam batas-batas hukum Islam dan
konstitusi, dengan sebaik-baiknya. [8] Konstitusi Republik Islam Iran yang
didasarkan pada konsep wilayatul
faqih mencerminkan bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam
yang bersumber pada hukum agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan
sebuah negara yang secara prinsipil menganut sistem demokrasi.
Ketiga: Aliran
Yang Menerima Demokrasi Sepenuhnya.
Kelompok
yang menerima sepenuhnya konsep demokrasi memandang bahwa sejatinya di dalam
diri Islam sangat demokratis karenanya menurut mereka Islam menerima sepenuhnya
demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir yang masuk dalam kategori
kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain Haikal dari Mesir, Rashid
al-Ghannouchi - pemikir politik asal Tunisia, serta Bani Sadr dan Mehdi
Bazargan dari Iran.
Muhammad
Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat bahwa dalam
dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam, menurutnya,
semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena,
kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan kaidah Islam dan begitu pula
dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada
fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah,
prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau
kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang
wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah
atau imam, prinsip ijma’ (kesepakatan
para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta pengendalian
nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem politik
yang dipraktekkan Nabi di Madinah. [9]
PENUTUP
Nampaknya,
entah itu di kalangan Barat maupun Islam memiliki perbedaan berikut persamaan
dalam mengartikan demokrasi, dan terlepas dari itu semua, pada tataran
konsep, memang apapun sistem politik yang digunakan dalam menjalankan sebuah
roda pemerintahan dan negara pada dasarnya adalah ideal dan baik, begitu pun
dengan demokrasi, demokrasi memang pada tataran idea dan konsepnya merupakan
sebuah sistem politik yang dianggap terbaik dari sistem politik yang ada, namun
pada tataran praktis para demokrat yang hidup di alam demokrasi tersebut
terkadang melenceng dari koridor demokrasi yang ada, dengan mengkhianati
konsep-konsep demokrasi yang ideal tersebut, yang mesti dikedepankan kemudian
adalah komitmen dalam menjalankan sebuah sistem politik, dengan mengikuti
koridor-koridor yang ada, apa pun itu sistemnya, termasuk demokrasi.
Demikianlah
uraian demokrasi dan perkembangannya di Barat dan Pandangan Demokrasi dalam
Islam yang telah diuraikan sangat baiknya dan jelas dari para akhlinya. Prinsip-prinsipnya
bersifat universal dan pandangan-pandangan dari Barat yang bermacam macam itu dipandang
perlu sempurnakan sesuai dengan kaidah-kaidah ajaran Islam sebagai yang
dipaparkan dalam kelompok-kelompok pikiran para pemikir Islam dalam hubungan
antara Demokrasi dan Ajaran Islam yang terbagi dalam tiga kelompok aliran
pemikiran.
Dari
ketiga kelompok ini, sesuai dengan perkembangan zaman, kelompok pemikiran pertama,
kedua dan ketiga bisa menjadi landasan dan bahan pemikiran pengembangan Demokrasi
dalam Islam.
Selanjutnya,
mengingat adanya dengan variable-variable golongan suku dan paham pemikiran dan
agama-agama yang ada dalam suatu negara. Tentunya dalam pengembangannya - dengan tanpa
mengabaikan prinsip-prinsip ajaran Islam – variable-variabel tersebut diatas
perlu diberi tempat yang layak, karena ini adalah wilayah hablum minan nās (ibadah ghaira mahdah). Dalam hal ini Islam
sebagai agama dakwah dan rahmatan bagi segenap manusia dan alam semesta (rahmatan lil ‘ālamīn) memberi
jaminan hidup dan haknya sebagaimana mestinya. Wallahu
A`lam Bish-Shawab.
Insya Allah bersambung kepada
tulisan-tulisan berikut yang bertemakan dengan demokrasi dan syuro akan
menyusul seperti: Pengertian Syuro dan Demokrasi; Syuro dalam pandangan Islam
dan Demokrasi; Sistim Masyarakat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Billahit Taifiq
wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
[2] Dede
Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic
Education): Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2005), cet. III, hal. 127-130
[3] John L.
Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi”, dalam Jurnal Islamica, Jurnal Dialog Pemikiran
Islam, No. 4 April-Juni 1994, hlm. 19-21.
[4] Sukron
Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan
Historis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm 47-48 ; Ira M.
Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian
3, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
hlm. 38-39.
[5] Sukron
Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan
Historis…, hlm. 48.
[6] Sukron
Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan
Historis…, hal 48.
[7] Sukron
Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan
Historis…, hal. 49
[8] Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat
Politik Islam (Bandung: Mizan), 2002, Cet. I, hal. 141.
[9] Sukron
Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan
Historis…, hal. 58-59
Daftar Pustaka
Dede Rosyada
dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education):
Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah), 2005, cet. III
John L. Esposito
dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi”, dalam Jurnal Islamica, Jurnal Dialog Pemikiran
Islam, No. 4 April-Juni 1994,
Kamil,Sukron
Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan
Historis (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2002
Lapidus, Ira
M. Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3,
terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1999
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat
Politik Islam (Bandung: Mizan), 2002, Cet. I,
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
Sumber:
https://miftah19.wordpress.com/2011/01/06/demokrasi-dalam-perspektif-barat-dan-islam/□□□